Relasi Warok dan Laki-Laki Cantik dalam Serat Centhini: Kisah Mas Cebolang di Ponorogo
Reporter
Aunur Rofiq
Editor
Sri Kurnia Mahiruni
30 - May - 2025, 09:13
JATIMTIMES - Malam itu adalah malam terakhir sebelum rombongan penari kembali pulang ke arah timur. Udara terasa lebih lembab dari biasanya. Bulan sabit menggantung rendah di langit, seperti mata yang mengintip diam-diam dari balik kelambu malam. Di dalam pondokan tua berlampu temaram, aroma dupa, keringat, dan minyak kelapa membaur jadi satu, melayang-layang di udara.
Mas Cebolang duduk bersila di dekat jendela, mengenakan kain sutra tipis yang hampir jatuh dari bahunya. Nurwitri membetulkan sanggulnya yang longgar, lalu menyandarkan kepala di pangkuan sang kekasih. Mereka tak berkata apa-apa, hanya mendengarkan gemerisik angin dan suara malam yang menua. Malam-malam sebelumnya selalu dipenuhi tarian, tawa para tamu, dan sentuhan-sentuhan lembut dari tangan yang membayar dengan emas atau kerinduan. Tapi malam ini berbeda.
Baca Juga : Remaja Asal Blitar Ditemukan Mengapung di Sungai Brantas
Langkah-langkah berat terdengar mendekat. Pintu diketuk—tidak pelan, tidak pula keras—cukup untuk memberi tanda bahwa yang datang bukan tamu biasa. Cebolang membuka pintu perlahan. Di ambang, berdiri empat warok dari Ponorogo. Tubuh mereka tegap, kulit mereka gelap, dan lengan mereka dilukisi tato-tato harimau, ular, dan bunga-bunga api. Mereka tak membawa topeng reog malam ini, hanya wajah-wajah serius yang menyimpan bara.
"Malam ini... giliran kami," ujar salah satu warok, suaranya dalam seperti bunyi kendang yang dipukul dari hati.
Tak ada yang menjawab. Tak ada yang menolak. Cebolang mempersilakan mereka masuk, dan Nurwitri mengibaskan rambutnya seperti penari pembuka lakon. Warok-warok itu menanggalkan ikat kepala mereka, duduk mengitari ruangan, lalu memandang keduanya dengan mata yang tak bisa didefinisikan hanya dengan kata ‘nafsu’. Ada rasa kagum, ada rasa ingin memiliki, dan ada rasa ingin ditaklukkan—atau menaklukkan.
Apa yang terjadi setelah itu bukan sekadar tubuh-tubuh yang bertemu. Dalam peluh dan desir napas, dalam gemeretak lantai bambu dan bisik-bisik yang tak lagi berbicara tentang asal-usul atau harga diri, malam itu berubah menjadi ritual. Seperti Reog yang memanggil roh nenek moyang, seperti mantra yang tak diucapkan tapi dihayati dalam gerak dan sentuhan.
Cebolang bukan lelaki biasa, dan Nurwitri bukan perempuan dalam definisi umum...