free web hit counter
Scroll untuk baca artikel
Peristiwa

Pakubuwana X dan Surakarta Istimewa: Mengantar Indonesia ke Gerbang Kemerdekaan

Penulis : Aunur Rofiq - Editor : A Yahya

13
×

Rencana Rilis PlayStation 6 Berpotensi Terungkap, Berkat Microsoft

Share this article
Stik Playstation
Ilustrasi Susuhunan Pakubuwana X berdiskusi secara serius dengan dr. Radjiman Widyodiningrat mengenai arah perjuangan bangsa. Dalam suasana penuh khidmat, Sang Raja memberikan wejangan dan pandangan strategis untuk mendukung lahirnya kesadaran nasional di kalangan pribumi. (Foto: Ilustrasi dibuat oleh JatimTIMES)

JATIMTIMES - Di antara dinamika sejarah bangsa Indonesia, sedikit yang mengingat bahwa Surakarta pernah menyandang status "Daerah Istimewa", sejajar dengan Yogyakarta. Padahal, dari aspek historis, Surakarta memiliki landasan yang kokoh untuk menyandang keistimewaan itu. Sejak 1830, pasca-Perang Jawa yang dipimpin Pangeran Diponegoro, Surakarta tumbuh sebagai pusat kebudayaan, kekuasaan, dan kelahiran gerakan nasional. Dari balik tembok Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat, para intelektual, tokoh politik, hingga militer ditempa, yang kelak menjadi aktor penting dalam perjalanan menuju kemerdekaan Republik Indonesia.

Kasunanan Surakarta tidak sekadar menjadi lambang budaya. Di bawah kepemimpinan raja-raja seperti Pakubuwana X, Surakarta memantapkan diri sebagai sentra pergerakan nasional, memainkan peran subtil namun fundamental, menggerakkan rakyat, dan membangun kader bangsa dalam diam, menghindari kecurigaan kolonial, namun tetap konsisten menyiapkan Indonesia merdeka.

Baca Juga : Bubarkan Balap Liar di Kedung Cowek, Polisi Amankan 29 Motor

Pakubuwana X: Raja yang Membaca Zaman

Di antara para raja Nusantara pada masa kolonial, nama Pakubuwana X (1866–1939) menempati tempat istimewa. Dalam sejarah panjang Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat, sosok beliau menonjol bukan hanya karena durasi kekuasaannya yang mencapai hampir setengah abad, melainkan juga karena kepiawaiannya dalam memadukan tradisi dan modernitas, budaya luhur Jawa dan realitas politik penjajahan Belanda.

Lahir pada 29 November 1866, Pakubuwana X membawa nama kecil Raden Mas Sayidin Malikul Kusno. Ia adalah putra dari Susuhunan Pakubuwana IX dan permaisuri Kanjeng Raden Ayu Kustiyah. Sejak usia dini, tepatnya tiga tahun, Kusno kecil telah dipersiapkan untuk memegang tampuk kekuasaan. Ia dianugerahi gelar Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Anom Hamangkunegara Sudibya Rajaputra Narendra ing Mataram—sebuah legitimasi dini atas takdirnya sebagai pewaris tahta Surakarta.

Ketika Pakubuwana IX wafat pada 16 Maret 1893, Raden Kusno, yang kala itu telah menginjak usia 26 tahun, diangkat menjadi Susuhunan Surakarta. Prosesi pelantikannya berlangsung pada 30 Maret 1893. Sejak itu, hingga wafatnya pada 1939, Pakubuwana X menjadi simbol kemegahan, kesinambungan tradisi, sekaligus agen perubahan dalam tubuh masyarakat Jawa yang bergulat dengan kolonialisme.

Pakubuwana X, yang bertahta dari tahun 1893 hingga 1939, adalah figur sentral dalam babak penting ini. Di tengah cengkeraman kolonialisme Belanda, PB X, sebagaimana beliau akrab disingkat, menempuh strategi perlawanan yang cerdas dan elegan: menggerakkan hati rakyat melalui kedekatan sosial dan membina kekuatan bangsa dengan pendidikan.

Tak pelak, setiap lawatan PB X ke pelosok wilayah Surakarta dan sekitarnya disambut gegap gempita. Rakyat berbondong-bondong ingin melihat Sang Raja, berharap keberkahan dari keberadaannya, bahkan hingga memperebutkan sisa air dan makanan beliau. Raja tak hanya menjadi simbol, melainkan pengikat psikologis rakyat yang lapar akan sosok kepemimpinan pribumi.

Dengan caranya yang praktis dan tidak konfrontatif, PB X memperkuat posisi Keraton sebagai benteng kekuatan pribumi. Di saat Belanda berusaha mengekang geraknya, Pakubuwana X justru memanfaatkan ruang-ruang kecil untuk membangun kekuatan baru: pendidikan.

Pakubuwana X mengirim kader-kader terbaik ke Eropa, terutama ke Belanda, untuk belajar ilmu pengetahuan, hukum, dan militer. Nama-nama seperti Suryobroto, Jatikusumo, dan GPH Purbonagoro bersekolah di Akademi Militer Breda. Para cucu seperti Joyokusumo, Sumodiningrat, dan Hadinagoro dikirim ke Fakultas Hukum Universitas Leiden. Mereka adalah benih-benih intelektual yang kelak memainkan peranan vital dalam pembentukan Negara Republik Indonesia.

Tak hanya di bidang akademik, PB X juga membangun fondasi kekuatan birokrasi: menunjuk dr. Radjiman Widyodiningrat untuk membangun sarana kesehatan rakyat, Mr. Wongsonagoro di bidang hukum dan pertanahan, serta Danunagoro di sektor pekerjaan umum. Mereka adalah kader-kader istana, namun juga kader bangsa, yang kelak berada di garis depan kemerdekaan Indonesia. 

Dari Keraton ke Panggung Nasional: Membentuk Pemimpin Bangsa

Berkat visi jauh ke depan PB X, Surakarta melahirkan sederet tokoh nasionalis yang krusial. Sejarah mencatat dr. Radjiman Widiodiningrat sebagai Ketua Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) tahun 1945, yang memimpin sidang-sidang menentukan arah lahirnya negara baru.

Prof. Dr. Notonagoro, ahli filsafat hukum negara, memperdalam dan mengukuhkan konsep Pancasila sebagai dasar negara. Dr. Soepomo, juga alumnus Leiden, tampil sebagai arsitek utama Undang-Undang Dasar 1945, mengusung konsep negara integralistik dalam naskah konstitusi pertama Republik Indonesia.

Jenderal Jatikusumo, lulusan Breda, tampil sebagai ahli strategi militer Republik, sementara Prof. Dr. Purbacaraka, yang semula hanya pegawai perpustakaan Keraton, menjadi ahli hukum adat dan budaya Indonesia yang ternama setelah meraih gelar doktor di Belanda.

Semua nama itu, semua kontribusi besar itu, tidaklah muncul dari ruang hampa. Mereka ditempa dari ide besar Pakubuwana X: mempersiapkan Surakarta dan Nusantara menuju kemerdekaan, lewat jalur pendidikan, diplomasi budaya, dan pergerakan akar rumput.

Menjelang Gerbang Kemerdekaan: Surakarta dalam Revolusi Zaman

Pakubuwana X wafat pada 1939. Di akhir hayatnya, beliau sempat berpesan kepada para putra-putri dan aktivis pergerakan nasional: bahwa kemerdekaan akan segera tiba. Pesan itu tidak sekadar ucapan, melainkan refleksi seorang raja yang mampu membaca tanda-tanda zaman.

Tiga tahun berselang, Jepang mengusir Belanda dari tanah Jawa. Awalnya, rakyat menyambut "Saudara Tua" ini dengan sukacita, namun kekecewaan segera tiba. Jepang menunjukkan wajah agresornya, memeras tenaga rakyat dan memperlakukan Indonesia sebagai wilayah jajahan.

Baca Juga : KPH Gondosuputro dan Legiun Mangkunegaran: Menumpas Gerakan Imam Sampurno di Tawangmangu 1888

Namun, kekalahan Jepang dalam Perang Dunia II membuka ruang sejarah yang sangat dinantikan. Pada 29 April 1945, Jepang membentuk BPUPKI (Dokuritsu Junbi Chōsakai) —sebuah badan untuk mempersiapkan kemerdekaan Indonesia.

BPUPKI beranggotakan 60 orang tokoh nasional, dengan dr. Radjiman Widyodiningrat sebagai ketuanya. Sidang pertamanya pada 29 Mei hingga 1 Juni 1945 menjadi momen emas bagi Indonesia, membahas dasar-dasar negara, yang akhirnya melahirkan Pancasila lewat pidato monumental Ir. Soekarno.

Mohammad Yamin dalam pidatonya mengusulkan lima dasar: peri kebangsaan, peri kemanusiaan, peri ketuhanan, peri kerakyatan, dan kesejahteraan rakyat. Soepomo, dalam pidato pada 31 Mei 1945, memperkenalkan konsep negara integralistik, menolak liberalisme Barat dan komunisme, mengusulkan negara persatuan dalam semangat kekeluargaan.

Surakarta, melalui para kadernya, memainkan peran yang tidak kecil dalam momen-momen genting itu. Tanpa Surakarta, tanpa didikan PB X, tanpa Radjiman, Soepomo, dan para intelektual lainnya, perjalanan menuju kemerdekaan tak akan semulus dan sekuat itu.

Surakarta: Daerah Istimewa dalam Sejarah

Sewaktu Indonesia memproklamasikan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, Surakarta otomatis menjadi bagian integral republik muda itu. Bahkan, pemerintah pusat memberi status "Daerah Istimewa Surakarta", sejajar dengan Yogyakarta.

Secara historis, ini sangat pantas. Surakarta telah menyumbangkan lebih dari sekadar wilayah: Surakarta menyumbang jiwa, pemikiran, dan darahnya untuk republik. Dari Keraton Kasunanan mengalir semangat kemerdekaan yang dikemas dalam budaya luhur, pendidikan, dan politik diplomatik.

Namun, perjalanan Surakarta sebagai daerah istimewa tidak panjang. Konflik politik lokal, intervensi pihak luar, gerakan anti swapraja dan dinamika revolusi pasca-kemerdekaan menyebabkan status istimewa itu surut dan akhirnya dibekukan pada 1946, berbalik arah dari jejak sejarah yang telah ditorehkan.

Dalam pertemuan pada 22–23 Mei 1946 di Gedung Javaasche Bank Surakarta, Perdana Menteri Sutan Sjahrir, Menteri Dalam Negeri Soedarsono, serta perwakilan Keraton Surakarta dan Mangkunegaran sepakat menyerahkan sementara kekuasaan daerah Surakarta kepada pemerintah pusat hingga situasi kembali aman. Penyerahan sementara ini memiliki makna sejarah bahwa Daerah Istimewa Surakarta tidak pernah dihapus oleh pemerintah pusat, melainkan hanya dibekukan. Sayangnya, pembekuan ini semakin terlupakan oleh waktu dan sejarah. Hampir tidak ada yang ingat bahwa Surakarta adalah daerah istimewa yang dibekukan, bahkan pemerintah pun terlupa akan hal tersebut. 

Menghargai Sejarah, Menghidupkan Ingatan

Kini, Surakarta hanya tercatat sebagai bagian dari Provinsi Jawa Tengah. Namun, sejarah berbicara lain. Tidak bisa dipungkiri, Surakarta memainkan peran vital dalam mengantar Indonesia ke depan gerbang kemerdekaan.

Pakubuwana X, dengan strategi sunyi tapi efektif, membangun generasi pembebas yang mengisi ruang-ruang sidang BPUPKI, menulis naskah UUD 1945, mengembangkan filsafat Pancasila, dan menyiapkan pertahanan negara.

Surakarta adalah saksi hidup tentang bagaimana kekuatan budaya, kejayaan pendidikan, dan keluhuran diplomasi mampu membentuk, menggerakkan, dan bahkan menentukan arah perjalanan sejarah bangsa. Di antara pergeseran zaman yang terus menguji daya tahan ingatan kolektif kita, Surakarta berdiri sebagai lambang kejayaan masa lalu yang masih memancarkan sinarnya hingga hari ini. Menjadi kewajiban kita bersama untuk tidak membiarkan memori itu memudar; kita harus menghidupkannya kembali dalam setiap langkah, dalam setiap napas kebangsaan kita. Sebab Surakarta bukan sekadar bagian dari catatan sejarah yang telah lewat, melainkan bagian yang hidup dari jiwa bangsa ini. Sudah seharusnya Surakarta memperoleh tempat yang layak di dalam panggung nasional —diakui dan dihargai sebagai Daerah Istimewa, dalam arti yang paling murni, di mana warisan sejarah, budaya, dan perjuangannya dihormati sepenuh hati, bukan semata sebagai simbol, tetapi sebagai bagian tak terpisahkan dari identitas dan kehormatan negara.