free web hit counter
Scroll untuk baca artikel
Pendidikan

Marak Konten Nyleneh di Medsos, Sosiolog: Butuh Rem Moral dan Regulasi yang Ketat

Penulis : Anggara Sudiongko - Editor : Sri Kurnia Mahiruni

13
×

Rencana Rilis PlayStation 6 Berpotensi Terungkap, Berkat Microsoft

Share this article
Stik Playstation
Ilustrasi konten kreator yang membuat konten nyleneh (ist)

JATIMTIMES – Maraknya konten menyimpang yang mengatasnamakan “kebebasan berekspresi” di media sosial makin menuai sorotan dan kecaman luas dari masyarakat. Dari konten yang memuat penyimpangan seksual dan gender, aksi ekstrem memuntahkan makanan, hingga perilaku menjijikkan seperti memasukkan kotoran ke mulut, semua tersebar luas dan dengan mudah dikonsumsi publik, terutama generasi muda.

Fenomena ini dinilai mengkhawatirkan karena berpotensi merusak tatanan norma sosial dan moral yang selama ini dijunjung tinggi di masyarakat Indonesia. Meski banyak netizen yang mengecam, para pembuat konten kerap berlindung di balik dalih kebebasan berekspresi dan hak asasi manusia (HAM).

Baca Juga : Kota Malang Terus Pimpin Klasemen Sementara Porprov IX Jatim, Surabaya Menempel Ketat

Sosiolog Luluk Dwi Kumala Sari, M.Si, angkat bicara menanggapi fenomena ini. Ia menyebut bahwa konten-konten menyimpang tersebut merupakan bentuk penetrasi budaya populer Barat yang tidak tersaring dengan baik, masuk ke ruang digital masyarakat Indonesia yang masih menjunjung tinggi nilai-nilai Timur berbasis agama, moral, dan tradisi.

“Banyak dari mereka yang mengunggah konten seperti itu merasa benar karena berpijak pada kebebasan individu dalam berekspresi. Namun mereka seringkali lupa bahwa Indonesia punya konteks budaya sendiri. Ketika konten menyimpang itu disebarluaskan, tentu akan memicu keresahan,” ungkap wanita yang juga dosen Program Studi (Prodi) Sosiologi salah satu kampus di Malang ini.

Menurut Luluk, gaya hidup liberal yang ditampilkan di media sosial sangat mempengaruhi generasi muda, apalagi jika mereka tumbuh di lingkungan yang minim nilai spiritual atau tidak mendapat dukungan moral dari keluarga dan lingkungan sosial.

“Broken home, pertemanan toxic, hingga lemahnya spiritualitas jadi celah masuknya perilaku menyimpang. Tapi sebaliknya, jika seseorang punya pegangan agama dan nilai moral yang kuat, mereka tidak akan mudah terpengaruh,” jelasnya.

Namun demikian, Luluk menyoroti pentingnya pendekatan yang tidak bersifat menghakimi. Ia menekankan bahwa masyarakat perlu memahami bahwa stigmatisasi hanya akan memperburuk keadaan dan membuat pelaku makin kehilangan arah. “Pendekatan terbaik adalah asesmen, bukan hukuman. Kita harus tahu sejauh mana perilaku itu menyimpang. Bila ringan, cukup dengan pembinaan yang bersifat edukatif dan humanis,” ujarnya.

Ia menambahkan, lembaga pendidikan dan keagamaan seharusnya mengambil peran sebagai pendamping, bukan hanya sebagai penghakim. “Keduanya harus menjadi ruang diskusi yang terbuka, progresif, dan empatik terhadap anak-anak muda yang sedang mencari jati diri.”

Baca Juga : Peta Ruhani Jawa: Empat Puluh Sahabat, Ki Ageng Pengging, dan Warisan Sufistik Tanpa Mahkota

Di sisi lain, Luluk juga mengkritisi lemahnya efektivitas UU ITE dalam menyaring konten negatif. Ia mendorong agar pemerintah bekerja lebih erat dengan platform digital seperti TikTok dan Instagram, serta platform media sosial lainnya untuk memperkuat sistem filterisasi konten.

“Kita juga butuh penyuluhan yang jelas tentang apa yang boleh dan tidak boleh ditayangkan. Harus ada aturan yang lebih tegas menyangkut konten yang dapat merusak moral publik,” tegasnya.

Sebagai langkah preventif, ia menyarankan agar pemerintah atau lembaga terkait membuka lebih banyak ruang aktivitas kreatif untuk anak muda. Tentu, ruang kreativitas yang dimaksud adalah ruang yang memberikan fasilitasi yang positif, dan benar-benar terarah dalam mengembangkan potensinya. “Jangan sampai ruang sosial hanya diisi ibu-ibu PKK. Anak muda perlu wadah yang positif agar tidak melampiaskan ekspresi mereka ke arah yang salah.”

Fenomena konten menyimpang di media sosial bukan hanya masalah digital, tapi juga cerminan dari kondisi sosial yang butuh penanganan bersama dengan pendekatan yang bijak, terstruktur, dan berpihak pada nilai-nilai kebangsaan dan kemanusiaan.