JATIMTIMES - Tahun Baru Islam atau 1 Muharram menjadi salah satu momen penting dalam kalender Hijriah. Di berbagai daerah di Indonesia, perayaan Tahun Baru Islam diramaikan dengan beragam tradisi lokal, mulai dari pawai obor, pengajian akbar, hingga doa bersama.
Namun, muncul pertanyaan di tengah masyarakat: bolehkah merayakan Tahun Baru Islam menurut pandangan Islam?
Baca Juga : Prajurit Jawa Modern: Sekolah Serdadu Mangkunegara IV dan Warisan Carl Winter
Ternyata, para ulama memiliki perbedaan pendapat terkait perayaan 1 Muharram ini. Ada yang tidak menganjurkan, namun ada pula yang membolehkannya bahkan menjadikannya bagian dari syiar Islam. Berikut penjelasan lengkapnya.
Pandangan Ulama yang Tidak Menganjurkan Perayaan Tahun Baru Islam
Dalam buku Fikih Keseharian: Ucapan Tahun Baru Hijriyah Hingga Hukum Parfum Beralkohol karya Hafidz Muftisany, disebutkan bahwa sebagian ulama, terutama yang berasal dari Arab Saudi, berpandangan bahwa mengucapkan tahni'ah atau ucapan selamat tahun baru Hijriah tidak termasuk bagian dari syariat Islam.
Salah satu tokoh yang menyuarakan pendapat ini adalah Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin, ulama terkemuka asal Saudi. Dalam salah satu fatwanya yang termuat dalam Mausu'ah al-Liqa asy-Syahri, beliau menyatakan:
"Tidak dianjurkan untuk menjadi pihak yang pertama kali mengucapkan selamat tahun baru. Namun, bila seseorang lebih dulu menyampaikan ucapan tersebut, maka tidak masalah untuk membalasnya."
Pandangan ini muncul karena tidak ada dalil khusus dalam Al-Qur'an maupun hadits yang memerintahkan perayaan atau ucapan khusus untuk Tahun Baru Islam.
Pandangan Ulama yang Membolehkan Perayaan Tahun Baru Islam
Berbeda dengan pendapat sebelumnya, Buya Yahya, Pengasuh LPD Al-Bahjah Cirebon, menyampaikan bahwa perayaan Tahun Baru Islam boleh dilakukan dan bahkan dapat dijadikan sebagai syi'ar Islam.
Dalam ceramah yang diunggah melalui kanal YouTube Al-Bahjah TV pada 18 Juli 2023, Buya Yahya menjelaskan:
"Perayaan tahun baru Hijriah bukanlah bid'ah sebab tidak bermaksud untuk menambah hari raya seperti Idul Fitri dan Idul Adha, melainkan sebagai syiar Islam agar masyarakat semakin mengenal penanggalan tahun Hijriah."
Lebih lanjut, beliau menambahkan:
"Kita perlu hadirkan syiar tahun baru Hijriah. Ini bukan hari raya... Hari raya hanya Idul Adha dan Idul Fitri. Akan tetapi di saat kita mengangkat syiar Muharram tahun baru, ini punya maksud bahwa Islam punya (penanggalan khusus -red)."
Buya Yahya juga menyinggung sejarah penyusunan penanggalan Hijriah yang diinisiasi oleh sahabat Nabi Muhammad SAW, yaitu Umar bin Khattab RA. Menurutnya:
Baca Juga : Niat Puasa 1 Muharram, Lengkap dengan Tasu'a-Asyuro dan Keutamaannya
"Pemilihan 1 Muharram sebagai awal tahun Hijriah tujuannya adalah sebagai syiar Islam ke seluruh penjuru dunia. Salah satu alasan dipilihnya tanggal 1 Muharram agar jemaah haji yang belum pulang dari Tanah Suci nantinya akan menyampaikan syiar tersebut ke negerinya masing-masing."
Selain itu, beliau menyoroti pentingnya mengenalkan penanggalan Hijriah kepada generasi muda:
"Padahal penanggalan Hijriah merupakan patokan umat Islam dalam menjalankan ibadah, seperti puasa, haji, dan sebagainya."
"Bagaimana semua orang membiasakan dengan Hijriah, ada makna iman, ada sesuatu yang ada aroma Islam-nya.... Kita ingin membiasakan anak-anak kita dengan sesuatu yang ada hubungan dengan Islam."
Perbedaan pandangan ulama mengenai perayaan Tahun Baru Islam merupakan hal yang wajar dalam khazanah keilmuan Islam. Sebagian tidak menganjurkan karena tidak adanya dalil syar'i secara langsung, sementara yang lain membolehkannya sebagai bentuk syiar dan edukasi terhadap kalender Hijriah.
Masyarakat dapat memilih sikap yang paling sesuai dengan keyakinan dan pemahaman masing-masing, dengan tetap menjaga adab dan toleransi terhadap perbedaan pendapat di antara umat Islam.