JATIMTIMES - Pada suatu pagi yang tenang di Butuh, dekat reruntuhan Pajang, seorang bangsawan dari pesisir timur Jawa duduk bersimpuh di depan makam keramat Sultan Hadiwijaya. Dalam keheningan itu, ia menerima sebuah wahyu agung: cucunya kelak akan memimpin tanah Jawa dan mendirikan sebuah kerajaan baru di Wanakerta.
Wahyu itu bukan ilusi semata. Tiga generasi kemudian, impian itu mewujud dalam sosok Amangkurat II, pendiri Keraton Kartasura. Namun, sebelum itu terjadi, kisah perdamaian, cinta politik, dan penyatuan dua darah kerajaan besar—Mataram dan Surabaya—telah lebih dahulu memahat fondasi sejarah baru.
Baca Juga : Hari Selasa Menurut Islam: Ternyata Banyak Yang Salah Paham
Peristiwa politik terbesar pada tahun 1628 bukan hanya penyerbuan pasukan Mataram ke Giri Kedaton, melainkan justru keberhasilan diplomatik Sultan Agung dalam mengubah musuh bebuyutan menjadi sekutu. Setelah bertahun-tahun perang antara Kesultanan Mataram dan Kerajaan Surabaya—yang berpuncak pada penaklukan Surabaya oleh Mataram dan pengakuannya sebagai bawahan—akhirnya tercapai sebuah rekonsiliasi monumental: Pangeran Pekik, putra almarhum Raja Surabaya, Panembahan Jayalengkara, menerima tawaran Sultan Agung untuk menghadap ke istana.
Perundingan ini terjadi bukan semata hasil strategi militer, tapi karena jalinan alur takdir dan kebijaksanaan seorang raja tua. Dalam Babad Tanah Jawi, diceritakan bahwa setelah kematian Raja Surabaya, Tumenggung Alap-Alap—seorang tokoh militer kepercayaan Sultan Agung—diperintahkan untuk menjemput Pangeran Pekik. Ia adalah keturunan ketujuh dari Sunan Ampel, dan sekaligus simbol terakhir martabat Surabaya.
Sesampainya di Mataram, ia duduk bersimpuh di bawah pohon beringin kembar, lambang kesucian dan dualitas kuasa. Ia datang dengan sikap merendah, namun dengan martabat yang tak pernah lepas dari dirinya. Dalam upacara penerimaan di Sitinggil, Raja menyambutnya dengan penuh pujian dan simbolisme alam: “Wajahmu seperti kembaranku sendiri, bagai cahaya bulan dan matahari, bagai air mancur dan danau, bagai permata di tengah pusaka.”
Sang Raja mengembalikan kehormatan Pangeran Pekik dengan berkata: “Saya kembalikan Surabaya kepadamu. Kekuasaanmu tetap seperti sediakala. Tinggallah tenang di Mataram. Anggaplah Mataram dan Surabaya sama bagimu.”
Namun diplomasi itu tak selesai hanya dengan kata-kata manis. Agar persatuan ini langgeng, Sultan Agung memberikan adiknya sendiri, Ratu Pandan Sari—yang juga disebut dalam Sadjarah Dalem sebagai Raden Ajeng Walik—untuk diperistri oleh Pangeran Pekik.
Inilah momen krusial dalam sejarah politik Jawa: sebuah pernikahan yang menyatukan dua darah kerajaan besar. Pangeran Pekik menjadi bagian dari keluarga Mataram, dan Surabaya pun tidak lagi sekadar daerah taklukan, tetapi disublimasi ke dalam struktur kekuasaan kerajaan pusat. Sebagaimana dicatat dalam Babad Momana dan dokumen Belanda dari Daghregister VOC tahun 1677, penyatuan ini adalah taktik visioner Sultan Agung untuk menjamin masa depan dinasti.
Dan benar, dari pernikahan ini lahir seorang putri yang kemudian diperistri oleh Putra Mahkota Mataram (kelak dikenal sebagai Amangkurat I) pada tahun 1633. Maka, darah Surabaya mengalir langsung ke dalam tubuh para penerus takhta Mataram.
Kekuatan Wahyu dan Legitimasi Dinasti
Kisah perjalanan spiritual Pangeran Pekik ke makam Sultan Pajang bukan sekadar selingan dramatik dalam Babad. Ia adalah bentuk konseptualisasi wahyu keprabon yang mengalihkan sumbu legitimasi dari Surabaya yang kalah perang menuju Kartasura yang kelak akan menjadi pusat pemerintahan baru.
Wahyu yang diterima di Butuh menubuatkan lahirnya cucu agung yang akan membawa kejayaan. Dan sejarah mencatat, takdir itu tergenapi ketika Amangkurat II, cucu Pangeran Pekik dari jalur Ratu Pandan Sari dan Amangkurat I, naik takhta dan memindahkan ibu kota dari Plered yang hancur menuju Kartasura Hadiningrat pada tahun 1680. Keraton ini menjadi simbol kelahiran Dinasti Kartasura, yang memerintah hingga pertengahan abad ke-18.
Sebuah pernyataan penting terlontar dalam laporan pejabat tinggi Mataram, Kiai Jagapati, kepada Laksamana VOC Cornelis Speelman pada Maret 1677. Dalam suasana genting akibat pemberontakan Trunajaya, Sunan Amangkurat I yang sakit menyerahkan kekuasaan kepada para putranya. Ketika ditanya siapa yang paling berhak atas takhta, Jagapati menjawab bahwa Sultan Agung pernah berwasiat: “Tidak ada orang lain kecuali Raden Mas Rahmat (kelak Amangkurat II) yang harus memerintah tanah Jawa, karena ia adalah satu-satunya keturunan Mataram-Surabaya.”
Perkawinan antara putra Sultan Agung dan putri Pangeran Pekik telah melahirkan keturunan yang dianggap berdarah murni Jawa dari dua kerajaan besar: Mataram dan Surabaya. Ini bukan hanya soal silsilah, tapi merupakan sumber legitimasi politik dan spiritual, yang dalam kebudayaan Jawa berarti wahyu, kekuasaan, dan restu alam.
Pangeran Pekik bukan sekadar bangsawan pengungsi yang tunduk karena kalah perang. Ia adalah arsitek sosial-politik dari penyatuan dua kekuasaan. Ia memberi legitimasi kepada Mataram dengan menyumbangkan darah Surabaya, dan dari rahim putrinya lahir generasi baru penguasa Kartasura.
Setelah menetap di Mataram, Pangeran Pekik tetap diberi hak atas tempat tinggal di tanah kelahirannya, Surabaya. Ia ditempatkan di kawasan Ampel Denta, tak jauh dari makam keramat Raden Rahmat (Sunan Ampel). Penempatan ini bukan sekadar soal permukiman, melainkan sebuah peneguhan simbolik bahwa hubungan spiritual, kultural, dan genealogis antara Mataram dan Surabaya tetap dijaga dalam satu garis warisan yang suci dan terhormat.
Pemberian tempat tinggal di kawasan suci ini sekaligus menegaskan status Pangeran Pekik sebagai keturunan langsung Sunan Ampel.
Dari Surabaya ke Banyusumurup: Jejak Terakhir Sang Penyatu Jawa
Pangeran Pekik lahir sebagai putra dari Panembahan Jayalengkara, penguasa terakhir Surabaya yang tercatat dalam sejarah sebagai penentang keras ekspansi kekuasaan Sultan Agung Hanyakrakusuma. Panembahan Jayalengkara merupakan keturunan langsung dari Sunan Ampel—ulama besar Walisongo yang menanamkan benih Islam di kawasan pesisir Jawa Timur pada abad ke-15. Lewat trah ini, Pangeran Pekik tidak hanya membawa gelar kebangsawanan, melainkan juga darah Ahlul Bait, yakni keturunan Sayyidina Ali dan Fatimah az-Zahra.
Dalam tradisi masyarakat Islam Jawa, trah semacam ini menempati posisi sakral. Seorang raja atau pemimpin dari garis ini bukan hanya memerintah, tetapi juga membimbing secara spiritual. Maka, sejak awal, nasib Pangeran Pekik telah terpaut pada simpul kekuasaan dan religiusitas yang sulit dipisahkan.
Nama kecilnya adalah Raden Muhammad Nur Pekik, dikenal juga dengan gelar Panembahan Pekik atau Raja Pandhita Wali. Gelar "Pekik" bukan sekadar panggilan, melainkan simbol status spiritual dan politik. Dalam masyarakat pesisir, ia dijuluki “Gagak Emprit”—simbol kehadiran bangsawan yang bersahaja dan menyatu dengan rakyat kecil.
Pada tahun 1625, pasukan Mataram di bawah Sultan Agung akhirnya menaklukkan Surabaya setelah pertempuran panjang dan melelahkan. Panembahan Jayalengkara ditundukkan, sebagian besar bangsawan pesisir dibunuh, namun seorang pangeran muda dari Surabaya justru diselamatkan dan dibawa ke Karta: dialah Pangeran Pekik.
Alih-alih membunuh, Sultan Agung justru menjadikan Pangeran Pekik menantu. Ia menikahkan putri sulungnya, Ratu Pembayun, dengan Pekik—langkah yang menyerupai strategi geopolitik abad pertengahan di Eropa, yakni mengukuhkan kekuasaan lewat perkawinan dinasti. Dari pernikahan inilah kelak lahir Raden Mas Rahmat, putra mahkota yang akan naik takhta sebagai Sunan Amangkurat I.
Peristiwa itu menandai bukan sekadar rekonsiliasi, tetapi juga transformasi politik: Mataram mengintegrasikan elite pesisir ke dalam tubuh kekuasaan agraris. Pangeran Pekik bukan hanya menantu, tapi juga penasihat spiritual dan politik utama Sultan Agung.
Kedudukan Pangeran Pekik di istana tidak sekadar simbolis. Ia menjadi jembatan antara tradisi pesisir yang kosmopolitan dan lingkungan keraton Mataram yang cenderung eksklusif. Melalui dirinya, banyak unsur seni, sastra, dan tradisi keislaman dari kawasan timur—khususnya Surabaya dan Gresik—mulai meresap ke pusat kekuasaan Mataram.
Dalam bidang militer dan spiritual, ia memainkan peran luar biasa. Ketika Panembahan Kawis Guwa di Giri Kedaton memberontak pada 1633–1635, Sultan Agung tidak menunjuk jenderal biasa, tetapi Pangeran Pekik—karena statusnya sebagai keturunan Walisongo membuatnya layak menghadapi otoritas spiritual sekelas Giri. Ia berhasil menundukkan Giri dan membawa pemimpinnya ke hadapan Sultan Agung, tanpa menimbulkan perpecahan di kalangan santri.
Baca Juga : Lewotobi Laki‑Laki dan Perempuan: Apa Bedanya dan Mana yang Lebih Aktif?
Sumber Belanda seperti Rijklof van Goens memandangnya sebagai tokoh elite yang sangat cerdas, berpendidikan, dan memiliki jaringan sosial luas di kalangan ulama maupun aristokrat pesisir. Keberadaannya menjadi poros penting dalam stabilitas politik Mataram era Sultan Agung.
Namun, segala kejayaan itu mulai runtuh ketika Sultan Agung wafat pada 1645 dan digantikan oleh putranya, Amangkurat I. Berbeda dari ayahandanya yang visioner dan terbuka, Amangkurat I memerintah dengan tangan besi dan kecurigaan berlebihan. Ia melihat setiap tokoh senior sebagai potensi ancaman, terlebih Pangeran Pekik yang merupakan mertua, penasihat istana, dan dihormati rakyat.
Konflik mulai memanas sejak skandal Rara Oyi pada 1663—seorang putri Surabaya yang menjadi calon selir Amangkurat I, namun justru dicintai oleh Raden Mas Rahmat, cucu Pekik. Amangkurat I merasa terhina dan menganggap hal itu sebagai bentuk perlawanan terselubung dari keluarga mertuanya.
Awan mendung kian menebal. Dalam suasana politik yang membara, satu per satu tokoh senior istana disingkirkan. Catatan Meinsma dan Van Goens mencatat bahwa Pangeran Pekik akhirnya dieksekusi secara diam-diam pada tahun 1670, atas perintah langsung Amangkurat I, tanpa pengadilan atau dakwaan yang sah. Ia menjadi korban dari sistem kekuasaan yang alergi terhadap bayang-bayang masa lalu. Eksekusi mati terhadap Pangeran Pekik kelak menjadi pemantik lahirnya pemberontakan Trunajaya, yang didanai oleh Pangeran Adipati Anom—cucu Pangeran Pekik—yang kemudian naik takhta sebagai Amangkurat II.
Pangeran Pekik dimakamkan di Banyusumurup, satu kompleks pemakaman yang secara simbolik menjadi tempat peristirahatan terakhir bagi mereka yang tersingkir dari pusat kekuasaan. Tidak seperti Sultan Agung yang dimakamkan di Imogiri, atau tokoh besar lain di pemakaman utama keraton, Banyusumurup adalah kuburan sunyi bagi mereka yang dianggap "tidak patuh", meski tak bersalah.
Makna simbolis Banyusumurup tak bisa diabaikan. Pemakaman ini menjadi arsip diam dari sejarah Mataram yang kelam—tempat di mana para negarawan besar disingkirkan dalam senyap. Pemakaman Pekik di tempat itu menegaskan: ia wafat bukan karena usia, tetapi karena kekuasaan tidak memberi tempat bagi bayangan agung yang lain.
Setelah kematian Pangeran Pekik, garis keturunan dan loyalis Surabaya memilih jalan lain. Tiga saudaranya—Pangeran Indrajid, Trunojoyo, dan Wirodarmo—melarikan diri ke Lumajang, mendirikan komunitas-komunitas dakwah dan pemerintahan bayangan di wilayah pesisir selatan yang belum dikuasai penuh oleh Mataram.
Pangeran Indrajid, dikenal sebagai Mbah Drajid, menjadi tokoh spiritual di Wotgalih, Lumajang, tempat ia kelak dimakamkan dan diziarahi hingga kini. Pangeran Trunojoyo, saudaranya, hidup sederhana sebagai pendamping dakwah. Adapun Pangeran Wirodarmo lebih berperan sebagai organisator wilayah pelarian. Mereka adalah sisa-sisa elite Surabaya yang bertransformasi menjadi pewaris spiritual dan budaya, bukan militer atau politik.
Pangeran Pekik tidak muncul dalam kronik istana sebagai pahlawan. Ia tidak mendapatkan gelar anumerta. Tidak ada prasasti yang merayakannya. Tetapi justru di situlah kekuatan sejarahnya: ia menjadi bagian dari memori kolektif masyarakat yang tahu bahwa sejarah tidak hanya ditulis oleh mereka yang bertakhta, tetapi juga oleh mereka yang dilenyapkan.
Dalam diri Pangeran Pekik, sejarah Jawa menemukan figur penghubung: antara Mataram dan Surabaya, antara pesantren dan keraton, antara darah bangsawan dan darah ulama. Ia adalah simbol bahwa penyatuan Jawa tidak mungkin berlangsung lewat penaklukan semata, tetapi melalui pengakuan terhadap pluralitas asal-usul dan hormat pada warisan bersama.
Dalam senyap makam Banyusumurup, dalam lorong sejarah yang dilupakan, suara Pangeran Pekik masih bergaung—sebagai pengingat bahwa keadilan bukan milik para pemenang, melainkan warisan bagi mereka yang berani hidup dalam kebenaran, meski harus mati dalam kesendirian.
Amangkurat II: Sang Pendiri Kartasura dan Kisah Boyong Kedaton dari Plered
Dalam narasi panjang sejarah Mataram Islam, pemindahan pusat pemerintahan menjadi salah satu penanda zaman yang menyiratkan perubahan politik, krisis kekuasaan, sekaligus transformasi budaya. Sejak Mas Karebet (Jaka Tingkir) memindahkan pusat kekuasaan dari Demak ke Pajang pada 1549, dinasti Mataram tak pernah benar-benar berhenti bermigrasi. Panembahan Senopati memindahkan kutanegara ke Kotagede (1587), lalu Sultan Agung ke Karta (1618), dan Amangkurat I ke Plered (1647). Namun, satu pemindahan yang paling sarat drama adalah perpindahan dari Plered ke Kartasura oleh Amangkurat II pada 1680. Inilah kisah boyong kedaton yang menjadi fondasi berdirinya Keraton Kartasura Hadiningrat.
Setelah kematian Amangkurat I dalam pelarian di Tegalwangi pada 1677, sang putra yang naik tahta sebagai Amangkurat II menghadapi tantangan politik yang nyaris tanpa preseden. Keraton Plered, simbol kemegahan dinasti, telah hancur oleh serangan pasukan Trunajaya. Bukan hanya bangunan yang runtuh, tapi juga pamor spiritual dan legitimasi kekuasaan ikut sirna. Dalam keadaan genting itu, Amangkurat II memilih untuk menata ulang dasar kerajaannya.
Langkah awal adalah pergi ke Jepara dan menghadap ke kastil VOC, menyampaikan amanat terakhir ayahandanya: meminta bantuan militer. Di sinilah babak baru intervensi Belanda dalam urusan politik Mataram dimulai. VOC menyambut permintaan itu, tapi tentu saja tidak gratis. Biaya perang melawan Trunajaya dan pembangunan kraton baru membuat kerajaan harus berutang besar. Sebagai jaminan, VOC mendirikan loji atau benteng di sekitar istana—a model yang akan berulang pada pembangunan keraton Surakarta dan Yogyakarta.
Selama tiga tahun (1677–1680), Amangkurat II memusatkan aktivitas pemerintahan di Semarang. Dalam masa pengasingan itulah, rencana pembangunan keraton baru mulai digagas. Pemilihan lokasi diserahkan kepada tiga tokoh: Tumenggung Mangun Oneng, Ki Wiradigda, dan Adipati Urawan. Masing-masing membawa usulan—Tingkir, Logender, dan Wanakerta. Usulan terakhir yang diajukan Adipati Urawan dipilih karena memenuhi banyak kriteria: datar, subur, dekat bekas pusat kekuasaan Pajang, dan dianggap “di-nadhar-i” oleh leluhur.
Alasan spiritual yang menyertai usulan itu bersumber dari kisah Pangeran Pekik, Adipati Surabaya dari Ngampel Denta sekaligus mertua Amangkurat I. Dalam perjalanannya dari Surabaya menuju Mataram, ia bermalam di makam Sultan Hadiwijaya (Jaka Tingkir) di Butuh dan menerima wangsit gaib bahwa cucunya kelak akan menjadi raja besar yang mendirikan kraton di hutan Wanakerta. Cucu yang dimaksud dalam wangsit itu adalah Amangkurat II.
Setelah lokasi ditetapkan, Amangkurat II memerintahkan Adipati Nerangkusuma untuk memimpin penebasan hutan dan pembangunan kraton. Desain tata ruang meniru keraton Plered, dengan baluwarti (benteng) mengelilingi kedhaton, parit berair sebagai pertahanan, dan semak berduri sebagai pagar alami. Namun karena situasi darurat, bahan bangunan sementara masih seadanya—bilik bambu dan atap rumbia. Benteng baru berupa tanah ditumpuk yang ditopang papan di dua sisi.
Pembangunan berlangsung selama tujuh bulan. Dan pada Rabu Pon, 27 Ruwah Tahun Alip 1603 Jawa atau 11 September 1680 Masehi, Susuhunan Amangkurat II secara resmi meninggalkan pesanggrahan Semarang dan menempati istana baru. Tanggal ini menandai kelahiran resmi Kartasura Hadiningrat. Nama "Kartasura" adalah kombinasi dari “Karta”, ibukota sebelumnya pada masa Sultan Agung, dan “Sura”, melambangkan keberanian serta kebesaran jiwa.
Meski pada awalnya masih sederhana, Kartasura mulai terlihat megah pada 1682. Keberadaan loji VOC di bagian utara alun-alun menjadi simbol permanennya intervensi asing dalam tubuh politik Mataram. Sejak saat itu, sejarah dinasti Mataram mengalami perubahan besar: dari kerajaan yang otonom menjadi kerajaan yang tergantung pada kekuatan dagang dan militer asing.
Namun, keputusan boyong kedaton ini juga menjadi simbol kebangkitan. Dari reruntuhan Plered, Amangkurat II berhasil membangun kembali legitimasi kekuasaan melalui narasi spiritual, perencanaan strategis, dan aliansi politis. Kartasura menjadi ibu kota kerajaan hingga 1745, sebelum kelak dipindahkan ke Surakarta oleh Pakubuwana II akibat tragedi Geger Pecinan.
Dalam sejarah Jawa, boyong kedaton bukan sekadar perpindahan fisik, melainkan juga narasi tentang krisis dan kreativitas dalam membangun kekuasaan. Kartasura tidak lahir hanya dari reruntuhan, tetapi juga dari visi seorang raja yang mampu memadukan sisa-sisa tradisi, kehendak spiritual, dan realitas politik global. Amangkurat II pun dikenang bukan semata sebagai pewaris, melainkan sebagai pendiri—Pendiri Kartasura. Dan di balik semua itu, ada jejak seorang tokoh besar dari Surabaya yang memberi arah pada jalan spiritual sang raja: Pangeran Pekik.