free web hit counter
Scroll untuk baca artikel
Peristiwa

Haul Eyang Djugo: Titik Temu Doa, Budaya, dan Ekonomi di Kesamben Blitar

Penulis : Aunur Rofiq - Editor : Nurlayla Ratri

13
×

Rencana Rilis PlayStation 6 Berpotensi Terungkap, Berkat Microsoft

Share this article
Stik Playstation
Bupati Blitar, Rijanto (tengah, mengenakan peci dan kemeja hitam), menghadiri Haul Eyang Djugo di Kesamben, Blitar. (Foto: Pemkab Blitar)

JATIMTIMES - Di kaki Gunung Kawi yang sejuk dan berkabut, ratusan warga berkumpul dalam balutan suasana khidmat. Minggu pagi, 4 Mei 2025, Desa Jugo, Kecamatan Kesamben, kembali menjadi saksi napak tilas spiritualitas dan budaya dalam Haul Eyang Djugo ke-155. Bertempat di Padepokan Eyang Djugo, gelaran ini bukan sekadar ritual tahunan, melainkan pengikat nilai-nilai luhur yang diwariskan seorang tokoh besar: Eyang Djugo.

Pemerintah Desa Jugo menggandeng seluruh elemen masyarakat untuk menyukseskan acara tersebut. Tak hanya warga lokal, para peziarah dari berbagai daerah turut hadir. Aroma dupa dan doa-doa tahlil menyatu dalam suasana hening yang nyaris mistis. Di tengah keramaian itu, Bupati Blitar Rijanto berdiri dengan penuh penghormatan. Dalam sambutannya, ia menekankan bahwa haul ini bukan hanya tradisi spiritual, melainkan juga pengingat akan jati diri dan kearifan lokal.

Baca Juga : Punya 3 Fadilah, Surat Ini Sangat Dianjurkan Diamalkan Ibu Hamil

Menurut Rijanto, Eyang Djugo mengajarkan nilai-nilai gotong royong, kesederhanaan, dan keimanan yang kokoh. “Kegiatan seperti ini menguatkan ikatan sosial sekaligus menjadi wadah pelestarian budaya,” ujar Bupati. Ia menambahkan, antusiasme warga dan para peziarah juga memberi dampak ekonomi positif bagi desa. Warung makan dan para pedagang kaki lima di sekitar padepokan tampak ramai sejak pagi hari.

Lebih dari sekadar peringatan, haul ini juga merupakan refleksi panjang atas perjalanan hidup seorang tokoh spiritual yang misterius namun amat dihormati. Eyang Djugo, yang memiliki nama asli R.M. Soerjokoesoemo—juga dikenal sebagai Kiai Zakaria II atau Mbah Kromodi Redjo—adalah bekas pengawal Pangeran Diponegoro. Pasca kekalahan dalam Perang Jawa, ia menanggalkan identitas kebangsawanannya dan memilih jalan sunyi sebagai seorang pertapa.

Sejarah mencatat, ia pertama kali muncul di Desa Jugo dengan cara yang tak biasa: menjelma di hadapan para penggembala dan tinggal di sebuah kandang sapi kosong. Dari sana, ia menyebarkan ajaran spiritual, menyembuhkan penyakit, dan membangun pusat pembelajaran spiritual. Dalam upaya menghindari kejaran Belanda, ia mengubah namanya menjadi Djugo—berasal dari kata Jawa "sajugo", yang berarti sendiri.

Kisah penyembuhannya selama wabah kolera di Jawa Timur pada 1860-an menjadi legenda yang tak lekang. Sejarawan lokal, Khalid Adnan, menyebut bahwa metode penyembuhan Eyang Djugo dengan doa dan air berkah masih menjadi tradisi di kalangan masyarakat sekitar. “Tak sedikit orang dari luar daerah datang untuk mencari kesembuhan dari metode warisan beliau,” ujar Khalid.

Warisan spiritualnya tak hanya berhenti di Desa Jugo. Setelah wafat pada 22 Januari 1871, Eyang Djugo dimakamkan di Gunung Kawi—yang kini menjadi pusat ziarah lintas budaya dan etnis. Di sana, tiap malam Jumat Legi dan malam 1 Suro, ribuan orang berkumpul untuk berdoa, menyuguhkan sesaji, dan membakar dupa. Tradisi tahlil dan semadi dipimpin juru kunci keturunan Eyang Sudjo, putra angkat Eyang Djugo.

Yang menarik, penghormatan terhadap Eyang Djugo juga datang dari komunitas Tionghoa. Di pesarean Gunung Kawi, barongsai dan pembagian angpau menjadi bagian tak terpisahkan dari ritual haul, terutama saat perayaan Imlek dan Tahun Baru Islam. Bahkan, di beberapa klenteng seperti Kim Tek Ie di Jakarta, Eyang Djugo dipuja sebagai guru agung, menunjukkan betapa inklusifnya ajaran yang diwariskannya.

Baca Juga : Redam Gejolak, Bupati Sanusi Pastikan KEK Singhasari Berdampak bagi Masyarakat

Bagi Pemerintah Kabupaten Blitar, acara seperti ini menjadi medium memperkuat identitas daerah dan memperluas narasi sejarah lokal. Bupati Rijanto dalam keterangannya menekankan pentingnya menjaga "marwah" kegiatan haul agar tetap relevan bagi generasi muda. “Ini bukan sekadar mengenang masa lalu, tapi juga menginspirasi kita untuk menjadi pribadi yang lebih baik dan berkontribusi bagi bangsa,” tegasnya.

Tak hanya itu, pemerintah desa bersama tokoh masyarakat juga mengusulkan kawasan padepokan dan makam Eyang Djugo untuk menjadi bagian dari destinasi wisata religi yang terintegrasi. Kepala Desa Jugo menyebutkan bahwa proses pengumpulan data dan dokumentasi sedang dilakukan agar kekayaan sejarah ini mendapat pengakuan lebih luas.

Haul Eyang Djugo ke-155 telah menjadi penanda bahwa tradisi bukanlah beban masa lalu, melainkan jembatan menuju masa depan yang lebih berakar. Dalam setiap doa yang terlantun, sesaji yang tersaji, dan silaturahmi yang terjalin, masyarakat Jugo dan sekitarnya tak hanya menjaga warisan leluhur—mereka tengah merawat akar jati diri budaya Jawa.