JATIMTIMES - Di sebuah ruang diskusi yang sarat semangat pengabdian, KOPI Blitar bersama INFEST Yogyakarta menyusun ulang peta jalan pendampingan bagi para pekerja migran Indonesia (PMI). Workshop Penyusunan Standar Operasional Prosedur (SOP) Penanganan Kasus PMI yang digelar pada Sabtu, 3 Mei 2025, menjadi ruang refleksi sekaligus konsolidasi pengetahuan bagi para pendamping akar rumput yang selama ini berjibaku di medan hukum dan kemanusiaan.
Kegiatan ini bukan semata forum formalitas. Ia lahir dari kebutuhan riil yang mendesak: memastikan setiap pendamping PMI memiliki pegangan yang pasti, sistematis, dan profesional dalam menangani kasus. SOP yang telah disusun setahun lalu, menurut panitia, tak cukup jika hanya menjadi dokumen mati. Ia harus hidup di lapangan, menjadi alat kerja yang nyata.
Baca Juga : Lolos Penilaian Tahap 1 oleh TPI, Predikat WBK Makin Dekat Diraih Fakultas Humaniora UIN Malang
Ridwan Wahyudi, Manajer Program INFEST Yogyakarta, menyampaikan bahwa workshop ini penting untuk menghindarkan SOP dari nasib kebanyakan dokumen kelembagaan: rapi di rak, tapi tak terpakai. “Kami ingin SOP ini menjadi jantung dalam kerja-kerja pendampingan. Dijalankan, dievaluasi, dan ditingkatkan terus menerus,” ungkapnya kepada peserta.
Dalam sesi intensif yang dipandu oleh fasilitator dari Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) Yogyakarta serta akademisi UIN Sayyid Rahmatullah Tulungagung, para peserta tak hanya menyimak. Mereka bertanya, berdebat, dan mengulas kasus-kasus konkret yang pernah mereka dampingi.
Abdul Hakam Sholahuddin, dosen UIN SATU Tulungagung yang juga menjadi fasilitator, menekankan pentingnya memahami strategi advokasi dalam dua jalur: litigasi dan non-litigasi. Ia menjabarkan bahwa jalur litigasi mencakup pengajuan pengaduan ke kepolisian, penyusunan surat kuasa hukum, hingga koordinasi lintas lembaga seperti KJRI. Sementara advokasi non-litigasi bisa dilakukan melalui mediasi, konsultasi, maupun kampanye publik.
"Pendamping harus tahu kapan menggunakan jalur hukum dan kapan perlu menyusun strategi sosial," ujar Abdul Hakam dalam salah satu sesi.
Lebih jauh, diskusi juga menyentuh aspek perlindungan saksi dan korban. Novita Prima Dewi, Kepala LPSK Yogyakarta, menegaskan bahwa lembaganya memiliki mandat memberikan perlindungan dalam proses hukum pidana, sekaligus memastikan korban mendapatkan hak atas pemulihan.
Menurut Novita, banyak korban kekerasan terhadap PMI yang enggan melapor karena takut atau merasa tidak akan mendapat keadilan. Di sinilah peran pendamping menjadi sangat vital. "KOPI Blitar bisa menjadi jembatan harapan bagi para korban untuk mendapat perlindungan dan pemulihan," ujarnya.
Secara struktural, workshop ini menjadi bukti bahwa kerja pendampingan tidak bisa mengandalkan niat baik semata. Dibutuhkan sistem yang kuat, jaringan kerja yang luas, dan kapasitas anggota yang terus diperbarui.
Baca Juga : Serasa: Warung STMJ Enak di Tengah Kota Batu, Lengkap dengan Beragam Sajian
Tak hanya fokus pada penanganan kasus, forum ini juga membuka ruang koordinasi antara komunitas dan pemerintah daerah. Para peserta menyadari bahwa keberhasilan pendampingan bergantung pada sejauh mana mereka dapat membangun sinergi dengan instansi seperti Dinas Tenaga Kerja, Kantor Imigrasi, hingga aparat penegak hukum.
Workshop ini pun menjadi titik tolak baru bagi KOPI Blitar dan KOPI Ponorogo. Keduanya berharap, melalui pendalaman SOP dan penguatan kapasitas anggota, mereka bisa lebih sigap menghadapi kompleksitas kasus PMI. Dari jeratan hukum di luar negeri hingga pengabaian hak-hak pekerja di dalam negeri, semuanya menuntut ketangguhan organisasi rakyat dalam membaca arah, mengambil sikap, dan bertindak.
Di balik diskusi dan penyusunan dokumen itu, tersimpan harapan yang lebih besar: memastikan bahwa tak satu pun pekerja migran Indonesia merasa sendirian saat menghadapi ketidakadilan. Dari Blitar, mereka merintis jalan yang lebih terang bagi ribuan PMI di luar sana.