free web hit counter
Scroll untuk baca artikel
Serba Serbi

KPH Gondosuputro dan Legiun Mangkunegaran: Menumpas Gerakan Imam Sampurno di Tawangmangu 1888

Penulis : Aunur Rofiq - Editor : Dede Nana

13
×

Rencana Rilis PlayStation 6 Berpotensi Terungkap, Berkat Microsoft

Share this article
Stik Playstation
Ilustrasi Mangkunegara V bersama KPH Gondosuputro meninjau Pesanggrahan Srikaton yang baru saja diamankan, setelah pemberontakan Imam Sampurno berhasil diredam. Tawangmangu, tahun 1888. (Foto: Ilustrasi dibuat oleh JatimTIMES)

JATIMTIMES - Dalam deretan sejarah Jawa abad ke-19, nama Kanjeng Pangeran Harya (KPH) Gondosuputro tercatat sebagai salah satu figur utama dalam menjaga ketertiban di wilayah Jawa Tengah, khususnya di Kadipaten Mangkunegaran, sebuah kerajaan kecil pecahan Keraton Kasunanan Surakarta. Pada masa pemerintahan Mangkunegara V (1853–1896), krisis keamanan sempat mengguncang Kadipaten akibat kemunculan gerakan ekstremis keagamaan yang dipimpin oleh sosok kharismatik bernama Imam Sampurno.

Insiden yang terjadi pada tahun 1888 ini menjadi salah satu ujian terbesar bagi Legiun Mangkunegaran—institusi militer yang didirikan sejak masa Mangkunegara II pada 1808—dalam mempertahankan stabilitas politik dan sosial di wilayah kekuasaan Pura Mangkunegaran.

Baca Juga : Kediri dalam Lintasan Sejarah: Dari Airlangga hingga Amangkurat III

Penumpasan gerakan ini bukan hanya sebuah operasi militer, melainkan juga menggambarkan dinamika internal masyarakat Jawa pada masa transisi modernisasi kolonial. Gerakan ekstrem Imam Sampurno memperlihatkan betapa agama, karisma, dan kekuasaan lokal berkelindan menjadi kekuatan disruptif yang, jika tidak segera ditangani, dapat meruntuhkan struktur tradisional yang telah dibangun selama lebih dari satu abad.

Iman Rejo: Dari Santri Desa Menjadi Imam Sampurno

Sosok Imam Sampurno, yang menjadi pusat gerakan ini, lahir dengan nama Iman Rejo. Ia merupakan putra Reksowijoyo, seorang kamituwa (kepala administrasi) Desa Klanggon. Masa kecilnya dilalui sebagai santri di pesantren desa yang diasuh oleh Haji Mohammad Saleh. Pendidikan agama ini, disertai dengan pencarian spiritual mendalam, membentuk dasar ideologi keagamaannya.

Setelah menikahi cucu Suronggono, demang Gedangan, Iman Rejo pindah ke Girilayu. Di desa ini, ia menjadi penggarap tanah milik KPH Gondosuputro sekaligus menjabat sebagai ketib atau pemuka agama desa. Status sosial keagamaannya pun meningkat, seiring dengan reputasinya sebagai seorang alim. Namun, obsesi spiritualnya berkembang melampaui batas-batas ortodoksi.

Dalam perjalanan spiritualnya, Iman Rejo sempat mengembara ke Ngawi selama enam bulan untuk memperdalam ilmu agama dan melakukan tapa brata di Alas Tuwo. Ketika kembali ke Girilayu, ia tampil dengan identitas baru: berjubah dan bersurban putih. Semangat dakwahnya meluas, menarik simpati banyak penduduk dari desa-desa sekitar Karanganyar.

Akan tetapi, pengaruh keagamaannya lambat laun bergeser menjadi sebuah gerakan politik-religius. Dalam sebuah majelis, Iman Rejo mengklaim dirinya sebagai satu-satunya ulama yang mengajarkan Islam secara benar. Ia mengganti namanya menjadi Zaenal Abidin Imam Sampurno dan mengaku sebagai titisan Mangkunegara IV (r. 1853–1881). Dirinya menuntut dipanggil dengan gelar bangsawan Bandara Raden Mas (BRM) dan mewajibkan rakyat untuk mengangkat sembah setiap kali berbicara kepadanya. Simbolisme kebangsawanan ini memperlihatkan betapa ia berupaya menggabungkan legitimasi spiritual dengan klaim politik.

Militerisasi Gerakan: Pembentukan Tentara Jihad

Langkah ekstrem Imam Sampurno tidak berhenti pada aspek simbolik semata. Ia membentuk pasukan bersenjata untuk menjalankan "jihad pemurnian agama". Kakaknya, Nitomenggolo, diangkat sebagai panglima dengan nama baru, Imam Hanafi. Penggunaan nama-nama baru dalam lingkungan kelompok ekstrem ini menjadi strategi untuk membangun legitimasi karismatik di antara pengikutnya, mirip pola yang diadopsi kelompok ekstremis modern seperti jaringan Nurdin M. Top dan Dr. Azhari di abad ke-21.

Gerakan Imam Sampurno menjadi perhatian serius pihak Mangkunegaran ketika, pada 11 Oktober 1888, pasukan Imam Sampurno yang berjumlah sekitar 80 orang, terdiri atas pria dewasa, lengkap dengan istri dan anak-anak mereka, meninggalkan Girilayu. Dengan bersenjata tombak, kelewang, dan pedang, sambil berzikir di sepanjang perjalanan, mereka bergerak menuju Pesanggrahan Sri Katon di Tawangmangu—tempat peristirahatan keluarga Mangkunegara yang didirikan oleh Mangkunegara IV.

Tanpa perlawanan berarti dari penjaga, rombongan Imam Sampurno menduduki pesanggrahan tersebut. Para penjaga dilumpuhkan. Langkah ini merupakan sebuah deklarasi pemberontakan yang tidak hanya melawan Mangkunegaran, tetapi juga struktur sosial politik tradisional Jawa.

Berita tentang pendudukan Sri Katon segera mengguncang Pura Mangkunegaran di Surakarta. Pada malam hari, Pangeran Prangwedono (Mangkunegara V), Residen Surakarta, dan Letnan Kolonel KPH Gondosuputro mengadakan rapat darurat. Rapat ini menghasilkan keputusan penting: mengirim pasukan gabungan infanteri dan kavaleri Legiun Mangkunegaran untuk memulihkan keadaan.

Tanggal 12 Oktober 1888, tepat pukul 12.00, pasukan Legiun Mangkunegaran yang berjumlah 30 personel tiba di Tawangmangu. Taktik pengepungan diterapkan. Sebanyak 16 serdadu infanteri diposisikan dalam formasi pagar betis dengan jarak 30 langkah dari pesanggrahan, sedangkan kavaleri menutup jalur pelarian.

Dari dalam pesanggrahan, terdengar teriakan penuh keyakinan:
"Siapa kalian? Kalau kalian orang baik-baik, akuilah aku sebagai satu-satunya Gustimu! Sehingga aku tidak perlu bertindak lebih jauh!"

Tantangan tersebut diulang beberapa kali, namun tidak mendapat balasan lain kecuali seruan dari pihak Legiun untuk menyerah. Ketika negosiasi gagal, bentrokan tak terhindarkan.

Seorang pria bersenjatakan kelewang keluar dari pintu samping dan langsung dilumpuhkan oleh tembakan serdadu Legiun. Setelah itu, pasukan infanteri merangsek masuk melalui pintu utama.

Akhir Gerakan Imam Sampurno

Penyerbuan itu berlangsung singkat namun brutal. Di dalam Pesanggrahan Sri Katon, hanya 13 orang ekstremis bertahan. Imam Sampurno, istrinya, anak-anaknya, serta Nitomenggolo alias Imam Hanafi, tewas dalam pertempuran. Jenazah mereka dimakamkan di sekitar kompleks pesanggrahan.

Pasca-operasi, tumpukan senjata ditemukan, menandakan kesiapan gerakan ini untuk melakukan perlawanan bersenjata jangka panjang seandainya tidak segera ditangani. Para anggota yang luka-luka dirawat oleh dokter Mangkunegaran, sementara sebagian besar pengikut lainnya melarikan diri ke pedalaman, menghilang dari radar penguasa.

Mangkunegara V, didampingi KPH Gondosuputro, secara pribadi meninjau lokasi kejadian. Menyadari potensi bahaya laten, beliau memerintahkan Mantri Polisi Mertodirejo untuk memburu sisa-sisa jaringan gerakan tersebut. Namun, seperti yang sering terjadi dalam penumpasan gerakan-gerakan bawah tanah, tidak semua pengikut berhasil ditangkap.

Baca Juga : Dosen Unikama Bimbing Guru BK se-Malang Raya Kuasai Konseling Online Menggunakan Metaverse

Sebagian pengikut Imam Sampurno memilih tidak kembali ke desa asal mereka, menyadari bahwa keberadaan mereka di wilayah Mangkunegaran sudah tidak lagi diharapkan, bahkan terancam.

Refleksi Historiografis: Ekstremisme Lokal dan Ketahanan Negara

Dari sudut pandang historiografi, kasus Iman Sampurno memperlihatkan fenomena klasik radikalisasi agama di tengah masyarakat agraris Jawa pada akhir abad ke-19. Disorientasi sosial, ketimpangan ekonomi, dan pencarian identitas spiritual dalam bayang-bayang dominasi kolonial menjadi ladang subur bagi munculnya gerakan keagamaan ekstrem.

Namun, berbeda dengan pemberontakan besar seperti Perang Jawa (1825–1830) atau Perang Diponegoro, gerakan Iman Sampurno lebih berskala lokal, bersifat karismatik-personal, dan cepat digulung berkat respons militer yang efektif.

Mangkunegaran — sebagai kerajaan kecil namun berdaulat dalam sistem politik kolonial Hindia Belanda — menunjukkan kematangannya. Reaksi cepat, koordinasi elit bangsawan (Pangeran Prangwedono V, K.P.H. Gondosuputro), dan kekuatan militer profesional menjadi faktor kunci dalam membungkam pemberontakan sebelum meluas.

Ironisnya, kisah ini menggemakan pola yang masih relevan dalam studi kontemporer tentang ekstremisme: lahir dari keresahan lokal, didorong ideologi keagamaan, menggunakan kekerasan bersenjata, dan akhirnya dihentikan oleh kekuatan negara.

Kisah penumpasan gerakan Iman Sampurno oleh Legiun Mangkunegaran di bawah K.P.H. Gondosuputro menjadi contoh penting bagaimana ancaman ekstremisme tidak hanya soal ideologi, tetapi juga soal ketegasan negara dalam mempertahankan legitimasi. Dalam konteks Jawa abad ke-19, di mana batas antara spiritualitas, kekuasaan, dan politik sangat tipis, peristiwa ini berdiri sebagai pengingat akan pentingnya stabilitas dan kewaspadaan.

Sejarah mencatat: keberanian, ketegasan, dan profesionalisme militer Mangkunegaran menjadi tembok kokoh melawan kekacauan — fondasi yang menjaga kejayaan Mangkunegaran bertahan di tengah badai zaman.

Sejarah Singkat Kadipaten Mangkunegaran: Sebuah Kajian Historiografi

Kadipaten Mangkunegaran, atau lebih dikenal sebagai Praja Mangkunegaran, adalah salah satu entitas politik yang muncul sebagai hasil dari dinamika sejarah di Pulau Jawa pada abad ke-18. Secara resmi didirikan pada tahun 1757, Kadipaten Mangkunegaran merupakan monarki kadipaten otonom yang terletak di wilayah Jawa Tengah, tepatnya di Surakarta. Kadipaten ini memiliki status yang khas dalam struktur politik Jawa pada masa penjajahan Belanda, yakni sebagai negara vasal yang bergantung pada kekuasaan Hindia Belanda, meskipun tetap mempertahankan otonomi dalam urusan internalnya.

Pada abad ke-18, tepatnya antara tahun 1749 hingga 1755, Mataram menghadapi peperangan besar yang dikenal sebagai Perang Suksesi Jawa III. Perang ini diawali oleh ketegangan dalam internal kerajaan yang memperebutkan takhta setelah wafatnya Sultan Amangkurat II. Dua pihak utama yang bertarung adalah Pakubuwono III dari Kasunanan Surakarta dan Pangeran Mangkubumi, yang kemudian dikenal dengan gelar Sultan Hamengkubuwono I di Yogyakarta. Namun, ada satu sosok yang menonjol dalam perjuangan tersebut: Pangeran Sambernyawa, atau yang lebih dikenal dengan nama Raden Mas Said.

Perang ini tidak hanya melibatkan pertarungan fisik, tetapi juga didorong oleh ambisi politik dan pengaruh luar, terutama dari Belanda yang mendukung Pakubuwono III. Meski begitu, semangat perlawanan rakyat Mataram kepada kekuatan asing tetap berkobar. Pada 1755, Perjanjian Giyanti membagi Mataram menjadi dua bagian: Kasunanan Surakarta dan Kesultanan Yogyakarta. 

Namun, Pangeran Sambernyawa yang merasa kecewa dengan pembagian ini tidak berhenti berjuang. Ia terus memimpin pasukannya hingga akhirnya pada tahun 1757, dengan bantuan rakyat dan para pejuang dari berbagai wilayah, Perjanjian Salatiga mengakui Pangeran Sambernyawa sebagai Adipati Miji dengan gelar KGPAA Mangkunegara I, yang kemudian mendirikan Kadipaten Mangkunegaran.Wilayah kekuasaannya yang mencakup berbagai daerah strategis seperti Kedaung, Matesih, dan Gunung Kidul, menjadikan Mangkunegaran sebuah entitas yang kuat dan berpengaruh. 

Mangkunegara I diakui Belanda karena kemampuannya mengamankan wilayahnya, meskipun kedudukannya lebih rendah dari Kasunanan Surakarta dan Kesultanan Yogyakarta. Sebagai Adipati, penguasa Mangkunegaran memiliki otonomi terbatas dan tetap terikat pada perjanjian dengan Belanda sebagai negara vasal. Pada masa Mangkunegara II (1804–1835), 

Mangkunegaran mendukung Belanda dalam menghadapi perlawanan rakyat di Jawa Tengah. Meskipun di bawah pengaruh Belanda, Mangkunegaran berperan penting dalam menjaga budaya dan stabilitas sosial-politik, dengan Legiun Mangkunegaran sebagai pasukan militer. Setelah kemerdekaan Indonesia, Mangkunegaran tetap mempertahankan status budaya, meskipun tanpa kekuasaan politik, dan terus menjadi simbol penting warisan sejarah Jawa.