free web hit counter
Scroll untuk baca artikel
Serba Serbi

Mistik Jawa: Roh, Dewa, dan Islam yang Menyatu

Penulis : Aunur Rofiq - Editor : Dede Nana

13
×

Rencana Rilis PlayStation 6 Berpotensi Terungkap, Berkat Microsoft

Share this article
Stik Playstation
Ilustrasi warga kejawen tengah khusyuk bersembahyang di hadapan sesaji dan dupa yang mengepul di pelataran candi leluhur. Dalam suasana senyap nan sakral, ritual ini menjadi bentuk penghormatan terhadap roh nenek moyang dan kekuatan gaib jagat raya, yang diyakini memengaruhi keseimbangan hidup manusia Jawa. Tradisi semacam ini mencerminkan sinkretisme kepercayaan Hindu-Buddha, animisme, dan Islam lokal yang telah berakar sejak berabad-abad di tanah Jawa. (Foto: Ilustrasi dibuat oleh JatimTIMES)

JATIMTIMES - Pulau Jawa dengan bentang sejarah yang panjang dan kompleks, merupakan ruang di mana beragam bentuk kepercayaan dan praktik spiritual berkembang, bertemu, bersaing, dan berbaur. 

Dalam lanskap budaya ini, agama dan dunia gaib bukanlah entitas terpisah, melainkan saling bertaut dalam sistem kepercayaan yang khas: sebuah sinkretisme spiritual yang menjadi inti dari apa yang dikenal sebagai "kejawen." 

Baca Juga : Bupati Sanusi Pimpin Subuh Keliling di Gedangan, Serahkan Hibah Rumah Ibadah

Artikel ini berupaya menelusuri akar historis dan antropologis dari keyakinan agama dan dunia gaib orang Jawa, serta menganalisis bagaimana bentuk-bentuk kepercayaan tersebut bertahan, bertransformasi, dan terinternalisasi dalam praktik kehidupan sehari-hari masyarakat Jawa hingga kini.

Seperti masyarakat purba lainnya, leluhur orang Jawa hidup berdampingan dengan alam yang buas dan belum terjamah. Dalam upaya bertahan hidup, mereka membentuk pandangan dunia yang berakar pada animisme: keyakinan bahwa segala yang ada di alam memiliki jiwa atau roh. 

Dari animisme ini lahir dua cabang kepercayaan penting: fetitisme, yakni pemujaan pada benda-benda berwujud yang diyakini mengandung kekuatan spiritual, dan spiritisme, pemujaan kepada arwah leluhur serta makhluk halus yang dipercaya hadir di sekitar manusia.

Keyakinan ini tidak bersifat statis. Dalam lintasan waktu, praktik animisme dan spiritisme terinternalisasi ke dalam berbagai aspek kehidupan, dari pertanian, kelahiran, kematian, hingga pembangunan rumah. 

Kesadaran akan kehadiran makhluk tak kasatmata menjadi bagian dari cara pandang kosmis masyarakat Jawa. Bahkan dalam sistem penanggalan dan penentuan hari baik (petangan), unsur supranatural memiliki peran sentral.

Gelombang migrasi dan ekspansi budaya dari India ke Jawa membawa pengaruh kuat dalam bentuk ajaran Hindu dan Budha. Dalam proses ini, kepercayaan lokal tidak punah, melainkan berbaur dan melahirkan praktik baru. Sekte-sekte seperti Hindu Brahma dan Budha Mahayana berkembang di wilayah pesisir dan pedalaman, bersisian dengan bentuk-bentuk lama animisme.

Dari India pula masuk unsur magisme dan dualisme Persia, terutama dalam bentuk pemujaan terhadap unsur-unsur kosmis seperti matahari, bulan, dan bintang. Konsep tentang zat gaib dalam kepercayaan Jawa juga mengalami ekspansi dengan masuknya dewa-dewi Hindu-Budha dan makhluk kosmis dari ajaran Zoroaster. 

Dengan demikian, orang Jawa tidak hanya mengenal roh leluhur dan jin alam, tetapi juga menyerap entitas baru dalam sistem keyakinan mereka.

Islam mulai masuk ke Jawa sekitar abad ke-14, terutama melalui jalur perdagangan dan dakwah para Wali Songo. Namun, penerimaan Islam oleh orang Jawa tidaklah tunggal atau murni. Alih-alih menggantikan kepercayaan lama, Islam justru berdialog dan berbaur dengannya. Proses ini melahirkan bentuk Islam sinkretik yang dikenal sebagai kejawen.

Dalam penelitiannya pada awal abad ke-20, Profesor Veth membagi umat Islam di Jawa ke dalam empat golongan. Golongan pertama adalah mereka yang menganut Islam murni, sedangkan tiga golongan lainnya mencerminkan perpaduan Islam dengan unsur-unsur kepercayaan lokal.

 Golongan kedua menggabungkan Islam dengan ajaran Brahma dan Budha, golongan ketiga memadukan Islam dengan unsur magisme dan dualisme, sementara golongan keempat merupakan paduan antara Islam dan animisme. Ketiga golongan terakhir inilah yang oleh Veth disebut sebagai penganut kejawen.

Kejawen tidak mengenal batas kaku antara yang profan dan sakral. Ziarah ke makam leluhur, penggunaan jimat, perhitungan hari baik (weton), hingga ritual sesaji adalah praktik yang umum ditemukan, bahkan di kalangan yang mengaku Muslim. Petangan dan primbon menjadi pedoman dalam banyak aspek kehidupan.

Pada tahun 1920, sistem kepercayaan masyarakat Jawa dapat diklasifikasikan ke dalam tiga kelompok besar. Kelompok pertama adalah masyarakat Tengger, yaitu keturunan Hindu Waisnawa yang menganut ajaran Hindu Purba, terutama di wilayah pegunungan Tengger. 

Mereka tetap melestarikan tradisi leluhur seperti upacara Kasada serta penghormatan kepada Dewa Brahma. Kelompok kedua adalah masyarakat Pasek, yakni penduduk asli Jawa yang, meskipun telah memeluk Islam, masih mempertahankan kepercayaan terhadap animisme dan dunia gaib. 

Mereka dikenal memiliki rasa hormat sekaligus takut terhadap makhluk halus, jin, dan setan. Adapun kelompok ketiga merupakan kaum Islam sinkretik, yaitu golongan terbesar di Jawa yang secara nominal menganut agama Islam, namun dalam praktik keagamaannya sarat dengan unsur mistik, primbon, serta warisan ajaran Hindu-Buddha.

Baca Juga : Raden Trunojoyo dan Tahun-Tahun Api: Awal Kekuasaan di Madura (1670–1672)

Petangan merupakan inti dari sistem kepercayaan Jawa, yakni suatu bentuk ilmu perhitungan yang digunakan untuk menentukan keharmonisan antara manusia dan jagat gaib. 

Dalam tradisi Jawa, terdapat empat jenis utama petangan. Pertama adalah Pawukon, yaitu sistem kalender yang berbasis pada siklus 210 hari dan umumnya digunakan oleh masyarakat Baduwi. Kedua adalah Ngelmu, yakni ilmu pengetahuan spiritual yang dipelajari oleh kalangan tertentu, seperti para empu dan dukun. 

Ketiga, dikenal Tengeran, yaitu bentuk petangan yang digunakan oleh masyarakat Pasek serta para penganut kepercayaan animisme. Keempat adalah Primbon, yaitu kitab ramalan dan pedoman hidup yang digunakan secara luas oleh golongan Islam sinkretik di Jawa.

Kepercayaan terhadap zat gaib dalam sistem petangan terbagi ke dalam empat kelas utama. Kelas pertama mencakup Dewa-Dewi dalam tradisi Hindu-Buddha, seperti Batara Guru dan Dewi Sri, yang masih dihormati dalam berbagai ritus kejawen. 

Kelas kedua mencakup unsur-unsur magis kosmis, seperti pemujaan terhadap matahari dan bulan sebagai simbol kekuatan alam semesta. Kelas ketiga adalah makhluk halus lokal, seperti jin, wewe, genderuwo, dan lelembut, yang dianggap mendiami tempat-tempat tertentu dan memiliki pengaruh terhadap kehidupan manusia. 

Kelas keempat terdiri dari entitas yang berasal dari tradisi Islam, seperti malaikat dan jin yang disebutkan dalam Al-Qur'an, dan sering kali diserap ke dalam sistem kepercayaan lokal secara sinkretik.

Meskipun ajaran kejawen bersifat inklusif dan lentur, namun dalam sejarahnya terjadi ketegangan antara Islam ortodoks (santri) dan Islam abangan (kejawen). Ketegangan ini muncul dalam dinamika politik dan sosial Jawa abad ke-20, terutama pada masa kolonial, revolusi, dan Orde Baru.

Sinkretisme dalam kejawen menciptakan identitas spiritual yang kompleks dan multidimensi. Dalam dunia modern, warisan ini masih hidup melalui praktik spiritual, seni pertunjukan seperti wayang dan tembang macapat, serta ritual-ritual tahunan seperti slametan dan ruwatan.

Kejawen bukan sekadar sistem kepercayaan, melainkan cerminan dari sejarah panjang orang Jawa dalam menyikapi dunia fisik dan metafisik secara holistik. Dalam kejawen, tidak ada dikotomi tajam antara agama dan dunia gaib, antara iman dan takhayul. Semua dirajut dalam kosmologi yang menghormati harmoni.

Pada abad ke-21, tantangan globalisasi, modernisasi, dan homogenisasi budaya membawa tantangan baru bagi kelangsungan kejawen. Namun, sebagaimana sejarah membuktikan, kejawen bukan warisan pasif, melainkan sistem hidup yang terus mengalami adaptasi dan pembaruan.

Dengan menelaah kejawen sebagai ekspresi historis dan antropologis, kita tidak hanya memahami agama dan dunia gaib orang Jawa, tetapi juga menggali makna terdalam dari spiritualitas Nusantara: jalan batin yang merajut manusia dengan alam dan semesta.