free web hit counter
Scroll untuk baca artikel
Hiburan, Seni dan Budaya

Pangeran Diponegoro II: Pewaris Perang Jawa yang Berjuang hingga Pengasingan

Penulis : Aunur Rofiq - Editor : Sri Kurnia Mahiruni

13
×

Rencana Rilis PlayStation 6 Berpotensi Terungkap, Berkat Microsoft

Share this article
Stik Playstation
Lukisan Perang Jawa (1825–1830): Gambaran dramatis dari Perang Diponegoro, konflik besar antara Pangeran Diponegoro dan pemerintah kolonial Belanda. Perang yang berlangsung selama lima tahun ini bukan hanya soal perlawanan fisik, tapi juga simbol perjuangan melawan penindasan dan upaya mempertahankan kehormatan serta kedaulatan Jawa. (Foto: Istimewa)

JATIMTIMES - Di balik gemuruh Perang Jawa (1825–1830), sosok Pangeran Diponegoro menjulang sebagai simbol perlawanan terhadap kolonialisme Belanda. Namun, di antara riwayat panjang perjuangan ini, bayangan seorang pewaris yang setia mengiringi langkahnya sering kali luput dari sorotan sejarah. 

Dialah Raden Mas Muhammad Ngarip, yang kemudian dikenal dengan berbagai gelar: Raden Antawirya II, Diponegoro Anom, Diponegoro II, atau Kanjeng Pangeran Haryo Diponegoro II.

Baca Juga : Tuban di Bawah Kekuasaan Mataram: Ketakutan Surabaya dan Runtuhnya Kota-Kota Pesisir

Lahir pada tahun 1803, ia adalah putra tertua Pangeran Diponegoro dari Raden Ayu Madubrongto. Dalam gejolak revolusi pribumi melawan hegemoni kolonial, namanya tertulis sebagai salah satu panglima yang berjuang dengan gigih, seiring dengan takdirnya sebagai pewaris ideologis sang ayah. Nasib membawanya ke pengasingan, tetapi semangatnya tak pernah padam. Dalam pembuangan, ia menggoreskan sejarah dalam bentuk tulisan, mewariskan kisah perjuangan yang terus hidup hingga kini.

Darah Pangeran, Jiwa Pejuang

Lahir pada tahun 1803, Raden Mas Muhammad Ngarip, yang kemudian dikenal dengan berbagai nama seperti Raden Antawirya II, Diponegoro Anom, Diponegoro II, Kanjeng Pangeran Haryo Diponegoro II, atau Pangeran Abdul Majid, adalah putra sulung Pangeran Diponegoro dari pernikahannya dengan Raden Ayu Madubrongto.

Raden Ayu Retno Madubrongto, ibu dari Pangeran Diponegoro II, bukan keturunan sembarangan. Sebagai istri pertama Pangeran Diponegoro, ia tidak hanya seorang perempuan ningrat, tetapi juga seorang wanita dengan kedalaman spiritual dan garis keturunan ulama terkemuka. Ia adalah putri kedua Kiai Gede Dadapan, seorang ulama besar yang mengepalai Pathok Negara Dadapan di Sleman—sebuah lembaga keagamaan yang memiliki peran penting dalam sistem Islam di Kesultanan Yogyakarta.

Sejak kecil, Raden Ayu Retno Madubrongto tumbuh dalam lingkungan pesantren, menerima pendidikan Islam yang kuat. Ia dikenal sebagai perempuan cerdas, salehah, dan memiliki pemahaman mendalam tentang ajaran Islam. Sebagai seorang guru agama, ia dihormati di lingkungannya dan berperan dalam membentuk karakter spiritual putra-putranya.

Pernikahan antara Pangeran Diponegoro dan Raden Ayu Retno Madubrongto bukan sekadar ikatan keluarga, tetapi juga memiliki makna ideologis yang mendalam. Diponegoro, yang lebih dekat dengan lingkaran ulama tradisional, memilih untuk menikahi putri seorang kepala Pathok Negara dibandingkan dengan putri bangsawan istana. 

Keputusan ini menegaskan posisinya sebagai pangeran yang lebih berpihak kepada kalangan santri dan agamawan, dibandingkan dengan aristokrasi Kesultanan Yogyakarta, yang menurutnya telah terlalu tunduk pada pengaruh Belanda.

Dari pernikahan ini, mereka dikaruniai dua putra yang kelak menjadi bagian dari sejarah perlawanan. Putra sulung, Pangeran Diponegoro II atau Raden Mas Muhammad Ngarip, menjadi salah satu pemimpin perlawanan dalam Perang Jawa (1825–1830), mengemban amanah sebagai penerus perjuangan ayahnya. Sementara itu, putra kedua, Raden Mas Dipoatmaja atau Pangeran Abdul Aziz, juga turut serta di medan perang, meneruskan jejak ayahnya sebagai pejuang.

Sebagai seorang istri, Raden Ayu Retno Madubrongto memainkan peran penting dalam kehidupan pribadi dan spiritual Pangeran Diponegoro. Ia bukan hanya pendamping setia, tetapi juga penjaga nilai-nilai keislaman yang diwariskan kepada anak-anaknya.

Sebagai anak tertua, Diponegoro II mewarisi karakter keras, kecerdasan strategis, serta kesetiaan tanpa batas kepada ayahnya, yang kelak membentuknya menjadi salah satu komandan utama dalam Perang Jawa (1825–1830).

Ayahnya, Pangeran Diponegoro, bukan hanya seorang pangeran pewaris Kesultanan Yogyakarta, tetapi juga seorang pemimpin spiritual yang menganggap perjuangannya sebagai bagian dari jihad menegakkan nilai-nilai Islam dan keadilan. Dibesarkan dalam lingkungan religius dan militeristik, Diponegoro II tumbuh dalam bayang-bayang ayahnya, mewarisi semangat perjuangan yang sama.

Ketika Perang Jawa meletus pada tahun 1825, Diponegoro II telah berusia 22 tahun, usia matang bagi seorang pemimpin perang. Ia langsung terjun ke medan pertempuran dengan mengemban tugas besar: memimpin pasukan di wilayah Bagelen ke barat, berperang di wilayah Banyumas, Temanggung, dan Parakan. Dalam perjuangannya, ia bekerja sama dengan pamannya, Sentot Prawirodirjo, serta adik tirinya, Raden Mas Singlon atau Raden Mas Sodewo.

Penerus yang Dipilih Sendiri oleh Diponegoro

Sebagai putra kesayangan dan yang paling dekat dengan pemikiran ayahnya, Diponegoro II mendapatkan pengakuan khusus. Ayahnya sendiri yang memberinya nama Diponegoro Anom atau Diponegoro II, menandakan bahwa dialah yang akan menjadi penerus perjuangan. Meskipun bukan anak dari istri utama, keindahan budi pekerti ibunya, Raden Ayu Madubrongto, membuat Pangeran Diponegoro sangat mencintai putra sulungnya ini.

Diponegoro II: Putra Mahkota Perlawanan

Sebagai putra sulung Pangeran Diponegoro, Muhammad Ngarip tumbuh dalam lingkungan yang kental dengan nilai-nilai Islam dan kejawen. Ia mewarisi pemikiran ayahnya, yang melihat kolonialisme sebagai ancaman terhadap tatanan spiritual, budaya, dan politik Jawa. Ketika ayahnya mengangkat senjata pada 1825, Muhammad Ngarip yang berusia 22 tahun tak ragu mengikuti jejaknya.

Sejak awal perang, Pangeran Diponegoro mempercayakan kepadanya tanggung jawab strategis untuk mempertahankan wilayah Bagelen hingga ke barat, bersama para tokoh utama perjuangan, termasuk Tumenggung Danupoyo. Dengan taktik perang gerilya, ia dan pasukannya bergerak di medan yang sulit, menyusup dan menyerang mendadak sebelum menghilang dalam rimba-rimba pegunungan.

Perannya sebagai pemimpin perang tidak bisa dilepaskan dari hubungan eratnya dengan para jenderal Diponegoro lainnya, termasuk pamannya Sentot Ali Basah Prawirodirjo serta saudara tirinya Raden Mas Singlon (Raden Mas Sodewo). Jaringan militer ini menjadikan pasukan Diponegoro sebagai kekuatan yang sulit ditaklukkan dalam lima tahun pertama perang.

Baca Juga : Membongkar Tata Kelola Kerajaan Kartasura: Pemerintahan di Masa Pakubuwana II

Wilayah Banyumas, Temanggung, dan Parakan menjadi ladang tempur bagi Diponegoro Anom. Serangan demi serangan ia lancarkan terhadap pos-pos Belanda yang berusaha menguasai jalur perdagangan dan pertanian strategis. Dengan taktik licin dan keberanian luar biasa, ia mampu membuat pasukan Belanda kewalahan.

Salah satu peristiwa penting yang dicatat adalah ketika ia bersama Sentot Prawirodirjo berhasil memukul mundur pasukan kolonial yang berusaha menduduki wilayah Kedu. Namun, seiring waktu, tekanan militer Belanda semakin kuat, terutama setelah mereka menerapkan strategi Benteng Stelsel, yang membatasi ruang gerak pasukan gerilya Diponegoro.

Pada tahun 1830, setelah perang memasuki fase akhir dan Pangeran Diponegoro ditangkap di Magelang oleh Jenderal De Kock, situasi berubah drastis. Para pengikutnya tercerai-berai, dan banyak di antara mereka yang harus memilih antara tunduk atau melanjutkan perjuangan secara diam-diam.

Pembuangan: Dari Sumenep ke Ambon

Setelah kekalahan besar, Diponegoro II bersama beberapa anggota keluarga lainnya dipaksa meninggalkan tanah Jawa. Pada tahun 1834, ia dibuang ke Sumenep, Madura, di mana ia dikenal dengan nama Raden Mas Mantri Muhammad Ngarip. Identitas baru ini menandakan usaha Belanda untuk menghapus jejak keturunannya dari ingatan publik.

Selama di Sumenep, ia tetap menjaga martabatnya sebagai seorang pangeran dan pejuang. Namun, kehidupannya di pengasingan masih dipenuhi dengan pengawasan ketat dari pihak kolonial. Belanda memahami betul bahwa selama pewaris Diponegoro masih ada, benih perlawanan tak akan pernah benar-benar padam.

Pada 1853, ia kembali dipindahkan, kali ini ke Ambon, sebuah tempat yang lebih jauh dari pusat perlawanan di Jawa. Harapan untuk bersatu kembali dengan keluarganya pupus setelah Belanda menolak secara halus permohonannya agar istri dan anak-anaknya diizinkan menyusul ke pembuangan. Sebagai gantinya, Van den Bosch memberi izin bagi keturunannya untuk kembali ke Tegalrejo, bahkan beberapa anaknya, seperti Pangeran Dipokusumo dan Pangeran Diponingrat, diperbolehkan tinggal di dalam keraton.

Sebelum kepergiannya ke Ambon, Diponegoro II tetap berusaha menjaga warisan ayahnya. Ia memastikan bahwa pusaka keluarga, berupa keris dan tombak, dibagikan kepada anak-anaknya—sebuah simbol bahwa meskipun terasing dari tanah kelahirannya, ia tetap merupakan pewaris sah dari garis perjuangan Diponegoro.

Mewariskan Sejarah: Babad Diponegoro Suryongalam

Di pengasingan, Diponegoro II menulis Babad Diponegoro Suryongalam, sebuah naskah yang mengisahkan perjalanan hidup dan perjuangan ayahnya dalam perspektif yang lebih personal. Karya ini menjadi bagian dari historiografi perlawanan Jawa, sebuah upaya untuk mendokumentasikan kebenaran sejarah di tengah dominasi narasi kolonial.

Babad ini, meskipun tidak seterkenal Babad Diponegoro yang ditulis langsung oleh sang ayah, tetap menjadi bukti bahwa semangat perlawanan tak berhenti meskipun tubuh sang pangeran telah dibuang jauh dari tanah leluhurnya.

Pewaris yang Terlupakan

Dalam historiografi Jawa, nama Pangeran Diponegoro II kerap tenggelam di balik bayang-bayang kebesaran ayahnya. Namun, jejaknya tak bisa dihapus dari sejarah perlawanan. Ia bukan hanya putra mahkota secara biologis, tetapi juga secara ideologis, yang membawa semangat ayahnya hingga ke pembuangan.

Meskipun hidupnya berakhir jauh dari tanah Jawa, perjuangan yang ia warisi tetap berlanjut. Keturunannya yang tersebar di berbagai daerah menjadi duri dalam daging bagi kolonialisme Belanda, memastikan bahwa api perlawanan Diponegoro tak pernah benar-benar padam.

Dari Bagelen hingga Ambon, dari medan perang hingga lembaran babad, nama Pangeran Diponegoro II tetap hidup sebagai saksi sejarah yang menolak tunduk pada penjajahan. Ia adalah pangeran yang hilang dalam narasi besar sejarah, tetapi tetap bersinar dalam ingatan mereka yang menolak lupa.