JATIMTIMES - Dalam ajaran Islam, utang bukan hanya masalah duniawi, tetapi juga sebuah tanggung jawab yang harus dilunasi, bahkan hingga setelah seseorang meninggal dunia. Sebuah kisah penting dalam kehidupan Rasulullah SAW menyampaikan betapa besar perhatian beliau terhadap masalah utang, hingga pada satu kesempatan beliau menolak untuk menyalati jenazah seseorang karena masih memiliki utang.
Kisah ini diriwayatkan dalam hadits yang diceritakan oleh Imam Bukhari dan Imam Ahmad. Suatu ketika, Rasulullah SAW diminta untuk menyalati jenazah seseorang. Sebelum melaksanakan tugas mulia tersebut, beliau bertanya kepada orang-orang yang membawa jenazah. "Apakah orang ini meninggalkan sesuatu?" tanya beliau. Ketika mereka menjawab bahwa tidak ada warisan yang ditinggalkan, beliau kemudian bertanya lagi, "Apakah ia mempunyai utang?" Jawaban mereka mengejutkan, "Tiga dinar."
Baca Juga : Kapan Batas Waktu Pelaksanaan Puasa Syawal? Ini Jadwalnya
Rasulullah SAW lantas mengungkapkan, "Kalau begitu, silakan kalian saja yang menyalatinya." Namun, seorang sahabat dari kaum Anshar, Abu Qatadah, kemudian berdiri dan menawarkan diri untuk menanggung utang jenazah tersebut. Setelah ada seseorang yang bersedia menanggung utang itu, barulah Rasulullah SAW setuju untuk menyalatinya.
Kisah ini menggambarkan bagaimana Rasulullah SAW menekankan bahwa utang harus dilunasi, bahkan jika seseorang telah meninggal dunia. Penulis buku Panduan Salat Lengkap & Praktis Sesuai Petunjuk Rasulullah SAW, Abdul Kadir Nuhuyanan, menjelaskan bahwa seorang yang meninggal dunia dan memiliki utang tetap boleh disalati jenazahnya, namun utangnya harus diselesaikan terlebih dahulu. Jika yang bersangkutan tidak meninggalkan harta untuk membayar utang tersebut, maka utang itu sebaiknya ditangguhkan kepada keluarga yang masih hidup.
Hal ini juga ditegaskan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abu Umamah RA, yang menyatakan bahwa Rasulullah SAW menyampaikan pesan saat Haji Wada, “Pinjaman harus dikembalikan, penanggung utang adalah yang berutang, dan utang itu harus dilunasi.”
Musthafa Dib Al-Bugha dalam bukunya Al-Tadzhib fi Adillati Matn al-Ghayah wa al-Taqrib menjelaskan lebih lanjut bahwa seseorang yang menanggung utang jenazah harus membayar utang tersebut. Dalam hal ini, penanggung utang itu tidak hanya bertanggung jawab untuk membayar, tetapi ia juga dianggap sebagai pengutang yang dituntut untuk melunasi utang yang ditanggungnya.
Utang, menurut perspektif hukum Islam, adalah tanggung jawab yang tidak bisa dihindari. Kewajiban untuk membayar utang berlandaskan pada prinsip bahwa yang berutang harus menunaikan kewajibannya sendiri, bukan orang lain yang menanggungnya.
Baca Juga : Nabi Nuh Menangis 300 Tahun: Teguran Ilahi atas Anak yang Tersesat
Dalam Surah Al-Baqarah ayat 282, Allah SWT memberikan petunjuk yang sangat jelas tentang utang piutang. Allah berfirman, “Wahai orang-orang yang beriman, apabila kamu berutang piutang untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu mencatatnya. Hendaklah seorang pencatat di antara kamu menuliskannya dengan benar…”
Ayat ini mengajarkan bahwa transaksi utang harus dilakukan dengan jelas dan terperinci, baik dalam hal pencatatan maupun kesaksian. Hal ini bertujuan untuk menjaga keadilan dan menghindari perselisihan di kemudian hari. Allah juga mengingatkan agar kita bertakwa dan memastikan bahwa utang tidak dipermudah atau diabaikan.
Pentingnya mencatat utang dengan benar, seperti yang diperintahkan dalam Al-Qur'an, menghindarkan kemungkinan adanya perbedaan pendapat atau kebingungannya jika suatu saat masalah ini muncul. Dalam hal utang-piutang, Al-Qur'an menegaskan bahwa hal tersebut bukan hanya urusan duniawi, tetapi juga terkait dengan keadilan dan takwa di hadapan Allah.