free web hit counter
Scroll untuk baca artikel
Serba Serbi

Senapati vs Jaka Tingkir: Amarah, Cinta, dan Tumbangnya Pajang

Penulis : Aunur Rofiq - Editor : Yunan Helmy

13
×

Rencana Rilis PlayStation 6 Berpotensi Terungkap, Berkat Microsoft

Share this article
Stik Playstation
Tampak depan kompleks makam Sultan Hadiwijaya atau Jaka Tingkir di Desa Butuh, Kecamatan Plupuh, Kabupaten Sragen. (Foto: Aunur Rofiq/JatimTIMES)

JATIMTIMES - Akhir abad ke-16 menandai masa transisi yang penuh gejolak dalam lanskap politik Jawa. Dinasti Pajang, yang dibentuk oleh Jaka Tingkir (Sultan Hadiwijaya), mulai menunjukkan tanda-tanda keretakan, terutama setelah wafatnya raja pendiri itu.

Dalam suasana penuh ketegangan dan pertarungan kekuasaan antar bangsawan, muncul sosok Panembahan Senapati dari Mataram, seorang bangsawan muda nan ambisius yang kelak menjadi pendiri Dinasti Mataram Islam.

Baca Juga : Kalender Jawa Weton Kamis Pahing 19 Juni 2025: Karakter, Rezeki, hingga Jodoh

Konflik antara Senapati dan Pajang bukan semata benturan ambisi politik, melainkan juga lahir dari jalinan kisah cinta dan aib keluarga istana yang kemudian dimanipulasi menjadi pemantik perang. Artikel ini membedah akar-akar konflik tersebut melalui pendekatan dokumenter-historiografis, berpijak pada sumber utama seperti Babad Tanah Djawi, Serat Kandha, dan Sadjarah Banten.

Raden Pabelan dan Putri Sultan: Romantisme Berbuah Petaka

Kisah dimulai dari skandal asmara antara Raden Pabelan, putra Tumenggung Mayang, dan Ratu Sekar Kedaton, salah satu putri Sultan Hadiwijaya.

Raden Pabelan dikenal sebagai pemuda tampan namun gemar merayu wanita.  Ayahnya, Tumenggung Mayang, yang putus asa dengan perilaku anaknya, menantangnya untuk memikat hati Putri Sekar Kedaton.  

Dalam versi Babad Tanah Djawi (Meinsma, hal. 86-90), Raden Pabelan digambarkan sebagai pemuda tampan namun ceroboh, yang jatuh cinta pada sang putri keraton. Ia mengirimkan bunga cempaka harum bersama surat cinta melalui abdi bernama Soka. Cintanya bersambut.

Melalui rekayasa magis ayahnya, Pabelan berhasil menyelinap ke dalam keraton. Selama tujuh hari tujuh malam ia bercumbu rayu dengan sang putri. Namun kebahagiaan itu berumur pendek. Pelayan istana melaporkan kejadian itu pada Sultan. Diperintahkanlah dua panglima—Wirakerti dan Suratanu—untuk menangkap Pabelan. Ia dibunuh secara licik dan jenazahnya dibuang ke Sungai Laweyan. Tumenggung Mayang, ayah Raden Pabelan, kemudian diasingkan ke Semarang.

Ketika berita pembuangan Tumenggung Mayang ke Semarang sampai ke Mataram, Senapati naik pitam. Iparnya tidak hanya dipermalukan, tetapi juga hendak disingkirkan secara permanen. Senapati segera memerintahkan mantri-mantri pamajegan untuk menyergap iring-iringan pengawal Pajang yang membawa Tumenggung Mayang.

Penyergapan terjadi di Jatijajar, dekat Ungaran. Pasukan Mataram yang bergerak cepat menewaskan banyak prajurit Pajang. Tumenggung Mayang dibebaskan dan dibawa kembali ke Mataram, lengkap dengan kepala musuh yang tewas, sebagai trofi pembalasan.

Sikap Senapati ini menjadi bukti pemberontakan terbuka terhadap kekuasaan Pajang. Sultan Pajang pun menyadari bahwa perlawanan telah dimulai, dan perang tidak terelakkan lagi.

Dalam Serat Kandha (hal. 557-559), peristiwa tersebut digambarkan lebih sederhana dan realistis. Raden Pabelan menyelinap ke dalam keputren dan menggauli seorang putri Sultan. Setelah tertangkap, ia dihukum mati. Ayahnya, Tumenggung Mayang, melarikan diri ke Mataram. Sang putri kemudian diasingkan ke Semarang, di bawah pengawasan Pangeran Semarang, cucu Maulana Abdullah.

Versi Sadjarah Banten (Djajadiningrat, hal. 29-30) memberikan perspektif yang lebih politis. Tumenggung Mayang, yang saat itu menjadi pejabat Pajang, diusir oleh Jaka Tingkir. Putranya dipersulit hidupnya di Pajang dan akhirnya mengungsi ke Mataram, di mana ia disambut baik bahkan dijadikan menantu oleh Ki Gede Mataram (Ki Ageng Pamanahan). Perlindungan atas keturunan dinasti lama ini dianggap sebagai pengkhianatan besar terhadap Pajang.

Prambanan: Titik Balik Sejarah Jawa

Perang besar pertama antara Senapati dan Pajang pecah di Prambanan. Menurut Babad Tanah Djawi (hal. 90-91), Sultan Pajang mengerahkan pasukan besar, termasuk para menantunya dari Demak, Tuban, dan Banten. Mereka berkemah di Prambanan.

Panembahan Senapati hanya memiliki 800 prajurit. Ki Juru Martani, penasihat spiritualnya, memperingatkan bahwa Mataram akan kalah jika bertempur secara konvensional. Maka Senapati memohon bantuan spiritual dari Ratu Kidul, sementara Juru Martani memohon kepada penjaga gaib Gunung Merapi.

Dengan taktik licik, Senapati memerintahkan agar tumpukan kayu dibakar serentak di puncak-puncak Gunung Kidul, menciptakan kesan bahwa Mataram memiliki pasukan besar. Alam pun berpihak: Gunung Merapi meletus, hujan abu turun lebat, dan suara gamelan magis menggema. Pasukan Pajang panik. Sultan dilanda ketakutan, dan semangat tempur lenyap seketika.

Kekalahan di Prambanan menjadi awal dari kehancuran Pajang. Sultan yang semakin tua dan kehilangan kharisma, tidak mampu menahan desakan politik dan militer dari Mataram. Beberapa wilayah mulai beralih kesetiaan. Tuban, Demak, dan Banten perlahan menjauh.

Senapati, dengan legitimasi spiritual dan politik, mulai membentuk hegemoni baru di Jawa Tengah. Mataram perlahan menggantikan posisi Pajang sebagai pusat kekuasaan. Tumenggung Mayang  menjadi penasihat penting Mataram, memperkuat basis kekuasaan keluarga Senapati.

Baca Juga : Daftar Pemenang SCTV Music Awards 2025, Banyak Alumni Indonesian Idol

Kisah ini bukan sekadar sejarah peperangan antar dua kerajaan, tetapi juga narasi kompleks tentang cinta yang menjadi petaka, dendam keluarga yang membuncah menjadi perlawanan, dan legitimasi politik yang dibangun dari narasi spiritual dan kekerabatan.

Senapati tidak hanya memanfaatkan momentum politik, tetapi juga memainkan narasi mistik dan simbolik—pernikahannya dengan Ratu Kidul, hubungan spiritual dengan Gunung Merapi, dan keberanian menantang raja lamanya. Ini memperkuat hegemoni Mataram sebagai kekuatan baru yang tidak hanya berdiri di atas kekuatan militer, tetapi juga keberpihakan alam dan spiritualitas Jawa.

Pertarungan antara Senapati dan dinasti Jaka Tingkir adalah titik penting dalam historiografi Jawa. Ini bukan sekadar pergantian dinasti, tetapi juga transformasi narasi kekuasaan. Dengan menggabungkan data historis dari berbagai babad dan serat, kita melihat bahwa sejarah Jawa ditulis bukan hanya dalam darah dan senjata, tetapi juga dalam bunga cinta, mantra ayah, dan gemuruh Merapi.

Penulis berpendapat, membaca sejarah Jawa bukan hanya menafsirkan peristiwa, tetapi juga menggali makna di balik simbol, cerita rakyat, dan politik narasi. Kisah "Senapati vs Jaka Tingkir" adalah drama agung tentang bagaimana manusia, cinta, dan kuasa saling bertaut dalam takdir yang mengubah sejarah.

Sultan Hadiwijaya Wafat, Pajang Pun Runtuh

Babad Tanah Djawi (edisi Meinsma, hlm. 91-92) mencatat bahwa setelah mengalami kekalahan telak di Prambanan, Sultan Pajang melarikan diri ke Makam Sunan Tembayat di Klaten. Ia ingin berdoa di makam leluhur, tetapi pintu makam tertutup dan tidak bisa dibuka, suatu pertanda spiritual yang diterjemahkan juru kunci sebagai sinyal bahwa Allah tidak lagi memberinya izin sebagai raja. Peristiwa ini bukan sekadar simbol religius, melainkan metafora runtuhnya legitimasi politik seorang raja di tanah Jawa. Dalam Serat Kandha (hlm. 569–571), peristiwa ini dikisahkan lebih ringkas namun tetap menyiratkan hal yang sama: bahwa Sultan sadar masa pemerintahannya telah usai.

Setelah kejadian di Tembayat, Sultan Hadiwijaya jatuh dari gajah tunggangannya—sebagian naskah menyebut karena hewan itu binal, sebagian lagi menyiratkan bahwa peristiwa itu disebabkan kelemahan fisik dan psikis sang Sultan. Ia pun harus dibawa pulang ke Pajang dengan tandu, kondisi yang menggambarkan keruntuhan fisik seorang raja sekaligus simbol keruntuhan politiknya. Tembayat, tempat yang jarang disebut dalam narasi kerajaan, kini menjadi titik transisi dari kekuasaan sakral ke kehampaan kekuasaan.

Sementara Sultan Pajang pulang dengan derita, Senapati tidak langsung merebut takhta. Ia mengikuti iring-iringan Sultan dari jauh, ditemani hanya oleh 40 prajurit berkuda. Dalam Babad Tanah Djawi (hlm. 92–93), Pangeran Benawa sempat ingin menyerang Senapati karena jumlah pengawalnya yang kecil, namun Sultan melarang. Ia bahkan memberi pesan kepada Benawa untuk mematuhi Senapati, jika ingin tetap menjadi pewaris Pajang. Hal ini mencerminkan satu kenyataan politik: bahwa kekuasaan de facto telah beralih ke Mataram. Serat Kandha memperkuat hal ini dengan menyatakan bahwa Senapati berkemah di Laweyan, dekat makam kakeknya, Ki Ageng Henis, dan dari situ memantau kondisi istana.

Tindakan Senapati yang paling menarik secara simbolik adalah menyuruh abdinya membeli dan menumpuk kembang selasih di gerbang barat alun-alun Pajang. Ini bukan sekadar karangan bunga duka, melainkan pernyataan politik tanpa kata: Pajang telah selesai. Senapati bahkan tidak datang menghadap Sultan yang sekarat, sebuah gestur yang sarat makna. Dalam tafsir penulis, ini adalah bentuk pengepungan simbolis ala Jawa: menutup jalan-jalan spiritual dan politis menuju pusat kekuasaan. Dalam Serat Kandha, tindakan ini justru dipuji Sultan sebagai bukti bahwa Senapati memang layak menjadi panglima.

Kematian Sultan Hadiwijaya dalam Babad Tanah Djawi sangat berwarna mitologis. Dikisahkan bahwa seorang jin bernama juru taman datang dan duduk di atas dada Sultan hingga ia pingsan dan akhirnya wafat. Tokoh ini hanya dapat dilihat oleh Senapati. Dalam tafsir historiografi kritis, tokoh juru taman dapat dimaknai sebagai representasi kekuatan luar atau kaki tangan politik Senapati yang menjalankan pembunuhan politik terselubung. Pigeaud menyebutnya sebagai dewa gunung, bagian dari garis tua yang menuntun penguasa baru.

Menurut penulis, tokoh juru taman mirip dengan sosok albino misterius yang pernah muncul di masa Sultan Agung—orang yang menyamar sebagai raja dan membuat kekacauan di keraton. Apakah ia simbol kekuasaan kolonial Eropa? Atau justru orang dalam yang terlibat dalam permainan politik?

Serat Kandha tampaknya berupaya memutihkan peran Senapati. Dikatakan bahwa Senapati telah kembali ke Mataram saat Sultan wafat dan bahkan menangis sambil mencium kaki jenazahnya. Di sini, Senapati ditampilkan bukan sebagai pelaku kekerasan, tetapi sebagai anak spiritual yang setia. Bahkan wasiat terakhir Sultan menyatakan bahwa Senapati harus diundang dalam pemakaman dan dinasihati untuk menjadi penasehat. Ini mencerminkan narasi rekonsiliasi ala tradisi Jawa.

Kisah kematian Sultan Hadiwijaya membuka pertanyaan besar dalam historiografi Jawa: sejauh mana fakta sejarah dibungkus dalam mitos? Dan siapa yang diuntungkan oleh mitos tersebut? Apakah Senapati memang pelaku pembunuhan politik, atau ia hanya bidak yang tepat di waktu yang tepat? Atau, seperti tafsir simbolik Jawa, ia adalah titisan takdir yang menuntun Jawa menuju fase baru: Mataram.

Jenazah Sultan Hadiwijaya dimakamkan di Butuh, Sragen. Bersamaan dengan itu, istana Pajang ditinggalkan para abdinya. Senapati kembali ke Mataram dan tak lama kemudian mendeklarasikan dirinya sebagai pemimpin baru, bukan dengan mahkota Pajang, tetapi dengan otoritas spiritual dan militer baru. Mataram bukan sekadar kelanjutan dari Pajang, melainkan perwujudan tatanan baru, satu sistem kekuasaan yang lebih kuat, lebih terpusat, dan lebih tahan lama.

Dari satu pintu makam yang tertutup di Tembayat, sejarah Jawa berbelok arah. Sultan wafat dalam keheningan, tetapi dalam keheningan itu pula, suara sejarah berseru: Pajang telah jatuh, dan Mataram pun bangkit. Dan di balik semuanya, seorang Panembahan Senapati tersenyum di balik bayang-bayang bunga selasih yang menumpuk di gerbang kota lama.