free web hit counter
Scroll untuk baca artikel
Serba Serbi

Membongkar Tata Kelola Kerajaan Kartasura: Pemerintahan di Masa Pakubuwana II

Penulis : Aunur Rofiq - Editor : Yunan Helmy

13
×

Rencana Rilis PlayStation 6 Berpotensi Terungkap, Berkat Microsoft

Share this article
Stik Playstation
Petilasan makam Sunan Pakubuwana II di Astana Laweyan. Terletak di Kelurahan Laweyan, Kecamatan Laweyan, Kota Surakarta, Jawa Tengah, petilasan ini menjadi saksi bisu sejarah panjang Kasunanan Surakarta. Sunan Pakubuwana II dikenal sebagai raja yang memindahkan pusat pemerintahan dari Kartasura ke Surakarta pada tahun 1745, mendirikan Keraton Surakarta Hadiningrat yang masih berdiri hingga kini. (Foto: Aunur Rofiq/JatimTIMES)

JATIMTIMES - Pada tahun 1726, Raden Mas Prabasuyasa, seorang pemuda berusia 15 tahun, dinobatkan sebagai Sri Susuhunan Pakubuwana II. Masa pemerintahannya menjadi saksi dari sebuah periode penting dalam sejarah Jawa: kejayaan dan keruntuhan Kartasura, serta perpindahan pusat pemerintahan ke Surakarta. 

Sebagai raja muda, Pakubuwana II menghadapi tantangan besar berupa konflik internal, pemberontakan, dan tekanan dari VOC. Namun, di balik itu, ia menciptakan sistem pemerintahan yang unik dengan tatanan birokrasi yang tertata rapi, sebagaimana tercatat dalam dokumen tahun Jawa 1655 (1726 M).

Baca Juga : Wunjudkan Pemerintahan Bersih, Wali Kota Malang Minta ASN Patuhi MCP-KPK

Artikel ini mengurai secara mendalam struktur tata kelola pemerintahan Kartasura di masa Pakubuwana II, menggambarkan peran masing-masing pejabat, dan menempatkan dokumen bersejarah ini dalam konteks dinamika politik abad ke-18. 

Pakubuwana II dan Pusat Kekuasaan di Kartasura

Sebagai Susuhunan Mataram kesembilan, Pakubuwana II memulai pemerintahannya di Kartasura, istana yang telah menjadi simbol kekuasaan dinasti Mataram. Ia bukan sekadar raja, tetapi juga seorang pemimpin spiritual yang bertanggung jawab menjaga "bang bang pangalum-alum," atau ketentraman kerajaan. Dalam struktur kekuasaan, sang putra mahkota, Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Anom Hamangkunagara, diberi peran sebagai pewaris langsung, dengan tugas mengawasi ketertiban di dalam istana.

Namun, peran paling strategis di luar istana dipegang oleh Patih Dalem, Adipati Danureja. Patih ini diberi kekuasaan penuh atas wilayah Jawa, dengan pengaruh yang hampir tak terbantahkan. Dalam naskah, patih digambarkan sebagai sosok "dhedhak merang amis bacin," metafora yang melambangkan kepercayaan penuh raja atas ucapannya yang dianggap benar.

Struktur Pemerintahan yang Terperinci

Pemerintahan Kartasura di masa Pakubuwana II memiliki struktur yang kompleks dan mencerminkan harmoni antara tradisi Jawa dan nilai-nilai Islam. Setiap pejabat memiliki tugas spesifik yang diatur dengan cermat, sebagaimana tercatat dalam dokumen tahun 1726.

Dalam struktur Nayaka Kaparak Tengen dan Kiwa, Raden Demang Ngurawan dan Raden Mangkupraja bertanggung jawab atas pengelolaan seni dan keahlian khusus. Mereka mempersiapkan pasukan, menata prajurit, serta menguasai bahasa dan kesusastraan. Sementara itu, Raden Tumenggung Natawijaya dan Kyai Tumenggung Kartanadi berperan dalam bidang militer, melatih prajurit, mengatur mata-mata, serta menjaga keamanan kerajaan.

Di bawah Nayaka Gedhong Tengen dan Kiwa, pejabat seperti Kyai Tumenggung Tirtawiguna dan Kyai Tumenggung Wirareja mengelola keuangan prajurit serta sistem penghargaan bagi mereka yang berjasa. Sementara itu, Kyai Tumenggung Puspanagara dan Kyai Tumenggung Mangunnagara bertanggung jawab atas seni pertunjukan, mulai dari menciptakan gendhing hingga menyiapkan tarian untuk berbagai upacara kerajaan.

Dalam lingkup Nayaka Jawi Tengen, Kyai Tumenggung Anggawangsa dan Kyai Tumenggung Cakrakaya menangani aspek logistik kerajaan. Mereka bertugas mengatur kebutuhan raja, mulai dari penyediaan tenaga kerja kasar hingga mencari wanita penghibur yang diperuntukkan bagi acara-acara tertentu di istana.

Sementara itu, di dalam Nayaka Siti Ageng, Raden Tumenggung Pringgalaya dan Raden Harya Mlayakusuma memegang peran penting dalam aspek spiritual kerajaan. Mereka bertugas menyiapkan sesaji, menjaga keseimbangan kebatinan istana, serta memastikan bahwa ritual-ritual keagamaan dijalankan dengan sempurna demi menjaga keharmonisan kerajaan.

Pejabat Mancanegara dan Pesisir

Salah satu ciri khas pemerintahan Kartasura adalah keterlibatan pejabat di luar istana. Para Adipati Mancanegara memiliki tanggung jawab menjaga ketertiban di wilayah mereka, menumpas pemberontakan, dan melindungi rakyat dari hewan buas. Di sisi lain, pejabat pesisir bertugas mengelola perdagangan internasional dan memastikan kebutuhan kerajaan, seperti kain, logam mulia, dan senjata, terpenuhi.

Peran strategis pejabat pesisir sangat penting di tengah tekanan ekonomi dan politik dari VOC, yang semakin intens di abad ke-18. Para adipati pesisir tidak hanya menjadi penghubung antara kerajaan dan dunia luar, tetapi juga berperan sebagai penyangga ekonomi Kartasura.

Harmoni Tradisi Jawa-Islam dalam Tata Kelola

Sistem pemerintahan Kartasura di bawah Pakubuwana II tidak hanya menjadi cerminan struktur birokrasi yang tertata rapi, tetapi juga sebuah upaya untuk memadukan nilai-nilai tradisi Jawa dengan ajaran Islam secara harmonis. Tradisi Jawa yang kaya akan simbolisme dan filosofi diselaraskan dengan prinsip-prinsip syariat Islam, menciptakan suatu bentuk pemerintahan yang tidak hanya berfokus pada administrasi, tetapi juga spiritualitas. Dalam konteks ini, harmoni antara dunia material dan spiritual menjadi fondasi yang penting untuk menjaga keseimbangan kerajaan.

Peran sentral dalam menjaga harmoni ini dipegang oleh para penghulu dan ulama, yang tidak sekadar bertindak sebagai otoritas keagamaan, tetapi juga sebagai penjaga etika dan moral kerajaan. Mereka mengemban tanggung jawab besar, dari mengadili perkara-perkara agama seperti perkawinan, warisan, hingga wasiat, hingga memastikan semua upacara dan ritual berjalan sesuai dengan syariat Islam. Salat hajat dan doa-doa khusus yang mereka panjatkan kepada Allah diyakini membawa keberkahan dan keselamatan bagi raja, keluarga kerajaan, serta seluruh rakyat di bawah naungan Kartasura.

Di luar tugas-tugas keagamaan, para ulama juga memainkan peran intelektual. Mereka adalah penjaga ilmu pengetahuan yang berbasis pada kitab-kitab klasik Islam. Ahli dalam ilmu perbintangan, tajwid, irkat, hingga pemahaman mendalam terhadap makna Al-Qur'an, para ulama ini tidak hanya memberikan panduan spiritual, tetapi juga menjadi rujukan dalam berbagai keputusan penting kerajaan. Tradisi tirakat, seperti berpuasa dan bersemedi, menjadi bagian dari keseharian mereka dalam mengabdi kepada Sang Pencipta sekaligus memperkuat hubungan spiritual dengan alam semesta.

Baca Juga : Conten Kreator Bisa Dapat Beasiswa di Universitas Muhammadiyah Malang

Selain itu, harmoni tradisi Jawa-Islam ini juga tercermin dalam peran pejabat seperti Kyai Tumenggung Wiranggalaya, yang diberi tanggung jawab khusus dalam memastikan keamanan fisik kerajaan. Sebagai Nayaka Prang, ia tidak hanya merancang pertahanan strategis seperti pembangunan benteng istana dan jaringan jalan bagi prajurit, tetapi juga mempertimbangkan aspek estetikanya, yang menjadi cerminan tata krama Jawa. Dalam pandangannya, keamanan fisik istana tidak dapat dipisahkan dari keindahan dan keharmonisan lingkungan yang mengelilinginya.

Kyai Tumenggung Wiranggalaya juga menjaga keseimbangan antara kebutuhan material dan spiritual kerajaan. Sebagai pelindung kerajaan dari ancaman eksternal, ia memastikan benteng istana tidak hanya kokoh secara fisik tetapi juga dipenuhi doa-doa keselamatan yang dipanjatkan oleh para ulama dan penghulu. Dengan cara ini, ia berusaha menggabungkan ketangguhan militer dengan perlindungan ilahi, menciptakan keamanan yang menyeluruh bagi Kartasura.

Harmoni antara tradisi Jawa dan ajaran Islam di era Pakubuwana II bukan hanya strategi untuk memperkuat legitimasi raja, tetapi juga menjadi identitas khas yang membedakan Kartasura dari kerajaan-kerajaan lain. Melalui kolaborasi antara raja, pejabat, ulama, dan masyarakat, Pakubuwana II berhasil menciptakan sistem pemerintahan yang tidak hanya berorientasi pada kekuasaan, tetapi juga pada kesejahteraan spiritual rakyatnya. Inilah warisan berharga yang terus hidup dalam ingatan sejarah, menjadi pelajaran berharga bagi tatanan pemerintahan hingga masa kini.

Tata Kelola Keagamaan dan Peran Spiritual dalam Pemerintahan Kartasura

Pada era Pakubuwana II, keberadaan penghulu dan ulama memiliki posisi strategis dalam menjaga harmoni spiritual kerajaan. Penghulu dan khotib tidak hanya bertugas menegakkan syariat, mengadili perkara perkawinan, waris, dan wasiat, tetapi juga memastikan keadilan hukum hingga pada eksekusi berat seperti hukuman pancung. Mereka memanjatkan doa keselamatan melalui salat hajat, memohon berkah Allah bagi raja, keluarga kerajaan, dan seluruh rakyat di Jawa. Selain itu, mereka menguasai ilmu penanggalan, perbintangan, dan kitab-kitab hukum yang menjadi pedoman dalam setiap keputusan kerajaan.

Para ulama berperan lebih luas, menjadi penjaga moral dan pengetahuan. Mereka dikenal sebagai ahli Al-Qur'an, tajwid, irkat, dan ilmu perbintangan. Selain itu, mereka menguasai berbagai kitab klasik, memahami makna mendalam teks agama, dan menjalankan kehidupan spiritual yang ketat melalui tirakat, puasa, dan doa. Ulama juga menjadi teladan kesabaran dan kesalehan, memimpin salat Jumat sebagai penghulu sekaligus menyampaikan pesan moral melalui khotbah.

Di tingkat desa, Mardikan bertugas menjaga ketertiban lokal, memastikan keamanan, menegur pelanggar syariat, dan mengingatkan masyarakat untuk salat. Sementara itu, Abdi-Dalem Prajurit Suranata bertanggung jawab menjaga raja, terutama pada hari-hari penting seperti wiyosan, dengan penuh kesetiaan kepada agama Islam.

Peran spiritual semakin kompleks dengan adanya Abdi-Dalem Juru Ajar, yang mengemban tugas unik seperti membaca tanda-tanda alam dari gunung berapi hingga suara gemuruh misterius. Mereka menguasai ilmu pawukon, kabudan, hingga doa-doa tolak bala, menjadikan mereka penjaga dimensi esoterik kerajaan. Peran-peran ini menunjukkan bagaimana sistem pemerintahan Kartasura memadukan tradisi Jawa dan nilai-nilai Islam dalam struktur tata kelola yang menyeluruh.

Dinamika Politik di Balik Keputusan Raja

Sebagai raja muda, Pakubuwana II sering berada di bawah pengaruh para penasihatnya. Ibu suri, Ratu Amangkurat, dikenal sebagai pendukung kuat VOC, sementara tokoh seperti Patih Danureja memiliki pandangan yang lebih nasionalis. Konflik antara kedua kubu ini mencerminkan dinamika politik yang kompleks di istana.

Dokumen tahun 1726 tidak hanya menggambarkan struktur pemerintahan, tetapi juga memperlihatkan bagaimana Pakubuwana II berusaha menjaga keseimbangan kekuasaan di tengah tekanan internal dan eksternal.

Warisan Pakubuwana II untuk Jawa

Masa pemerintahan Pakubuwana II menjadi babak penting dalam sejarah Jawa. Meski keruntuhan Kartasura terjadi di masanya, sistem pemerintahan yang ia bangun menjadi dasar bagi tatanan birokrasi di Surakarta dan Yogyakarta.

Melalui dokumen ini, kita tidak hanya melihat bagaimana sebuah kerajaan diatur, tetapi juga bagaimana seorang raja muda menghadapi tantangan zaman dengan memadukan tradisi dan modernitas. Kartasura mungkin telah runtuh, tetapi warisan Pakubuwana II tetap hidup dalam sejarah Jawa.