JATIMTIMES — Krisis bibit tembakau di Kabupaten Blitar tampaknya segera menemukan jalan keluar. Dinas Ketahanan Pangan dan Pertanian Kabupaten Blitar memperkenalkan metode persemaian inovatif berbasis tray semi floating untuk mengurangi ketergantungan petani terhadap bibit dari luar daerah.
Perkenalan metode ini dilakukan melalui bimbingan teknis (bimtek) persemaian tembakau semi floating yang digelar di Desa Selopuro, Kecamatan Selopuro, Kamis, 22 Mei 2025. Daerah ini memang dikenal sebagai sentra utama penghasil tembakau khas Blitar: Tembakau Selopuro.
Baca Juga : Bobot Terberat Capai 1,2 Ton, Ini Ragam Jenis Sapi Kurban Prabowo di Jatim
Bekerja sama dengan Balai Perakitan dan Pengujian Tanaman Pemanis dan Serat, Kementerian Pertanian, kegiatan ini menjadi bagian dari upaya pembangunan sistem perbenihan mandiri di kalangan petani lokal.
Menurut Agung Pangestu Aji, staf teknis dari balai tersebut, langkah ini merupakan bentuk pembangunan sentra benih tumbuh yang dapat menjadi fondasi kemandirian petani. “Beberapa tahun terakhir, petani di Blitar kesulitan mendapatkan bibit berkualitas dan harus membelinya dari luar kota seperti Tulungagung,” ujar Agung.
Metode tray semi floating yang diperkenalkan dalam bimtek kali ini menggunakan prinsip irigasi kapiler. Dengan sistem ini, petani tidak perlu menyiram benih setiap hari. Cukup seminggu sekali, karena air diserap dari bawah melalui media tanam yang terdiri dari pasir malam atau tanah.
“Biasanya benih umur 0 sampai 21 hari perlu penyiraman tiga kali sehari. Dengan sistem semi floating ini, biaya tenaga kerja bisa ditekan. Ini efisien,” jelas Agung. Ia menambahkan, metode ini telah diuji pada lebih dari 50 persen dari 150 varietas tembakau di Indonesia, termasuk varietas lokal seperti lulang, kenongo, dan mancung yang dominan di Blitar.
“Metode ini bisa digunakan oleh semua jenis tembakau, termasuk varietas lokal seperti yang ditanam di Selopuro,” tambahnya.
Ketua Kelompok Tani Barokah dari Desa Selopuro, Tukimin, mengakui manfaat nyata dari bimtek ini. “Dulu kami hanya tahu cara turun-temurun dari orang tua. Sekarang ada penyegaran ilmu. Petani bisa menyemai dengan hasil yang lebih bagus,” ujarnya.
Menurut Tukimin, persoalan yang dihadapi petani bukan sekadar kekurangan bibit, melainkan kekurangan ilmu. “Dulu kami beli benih tapi hasilnya belum tentu bagus. Dengan bimtek ini, kami bisa menangkar sendiri dengan pengetahuan yang tepat,” katanya.
Selopuro adalah rumah bagi varietas tembakau lokal yang banyak dibudidayakan, seperti lulang, kenongo, dan mancung. Hasil panen petani biasanya diserap oleh dua perusahaan besar: Gudang Garam dan Gudang Baru, yang memang mencari tembakau lokal khas Selopuro.
Sementara itu, Kepala Bidang Perkebunan Dinas Ketahanan Pangan dan Pertanian Kabupaten Blitar, Lukas Supriyatno, menjelaskan bahwa bimtek semacam ini tidak hanya berlangsung di Selopuro. “Untuk tembakau lokal, ada juga di Desa Jatitengah (Selopuro), Sragi (Talun), dan Soso (Gandusari). Kami juga bekerja sama dengan PT Djarum untuk tembakau Prancak di Wates dan Tambakrejo,” ujarnya.
Menurut Lukas, krisis bibit siap tanam yang terjadi selama ini mendorong petani untuk membeli dari luar Blitar. “Dengan bimtek ini, kami ingin petani punya kemampuan menyemai sendiri. Kami juga menyiapkan benih bersertifikat agar lebih terstandar,” tambahnya.
Baca Juga : Korupsi Dam Kali Bentak, TP2ID Masuk Radar Penyidikan Kejari Blitar
Ia menjelaskan, kegiatan persemaian ini tidak hanya mendorong ketersediaan bibit, tapi juga membuka peluang usaha baru. “Petani bisa menjual bibit yang mereka tanam. Masa semainya singkat, sekitar 40 hari. Jadi bisa menjadi sumber penghasilan tambahan.”
Lukas menegaskan bahwa dukungan dari Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBHCHT) juga difokuskan untuk penguatan kapasitas petani tembakau. “Mulai dari persemaian, budidaya, pascapanen, sampai kelembagaan. Bantuan sarananya pun lengkap. Ada traktor, kultivator, mesin rajang, hingga kendaraan roda tiga untuk pengangkutan,” jelasnya.
Program ini dirancang untuk menjawab kebutuhan lokal dan menyesuaikan karakteristik lahan. Tembakau Prancak, misalnya, cocok di tanah marginal seperti wilayah Blitar Selatan, sedangkan tembakau lokal seperti lulang dan kenongo lebih cocok ditanam di utara Blitar.
Dengan beragam varietas dan sistem tanam yang tepat, petani Blitar kini memiliki peluang lebih besar untuk menjaga kualitas dan kesinambungan produksi tembakau khas daerah. Inovasi semi floating menjadi bukti bahwa pertanian, jika dikelola dengan ilmu dan kemauan, bisa menjadi tonggak kemandirian dan keberlanjutan.
“Harapannya ke depan, petani tidak hanya mengandalkan panen daun. Dari benih pun bisa jadi ladang penghasilan. Dan yang terpenting, tembakau Blitar tetap terjaga mutunya,” kata Lukas menutup.
Di tengah tantangan iklim dan fluktuasi pasar, pendekatan inovatif seperti ini menjadi penanda bahwa pembangunan pertanian tidak hanya soal hasil panen, tetapi juga tentang membangun ekosistem pengetahuan dan teknologi yang berpihak pada petani. Blitar memberi contoh, bahwa untuk menumbuhkan tanaman unggul, diperlukan lebih dulu benih dari kolaborasi, keberanian, dan ilmu yang terus berkembang.