Jejak Sunan Bonang dari Kediri hingga Lasem: Dakwah, Konflik, dan Kesenian
Reporter
Aunur Rofiq
Editor
Sri Kurnia Mahiruni
06 - Jun - 2025, 01:42
JATIMTIMES - Dalam tradisi historiografi Nusantara, nama Sunan Bonang menempati tempat istimewa dalam lembaran sejarah dakwah Islam di tanah Jawa.
Sebagai putra dari Sunan Ampel, tokoh sentral dalam jaringan Walisongo, Pangeran Mahdum Ibrahim, yang kemudian dikenal dengan gelar Sunan Bonang, merupakan figur transformatif yang menggabungkan kekuatan spiritualitas Islam dengan kearifan budaya lokal, kendati pendekatan dakwahnya pada masa awal sering kali diwarnai konflik dan resistensi.
Baca Juga : Cara Simpan Daging Kurban di Kulkas Agar Tahan Lama dan Tetap Bergizi
Menurut Babad Daha-Kediri, Sunan Bonang memulai misi dakwahnya di pedalaman Kediri dengan pendekatan yang dalam perspektif kontemporer tergolong radikal. Ia disebut-sebut menghancurkan arca-arca yang dipuja oleh masyarakat lokal, bahkan disebutkan pula bahwa ia sampai mengubah aliran Sungai Brantas serta mengutuk penduduk sebuah desa hanya karena kesalahan satu orang.
Lokasi awal dakwahnya diyakini berada di Desa Singkal, di tepi barat Sungai Brantas, yang sekarang termasuk wilayah Kabupaten Nganjuk. Di tempat ini pula Sunan Bonang mendirikan langgar pertamanya, simbol fisik kehadiran Islam di wilayah tersebut.
Namun, respons masyarakat Kediri terhadap pendekatan dakwah yang frontal ini tidak sepenuhnya positif. Dalam naskah Babad Daha-Kediri diceritakan bagaimana Sunan Bonang menghadapi perlawanan dari dua tokoh setempat yang dikenal dengan nama Ki Buto Locaya dan Nyai Plencing, yang diperkirakan merupakan representasi dari kelompok-kelompok Bhairawa atau pengikut ajaran Tantrayana Bhairawa di wilayah Kediri.
Konfrontasi antara Sunan Bonang dengan kedua tokoh ini berlangsung baik dalam bentuk perdebatan filosofis maupun benturan fisik, menandakan betapa rumit dan dinamisnya proses penyebaran Islam di tanah Jawa pada akhir abad ke-15.
Kegagalan dakwah Sunan Bonang di Kediri tercermin pula dalam catatan Babad Sangkala, yang menyebutkan bahwa baru pada tahun 1471 Jawa (1548 M) Raja Giri—yaitu Sunan Prapen—mendatangi Kediri. Bahkan, dua tahun kemudian (1473 J/1551 M), kota Daha disebut "dibakar habis", yang mengindikasikan bahwa proses Islamisasi di Kediri masih mengalami resistensi kuat jauh setelah kehadiran Sunan Bonang...