free web hit counter
Scroll untuk baca artikel
Hiburan, Seni dan Budaya

Madiun Melawan: Ronggo Prawirodiningrat dan Api Perang Jawa

Penulis : Aunur Rofiq - Editor : Nurlayla Ratri

13
×

Rencana Rilis PlayStation 6 Berpotensi Terungkap, Berkat Microsoft

Share this article
Stik Playstation
Gerbang makam Raden Ronggo Prawirodiningrat di Kompleks Makam Taman, Kota Madiun—tokoh bangsawan pejuang Perang Diponegoro dari timur Yogyakarta. (Foto: Aunur Rofiq/JatimTIMES)

JATIMTIMES - Sejarah Jawa pada awal abad ke-19 tidak bisa dilepaskan dari Perang Diponegoro (1825–1830), yang mengguncang struktur kekuasaan kolonial Belanda dan menggugah perlawanan kolektif rakyat Nusantara. Madiun, sebuah wilayah strategis di timur Yogyakarta, memainkan peran penting dalam perang ini. 

Di bawah kepemimpinan Pangeran Raden Ronggo Prawirodiningrat, Madiun menjadi basis perlawanan yang dipimpin oleh tokoh-tokoh lokal seperti Mas Kartodirdjo dan Raden Tumenggung Mangunprawiro. Melansir berbagai sumber, artikel ini mengupas perjalanan sejarah Madiun selama Perang Diponegoro, menyoroti dinamika kekuasaan, loyalitas bangsawan, peran ulama, hingga usaha Belanda menaklukkan wilayah yang penuh perlawanan ini.

Madiun: Basis Perlawanan yang Mengakar dalam Sejarah Keluarga

Baca Juga : Trik Masak Ketupat Hanya 40 Menit! Lengkap dengan Resep Makanan Pendampingnya

Pangeran Raden Ronggo Prawirodiningrat bukan sekadar Bupati muda Madiun di tengah gejolak kolonialisme, melainkan pewaris darah ningrat yang mengakar kuat dalam struktur kekuasaan Kesultanan Yogyakarta. Ia merupakan putra keenam Raden Ronggo Prawirodirjo III, tokoh penting yang pernah menjabat sebagai Bupati Wedana Madiun dan gugur dalam perlawanan terhadap Daendels pada tahun 1810. Ibunya, Gusti Kanjeng Ratu Maduretno, adalah putri Sultan Hamengkubuwana II. 

Dari pernikahan ini, lahirlah dua belas anak, termasuk tokoh-tokoh besar dalam sejarah Jawa, seperti Raden Ayu Maduretno (istri Pangeran Diponegoro), Raden Adipati Yudodiningrat (Bupati Ngawi), Raden Suryokusumo, dan Raden Ronggo Prawirodiningrat sendiri sebagai Bupati Wedana Madiun.

Sementara itu, dari pernikahan Raden Ronggo Prawirodirjo III dengan seorang selir asal Madiun, lahirlah Raden Bagus Sentot Prawirodirjo—yang kelak dikenal sebagai panglima utama pasukan Diponegoro dan dianugerahi gelar Pahlawan Nasional.

Sejak usia dini, Ronggo Prawirodiningrat tumbuh di lingkungan keraton Yogyakarta. Ia menyerap langsung nilai-nilai kepemimpinan, etika aristokrasi, serta memahami kompleksitas politik internal keraton, yang pada dekade-dekade awal abad ke-19 berada di bawah tekanan kolonial yang semakin kuat. Pada usia 21 tahun, ia diangkat sebagai Bupati Wedana Madiun, sebuah jabatan strategis yang menempatkannya dalam garis depan konfrontasi dengan kekuasaan kolonial Hindia Belanda.

Lingkungan istana bukan hanya membentuk Ronggo sebagai seorang bangsawan, tetapi juga sebagai pemimpin yang peka terhadap batas antara kekuasaan tradisional dan intervensi kolonial. Sebagai bagian dari keluarga besar yang banyak terlibat dalam pemerintahan dan militer—termasuk Pangeran Diponegoro dan Raden Bagus Sentot—Ronggo tumbuh dalam atmosfer yang sarat dinamika kekuasaan dan konflik ideologis antara elite Jawa dan dominasi asing.

Hubungannya dengan saudara-saudaranya sangat erat, termasuk dengan Raden Ayu Maduretno, istri Pangeran Diponegoro, yang juga merupakan saudara kandung dari ibu yang sama. Persaudaraan ini tidak hanya bersifat genealogis, melainkan juga ideologis—keterlibatan mereka dalam Perang Jawa (1825–1830) mencerminkan solidaritas keluarga bangsawan yang menolak dominasi kolonial Belanda.

Dari sisi nasab dan peran sosial-politik, keluarga ini menjadi representasi perlawanan yang bersumber dari pusat kekuasaan tradisional Jawa. Kesamaan darah dan nilai-nilai yang tertanam sejak kecil di lingkungan keraton menyatukan mereka dalam semangat kolektif untuk melawan ketidakadilan.

Madiun dalam Api Perang Jawa (1825-1830): Pusat Perlawanan di Mancanagara Timur

Perang Jawa (1825-1830) bukan sekadar pemberontakan melawan kolonialisme Belanda, melainkan juga perang ideologis yang melibatkan elemen-elemen politik, sosial, dan keagamaan. Madiun, sebagai salah satu pusat penting di wilayah Mancanagara Timur, menjadi medan pertempuran yang sengit dalam perlawanan terhadap kekuasaan kolonial. Di bawah kepemimpinan para bupati dan bangsawan yang berafiliasi dengan Pangeran Diponegoro, rakyat Madiun menunjukkan keberanian luar biasa dalam menentang dominasi Belanda.

Madiun memiliki tradisi panjang dalam perlawanan terhadap kekuasaan kolonial. Bupati Madiun saat Perang Jawa, Raden Ronggo Prawirodiningrat, adalah putra keenam Ronggo Prawirodirjo III dengan Gusti Kanjeng Ratu Maduretno, yang tidak lain adalah mertua Pangeran Diponegoro. Ronggo Prawirodirjo III sendiri merupakan tokoh penting dalam perlawanan terhadap Inggris dan Belanda pada akhir abad ke-18 dan awal abad ke-19.

Ketika Perang Jawa meletus pada 20 Juli 1825, Madiun dengan segera menjadi salah satu basis utama perlawanan. Rakyat dari berbagai golongan—bangsawan, ulama, santri, hingga rakyat biasa—bersatu dalam perjuangan melawan kolonialisme. Wilayah Madiun dan sekitarnya, seperti Maospati, Wonorejo, Kranggan, Muneng, Bagi, Keniten, Magetan, Bangil, Purwodadi, Gorang-Gareng, Ponorogo, Caruban, hingga Panggul di Pacitan, tercatat aktif dalam mendukung perlawanan Diponegoro.

Bukti keterlibatan luas masyarakat Madiun terlihat dari laporan PJ.F. Louw dan Kapten Infanteri E.S. De Klerck yang menyebutkan bagaimana berbagai daerah mengumpulkan pasukan bersenjata di bawah komando panglima-panglima lokal. Bahkan, desa-desa perdikan seperti Norowito, Pangrambe, Sentanan, dan Apana turut serta dalam perjuangan ini.

Perlawanan rakyat Madiun tidak lepas dari kepemimpinan para bupati yang mendukung Diponegoro. Nama-nama seperti Raden Mas Tumenggung Prawirodirjo (saudara sepupu Diponegoro), Raden Mas Tumenggung Prawirosentiko, Raden Mas Tumenggung Surodirjo, hingga Raden Ngabehi Mangunprawiro menjadi simbol keteguhan melawan Belanda.

Salah satu pemimpin perlawanan utama dari Madiun adalah Raden Tumenggung Mangunprawiro, putra Raden Tumenggung Mangunnegoro yang gugur dalam perang. Ia menggantikan ayahnya sebagai bupati dan panglima perang, meskipun secara formal kedudukan bupati Purwodadi diserahkan kepada adiknya, Raden Tumenggung Yudodipuro.

Peperangan di wilayah Madiun dimulai dari perbatasan Ngawi, Kawuh, Gerih, dan Kudur Bubuk. Letnan Jenderal De Kock mencatat dalam jurnalnya bahwa pada 8 Agustus 1825, wilayah Madiun, Caruban, dan Magetan telah mengumpulkan pasukan terpilih di bawah komando Panglima Mas Kartodirdjo.

Sementara itu, pertempuran juga berkecamuk di Pacitan. Di bawah kepemimpinan Bupati Mas Tumenggung Djojokarijo, Tumenggung Jimat, dan Ahmad Taris, pasukan Madiun bertahan mati-matian. Namun, pada Agustus 1825, Belanda akhirnya berhasil menguasai Pacitan. Bupati Djojokarijo dipecat, sementara Tumenggung Jimat dan Ahmad Taris ditangkap dan menghilang tanpa jejak.

Pada 9 Oktober 1825, pasukan Madiun yang dipimpin Raden Mas Diposonojo—putra Pangeran Diponegoro—melakukan serangan balik dan membunuh bupati baru yang ditunjuk Belanda, Mas Tumenggung Somodiwiryo. Namun, pada Desember 1825, pasukan Madiun di Pacitan akhirnya tercerai-berai, dan wilayah itu sepenuhnya jatuh ke tangan Belanda.

Pada November 1825, Residen Rembang Van Lewick berusaha membujuk para bupati Madiun agar menyerah kepada Belanda. Namun, upaya ini gagal. Sebagai tanggapan, Belanda mengirim pasukan di bawah Kapten Infanteri Theunissen yang diperkuat pasukan dari Surabaya.

Tanggal 13 November 1825, Belanda berhasil merebut Ngawi, yang merupakan pusat perdagangan dan pelayaran strategis. Dua hari kemudian, pasukan Madiun mundur ke selatan, tetapi mereka akhirnya dikepung oleh pasukan Belanda dari berbagai arah. Sebanyak 60 prajurit gugur, dan akhir tahun itu, Belanda mulai membangun Benteng Stelsel di Ngawi, dengan garnisun berjumlah 250 tentara bersenjata lengkap.

Diplomasi Gagal: Upaya Van Lewick di Madiun

Baca Juga : 9 Kota Tujuan Wisata Populer di Jawa Timur, Wajib Coba Kuliner Khasnya!

Pada November 1825, Belanda mencoba meredam perlawanan dengan strategi diplomasi. Van Lewick, Residen Rembang, mengundang para bupati di wilayah Madiun—termasuk Madiun, Maospati, Magetan, Muneng, dan Gorang-Gareng—untuk menghadiri pertemuan damai. Dalam upaya ini, Van Lewick menawarkan iming-iming tertentu, seperti pengakuan resmi dan keuntungan material, dengan harapan para bupati tidak lagi mendukung Perang Diponegoro.

Namun, usaha ini berakhir dengan kegagalan. Para bupati tetap setia kepada Pangeran Diponegoro, terinspirasi oleh moralitas dan keteguhan Bupati Wedono Madiun, Ronggo Prawirodiningrat. Kegagalan diplomasi ini memaksa Belanda beralih ke langkah militer. 

Setelah diplomasi gagal, Belanda mengirimkan satu detasemen tentara di bawah Kapten Infanteri Theunissen, diperkuat oleh satuan lapangan dari Surabaya. Pasukan ini menghadapi perlawanan sengit dari rakyat Madiun yang dipimpin oleh Mas Kartodirdjo dan Mangunprawiro.

Strategi gerilya yang diterapkan oleh pasukan Madiun memanfaatkan medan geografis yang sulit dijangkau. Mereka tidak hanya bertahan, tetapi juga melakukan serangan-serangan kejutan yang melemahkan moral pasukan kolonial. Meski memiliki persenjataan lebih unggul, pasukan Belanda sering kewalahan menghadapi taktik perang rakyat Madiun.

Setelah jatuhnya pertahanan di Ngawi, pasukan Madiun berkonsolidasi di Wonorejo. Namun, Belanda yang sudah mengantisipasi pergerakan ini mengirim pasukan besar pada 18 Desember 1825, dipimpin Kapten Infanteri Reser. Serangan dilakukan dari berbagai penjuru, termasuk dari Ponorogo yang dikuasai tentara Surakarta.

Pertempuran besar terjadi pada 18 Desember 1825, dan pasukan Madiun mengalami kekalahan telak. Pangeran Serang, menantu Pangeran Mangkudiningrat, gugur bersama istrinya dalam pertempuran ini. Ia dikenal sebagai keturunan Sunan Kalijaga dari Kadilangu, Demak.

Pemberontakan kecil masih terjadi hingga awal 1826, tetapi dengan ditangkapnya Panglima Mas Kartodirdjo pada 9 Januari 1826, kekuatan perlawanan Madiun semakin melemah. Bupati Wedana Mancanegara Timur, Ronggo Prawirodiningrat, akhirnya ditangkap dan dibawa ke Benteng Ngawi. Namun, Belanda baru benar-benar menguasai Madiun pada 1827 setelah membangun benteng pertahanan di Desa Kartoharjo.

Pada 15 Mei 1828, benteng Belanda di Madiun rampung dibangun dan dijaga oleh ribuan tentara siang dan malam. Ini menandai awal kolonialisme Belanda yang lebih sistematis di wilayah Kabupaten Madiun. Pangeran Ronggo Prawirodiningrat secara de jure masih menjabat sebagai bupati, tetapi secara praktis, kekuasaannya berada di bawah kendali penuh Belanda.

Pada Juni 1828, pemberontakan kecil masih terjadi, dipimpin oleh Raden Sosrodilogo. Namun, dengan ditangkapnya Sosrodilogo pada 3 November 1828, situasi di Madiun akhirnya kembali "stabil" di bawah kendali kolonial.

Perang Jawa di Madiun menunjukkan betapa kompleksnya dinamika perjuangan melawan Belanda. Perlawanan ini tidak hanya melibatkan unsur militer, tetapi juga politik dan keagamaan.

Dari Ngawi hingga Pacitan, dari Pangeran Serang hingga Raden Mas Diposonojo, perjuangan rakyat Madiun merupakan bagian integral dari Perang Diponegoro. Meski akhirnya dikalahkan, perlawanan ini. memberikan gambaran tentang bagaimana rakyat Jawa mempertahankan kehormatan dan kedaulatannya dalam menghadapi kolonialisme.

Perang di Madiun bukan hanya tentang jatuhnya sebuah wilayah ke tangan Belanda, tetapi juga tentang bagaimana semangat perlawanan terus hidup dalam jiwa masyarakat Jawa, bahkan setelah perang berakhir.

Pengorbanan dan Loyalitas di Tengah Konflik

Perlawanan di Madiun tidak hanya soal taktik dan strategi, tetapi juga soal loyalitas dan pengorbanan. Ronggo Prawirodiningrat, meski muda, berhasil mempersatukan kekuatan bangsawan, ulama, dan rakyat untuk melawan Belanda. Di sisi lain, Mangunprawiro mengorbankan statusnya sebagai pemimpin yuridis untuk memimpin pasukan di medan perang.

Namun, tekanan dari Belanda yang semakin besar, ditambah dengan strategi divide et impera, perlahan melemahkan kekuatan perlawanan di berbagai wilayah Mataram.

Madiun dalam Perang Diponegoro bukan sekadar wilayah konflik, tetapi simbol perlawanan terhadap penindasan kolonial. Peran tokoh-tokoh seperti Ronggo Prawirodiningrat, Mas Kartodirdjo, dan Raden Tumenggung Mangunprawiro mengajarkan pentingnya keberanian, loyalitas, dan solidaritas dalam melawan ketidakadilan.

Meskipun akhirnya perlawanan ini harus tunduk pada kekuatan kolonial, semangat yang ditinggalkan tetap hidup sebagai inspirasi bagi generasi berikutnya. Perang Diponegoro adalah pengingat bahwa perlawanan terhadap tirani memerlukan pengorbanan besar, tetapi juga merupakan landasan bagi perjuangan yang lebih besar di masa depan.