JATIMTIMES - Setelah berakhirnya Perang Jawa pada 1830, banyak yang mengira bahwa perlawanan terhadap kekuasaan kolonial di Jawa telah berakhir. Namun, kenyataan berkata lain. Gerakan-gerakan perlawanan, baik yang dilakukan secara terang-terangan maupun dalam bentuk konspirasi rahasia, terus berlanjut di berbagai daerah, termasuk di Kepangeranan Yogyakarta.
Artikel ini akan mengupas berbagai gerakan semiperiferal yang muncul di Yogyakarta setelah 1830 dengan merangkum da beragam sumber. Dari upaya bangkitnya kembali pengikut Diponegoro, klaim-klaim takhta oleh tokoh-tokoh misterius, hingga konspirasi politik yang melibatkan para bangsawan dan elite keraton. Sejarah mencatat bahwa meskipun Belanda telah menguasai Jawa, api perlawanan tidak pernah benar-benar padam.
Munculnya Gerakan-Perlawanan Baru
Baca Juga : Megatron Resmi Perkuat GPPI, Peluang Juara Proliga 2025 di Depan Mata
Tidak lama setelah Perang Jawa berakhir, muncul berbagai gerakan yang masih berakar pada jaringan pengikut Pangeran Diponegoro. Pada Maret 1831, sebuah konspirasi terungkap di Bagelen, melibatkan mantan sekutu pemimpin-pemimpin pemberontakan.
Salah satu yang tertangkap adalah Jayasena, seorang bekas prajurit Diponegoro yang kedapatan membagikan jimat kepada masyarakat. Jimat itu diyakini memiliki kekuatan magis dan menjadi simbol harapan bahwa Diponegoro akan kembali untuk memimpin perlawanan baru.
Ketika diinterogasi, Jayasena menyebut beberapa nama besar seperti Raden Basah Gondokusuma, Mertanegara, dan Sentot Ali Basah Prawirodirdjo sebagai bagian dari gerakan ini. Namun, otoritas Belanda tampaknya enggan untuk melakukan penyelidikan lebih dalam di dalam keraton. Jayasena akhirnya dibuang ke luar Jawa selama 20 tahun, sebuah hukuman yang kerap diberikan kepada tokoh-tokoh perlawanan yang dianggap berbahaya bagi stabilitas kolonial.
Klaim Takhta dan Gerakan Mistis
Pada 1834, sebuah desas-desus beredar di Kedu bahwa seorang putra Diponegoro, yang dikenal sebagai Pangeran Diponegoro Anom, sedang membangun pengaruh di daerah tersebut. Berbeda dengan sikapnya yang sebelumnya lebih dekat dengan orang-orang Eropa, ia mulai menghindari interaksi dengan mereka, menjalani hidup sederhana, dan mengorganisasi pertemuan-pertemuan rahasia.
Konon, ia menyebarkan kabar bahwa Diponegoro dan Sentot akan kembali ke Jawa untuk melanjutkan perjuangan. Kabar ini menimbulkan kegelisahan di kalangan penguasa kolonial. Meski tidak ditemukan bukti kuat atas aktivitasnya, Gubernur Jenderal memutuskan untuk memindahkannya ke Sumenep, Madura, agar tetap berada di bawah pengawasan ketat.
Pada 1848, muncul tokoh lain yang mengaku sebagai Raden Mas Diejar, putra Pangeran Mangkubumi. Ia berusaha menghasut masyarakat Yogyakarta untuk melakukan pemberontakan. Klaimnya sulit dibuktikan, dan ia akhirnya ditangkap dan diasingkan ke luar Jawa. Fenomena ini menunjukkan bagaimana klaim keturunan ningrat masih menjadi alat ampuh dalam memobilisasi perlawanan rakyat.
Konspirasi Politik di Balik Keraton
Pada 1865, sebuah konspirasi besar terbongkar, melibatkan beberapa tokoh penting di dalam Keraton Yogyakarta. Kasus ini dimulai dari laporan seorang informan bernama Prawira Atmaja dari Muntilan, Kedu. Dalam laporannya kepada Residen Yogyakarta, ia menyebut nama Alibrahim, seorang informan lain, yang mengungkap keterlibatan Tumenggung Mertanegara, seorang komandan pasukan Sultan, dalam sebuah rencana misterius.
Menurut laporan tersebut, Mertanegara bersama anak-anaknya dan seorang ulama bernama Kiai Ahmad Ali sering mengadakan pertemuan di tempat-tempat terpencil. Mereka melakukan ritual di Gua Langsé, Pantai Selatan, yang dipercaya sebagai tempat sakral yang berhubungan dengan penguasa gaib Ratu Kidul. Mereka juga mengkonsumsi 'olob'—mungkin sejenis ramuan atau obat mistis—dan menjalani ritual untuk membuat diri mereka kebal terhadap senjata musuh.
Keterlibatan tokoh-tokoh keraton dalam aktivitas semacam ini menimbulkan kecurigaan di kalangan pejabat kolonial. Apakah ini sekadar ritual keagamaan, atau bagian dari persiapan untuk sebuah pemberontakan?
Ketegangan di Dalam Keraton
Baca Juga : Musisi Nasional Gilang Ramadhan Sosialisasi LMK Musik Tradisi di Banyuwangi
Residen Yogyakarta, A.J. Bosch, merasa tidak nyaman dengan laporan ini. Ia baru saja menyelesaikan kunjungannya ke Yogyakarta dan mengakui bahwa hubungan kekuasaan di dalam keraton terlalu rumit untuk dipahami secara cepat. Namun, satu hal yang jelas: Mertanegara telah lama berselisih dengan kakaknya, Patih Danureja V, yang baru-baru ini mengambil alih kendali keuangan Sultan.
Ketika konspirasi di Solo terbongkar, banyak tersangka memberikan informasi yang mengarah pada keterlibatan Mertanegara. Desas-desus pun beredar bahwa Patih Danureja berencana menyerang Sultan dalam upacara Garebek. Hal ini memaksa Bosch untuk mengambil langkah pencegahan, dengan menempatkan pasukan tambahan di sekitar keraton selama acara berlangsung.
Pada hari Garebek, Patih Danureja dikabarkan sakit, tetapi ia tetap muncul dalam upacara untuk menepis kecurigaan. Sultan sendiri meyakinkan Bosch bahwa meskipun Perang Jawa pernah berkecamuk hebat, tidak pernah ada gangguan selama upacara Garebek.
Intrik, Perlawanan, dan Masa Depan Yogyakarta
Pada akhir Oktober 1865, Residen Bosch menyerahkan laporan akhirnya. Ia mengakui bahwa sebagian besar informasi tentang konspirasi di Yogyakarta berasal dari para mata-mata Sultan yang ingin menjatuhkan musuh-musuhnya. Tidak ada bukti konkret bahwa rakyat atau keluarga keraton secara umum memiliki kebencian mendalam terhadap pemerintahan kolonial.
Namun, yang terjadi di Yogyakarta bukanlah sekadar persoalan perlawanan terhadap Belanda, tetapi juga konflik internal mengenai suksesi. Ada persaingan antara pendukung Sultan Hamengku Buwana VI dan kelompok yang mendukung Raden Mas Mohamad. Dalam pusaran intrik ini, Mertanegara muncul sebagai tokoh yang didorong oleh kepentingan finansial dan kekuasaan, sementara Pangeran Surya Mataram menjadi simbol perlawanan bagi mereka yang menolak kekuasaan Belanda.
Kasus ini memperlihatkan bahwa meskipun Belanda menguasai Jawa, mereka tidak pernah benar-benar bisa mengendalikan dinamika politik di dalam keraton. Persoalan mistisisme, intrik politik, dan konflik internal terus menjadi bagian dari sejarah kepangeranan, menandai era transisi yang penuh ketegangan antara kekuasaan tradisional dan kolonialisme.
Dan demikianlah babak yang kerap dilupakan dari sejarah Yogyakarta, ketika api perlawanan tak benar-benar padam, hanya menyala redup di lorong-lorong tersembunyi keraton, di pelataran Gua Langsé, dan di balik senyapnya ritual-ritual malam. Di tengah klaim-klaim takhta yang samar, kabut mistisisme, dan ambisi politik yang membara, para tokoh seperti Jayasena, Diponegoro Anom, hingga Mertanegara membentuk jejaring kompleks dari harapan, pengkhianatan, dan konspirasi.
Bagi Belanda, ini adalah sekadar gejolak kecil dalam proyek panjang stabilisasi kekuasaan. Namun bagi rakyat dan bangsawan yang masih menyimpan bara keyakinan pada kedaulatan Jawa, ini adalah ikhtiar mempertahankan harga diri budaya, darah, dan tanah leluhur.
Yogyakarta, dalam masa itu, bukan semata-mata ibu kota sebuah kepangeranan; ia menjadi panggung tempat politik dan spiritualitas bersilangan, tempat jimat dan laporan mata-mata saling mengaburkan batas antara loyalitas dan pengkhianatan.
Dan selama takhta diwariskan, selama darah Diponegoro masih mengalir dalam nadi-nadi keturunan yang dirahasiakan, selama keraton berdiri dengan pusaka dan narasi lamanya—api itu tak akan pernah benar-benar padam. Ia hanya menunggu hembusan angin sejarah berikutnya.