JATIMTIMES - Pada pertengahan abad ke-19, Pulau Jawa memasuki suatu fase transformatif yang jarang disorot dalam historiografi kolonial: kebangkitan ekonomi berbasis industri perkebunan yang dimotori oleh elite pribumi dengan visi modern.
Di antara para tokoh penggerak transformasi tersebut, berdirilah sosok Mangkunegara IV (1853–1881), pemimpin Kadipaten Mangkunegaran yang tak hanya menjadi pelopor industrialisasi di wilayah kekuasaannya, tetapi juga filsuf Jawa yang mendamaikan etika dengan etos dagang. Ia menjelma sebagai raja industrialis, negarawan modern, dan panglima militer yang menapaki arus sejarah seiring gelombang globalisasi awal kolonialisme abad ke-19.
Baca Juga : Daftar Lengkap Gaji TNI 2025, dari Tamtama hingga Jenderal
Mangkunegara IV tidak hanya menyambut modernitas dengan tangan terbuka, ia mengorganisasi ulang sistem birokrasi, mengefisienkan logistik negara, membangun sistem intelijen lokal, memodernisasi militer, dan yang terpenting: menjadikan gula sebagai emas putih yang mengalirkan kemakmuran dari jantung Jawa ke pelabuhan-pelabuhan dunia.
Inilah narasi sejarah dokumenter tentang Mangkunegara IV dan masa keemasan industri gula di Jawa—ditulis dengan presisi historiografis, ketajaman analisis sejarah, dan disajikan secara blak-blakan tanpa sensor.
Pangeran Reformasi: Jejak Kepemimpinan Mangkunagara IV
Di antara para pemangku kekuasaan Jawa abad ke-19, nama Mangkunagara IV menonjol sebagai pemimpin reformis yang menggabungkan warisan kebangsawanan dengan visi pembaruan modern. Ia lahir dengan nama Raden Mas Sudiro, dalam garis keturunan ningrat yang mengakar kuat di pusat-pusat kekuasaan Mataram Islam pasca-perpecahan. Ayahandanya, Kanjeng Pangeran Harya Hadiwijaya I, adalah keturunan dari GRAy Kusumadiningrat, salah seorang putri Sunan Pakubuwana III. Dari jalur ibunya, BRAy Sakeli Hadiwijaya, mengalir darah Mangkunagara II, karena ibunya merupakan cucu langsung dari sang adipati agung, melalui perkawinan dengan putri Patih Raden Adipati Sinduredja, pepatih utama Kraton Surakarta.
Sudiro tumbuh dalam orbit elite kekuasaan, tetapi ia bukan sekadar pewaris darah biru. Sejak usia sepuluh tahun, ia dibentuk oleh sistem pendidikan istana yang disiplin dan struktural. Ia dititipkan kepada pamannya, RM Sarengat—yang kelak dinobatkan sebagai Mangkunagara III—seorang bangsawan intelektual dan pelindung seni. Di bawah bimbingan Sarengat, Sudiro mengkaji ilmu aksara, tata pemerintahan, dan seni pedalangan, sebagai bagian dari kurikulum kepemimpinan Mangkunegaran. Pendidikan lima tahunnya tidak hanya memperkaya intelektualitas, tetapi juga menanamkan etika politik dan manajemen budaya yang kelak menjadi ciri khas pemerintahannya.
Pada usia lima belas tahun, Sudiro memasuki legiun Mangkunegaran sebagai taruna infanteri. Legiun ini didirikan oleh Mangkunagara I sebagai kekuatan militer independen, menjadi tempat pembentukan watak militernya. Dalam waktu tiga tahun, ia diangkat sebagai kapten, sebuah lompatan karier yang mencerminkan keteguhan dan kecakapannya dalam kepemimpinan tempur. Puncaknya, pada 17 Mei 1850, setelah menikahi RAy Sami—putri KPH Suryomataram dan cucu Mangkunagara II—ia menerima gelar Kanjeng Pangeran Harya Gondokusumo. Dari pernikahan politik ini, ia tidak hanya memperoleh legitimasi aristokratis tambahan, tetapi juga memperkuat posisinya dalam jejaring elite Mangkunegaran.
Takhta kekuasaan berpindah ke tangannya setelah wafatnya Mangkunagara III pada 6 Januari 1853. Dalam usia yang matang dan berpengalaman, Gondokusumo dilantik sebagai penguasa baru Kadipaten Mangkunegaran pada 24 Maret 1853, dengan gelar militer letnan kolonel dan sebutan kebangsawanan Prabu Prangwadana. Namun, pengesahan resmi gelar Mangkunagara IV baru dilakukan pada 16 Agustus 1857, ketika ia berusia 48 tahun.
Pemerintahannya yang berlangsung selama dua puluh delapan tahun (1853–1881) merupakan tonggak sejarah transformasi. Mangkunagara IV tidak sekadar melanjutkan roda kekuasaan, melainkan membentuk ulang struktur pemerintahan, sistem keuangan, organisasi militer, serta ekosistem kebudayaan Mangkunegaran. Ia menerapkan sistem administrasi modern yang efisien, memodifikasi pola pajak dan pengelolaan tanah lungguh, serta mendirikan pabrik-pabrik gula yang menyerap tenaga kerja dan meningkatkan pendapatan negara. Selain itu, legiun Mangkunegaran diperkuat dengan disiplin militer berbasis Eropa, tetapi tetap mengakar pada nilai-nilai lokal.
Yang paling menonjol, Mangkunagara IV memosisikan Kadipaten Mangkunegaran sebagai kekuatan politik dan ekonomi yang mandiri dan efektif, sejajar dengan Kesultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta. Dalam banyak aspek, terutama dalam efisiensi fiskal, reformasi kelembagaan, dan inovasi sosial, kadipaten kecil ini bahkan melampaui dua kerajaan besar tersebut. Di bawah kepemimpinannya, Mangkunegaran menjelma sebagai model pemerintahan progresif di tengah era kolonial yang represif.
Mangkunagara IV wafat pada 2 September 1881. Namun warisan kepemimpinan dan semangat reformasinya terus hidup, tidak hanya dalam narasi sejarah Jawa, tetapi juga dalam jejak institusi yang ia bangun—sebuah percampuran luhur antara darah raja, kepiawaian politik, dan visi kebudayaan.
Jawa dan Gula: Latar Global Era Mangkunegara IV
Perjalanan hidup Mangkunegara IV sebagai bangsawan muda tidak hanya ditempa oleh tradisi istana, tetapi juga oleh pengamatan tajam terhadap dinamika kolonialisme, modernisasi, dan kapitalisme yang mulai merambah wilayah Hindia Belanda. Kepemimpinannya selama hampir tiga dekade kemudian menjelma menjadi babak emas dalam sejarah Pura Mangkunegaran.
Era kepemimpinan Mangkunegara IV bertepatan dengan gelombang modernisasi di Asia—dikenal dalam historiografi sebagai "restorasi Asia." Saat Kekaisaran Jepang melakukan Restorasi Meiji dan Raja Chulalongkorn dari Dinasti Chakri memodernisasi Siam, Jawa pun turut mengalami transformasi ekonomi melalui geliat industri perkebunan, terutama komoditas gula. Dalam konteks inilah, Mangkunegara IV tidak hanya menjadi penguasa lokal, tetapi juga seorang negarawan dan industrialis yang menyadari pentingnya modernitas sebagai jalan menuju kedaulatan finansial.
Tiga pusat modernisasi di Asia—Restorasi Meiji di Jepang, modernisasi Siam oleh Raja Chulalongkorn, dan industrialisasi Mangkunegaran—berlangsung hampir beriringan. Raja Siam bahkan mengunjungi Jawa tiga kali, mempelajari kemajuan ekonomi berbasis kolonial yang dicontohkan salah satunya oleh Pura Mangkunegaran. Gula menjadi nadi penggerak peradaban baru: komoditas yang menghubungkan desa-desa Jawa dengan sistem keuangan global.
Salah satu langkah besar Mangkunegara IV adalah pendirian Pabrik Gula Colomadu pada tahun 1861. Menggunakan mesin-mesin uap impor dari Eropa dan dikelola oleh seorang ahli Eropa bernama R. Kamp, Colomadu menjadi simbol keberhasilan sinergi antara modal tradisional dan teknologi modern. Pabrik kedua, Tasikmadu, segera menyusul, memperluas jaringan industri gula Mangkunegaran hingga ke jantung Karanganyar dan Sukoharjo.
Produksi gula meningkat pesat. Pada awal abad ke-19, produksi gula di Jawa hanya 5.000 ton. Namun pada akhir dekade 1870-an, tercatat lonjakan drastis hingga mencapai 233.000 ton. Angka ini mencerminkan peran vital Mangkunegaran dalam lonjakan ekspor kolonial ke pasar global. Kerajaan kecil ini menjadi entitas semi-otonom dengan kas yang melimpah dan kemampuan fiskal setara negara mikro.
Selain gula, Mangkunegara IV juga mendorong pengembangan industri nila (indigo) yang telah dirintis sejak era Mangkunegara I. Pada 1880, pabrik pengolahan nila berdiri sebagai komplementer bagi industri gula. Tanaman kina ditanam di lahan 100 hektare di Karanganyar, sementara percobaan penanaman teh dilakukan di Kawedanan Tawangmangu di bawah pengawasan J.B. Vogel. Meski proyek teh ini gagal pada 1874, intuisi bisnis raja telah membuka jalan menuju agrobisnis jauh sebelum Belanda mengizinkan investor swasta masuk di akhir abad ke-19.
Baca Juga : Perkuat Sinergi dengan Petani Jagung, Polresta Banyuwangi Dukung Program Ketahanan Pangan Nasional
Lahan lereng Gunung Lawu dipetakan untuk tanaman pala, kina, dan komoditas ekspor lainnya. Wilayah hutan diubah menjadi koridor produktif yang menopang pundi-pundi kas negara. Etos dagang Jawa, seperti dicatat Daryono (2007), menjelma menjadi etika ekonomi di bawah falsafah kepemimpinan Mangkunegara IV.
Birokrasi, Keamanan, dan Pemikiran Filsafat
Modernisasi tidak berhenti di sektor ekonomi. Reformasi administratif dilakukan dengan membentuk sistem keamanan dan birokrasi yang rapi. Kepolisian (Kamantren) ditempatkan di bawah Kawadanan Reksapraja, lengkap dengan unit Langsir (prajurit berkuda), Carik, hingga kepala kampung. Unit Margatama dibentuk untuk menjaga fasilitas umum: jalan, tanggul, jembatan, gardu, dan tapal batas. Mereka juga mengemban fungsi pengawasan keamanan yang hari ini bisa disebut sebagai “fungsi intelijen sipil.”
Setiap laporan tentang kegiatan mencurigakan disampaikan langsung ke pemerintah pusat Mangkunegaran. Sistem ini membuat wilayah kadipaten relatif stabil dan aman—suatu prestasi di tengah kemelut sosial dan politik pasca-Perang Jawa.
Militer Mangkunegaran mengalami modernisasi teknis dan strategis. Legiun Mangkunegaran mengganti senapan locok dengan senapan grendel jenis Bauwman (achterlaad), memperbarui sistem pelatihan dan reorganisasi satuan. Unit infanteri seperti Wiratama (200 personel) dan Subbamanggala (100 personel) dilatih dalam berbagai tugas sipil-militer: dari pengawalan jenazah, menjaga jalur protokol, hingga keamanan perkawinan bangsawan.
Satuan elit seperti Bromantaka (pemadam kebakaran), Warajumba (pasukan upacara), hingga Jagahastana (pengawal raja) dilengkapi dengan seragam militer Eropa dan senjata khas Jawa. Pasukan ini juga aktif dalam Perang Aceh 1873, menjadi bagian dari ekspedisi militer Hindia Belanda, membuktikan kompetensi tempur mereka di medan pertempuran paling keras di Nusantara.
Desire Charnay, utusan Kementerian Pendidikan Perancis yang berkunjung tahun 1878, mencatat betapa megahnya istana Mangkunegaran. Pendopo dengan 34 tiang berlapis tongkat emas, 25 lampu minyak besar, lantai marmer, furnitur dan dekorasi dari Paris memperlihatkan kemewahan yang melampaui banyak istana di Jawa.
Mangkunegara IV yang saat itu berusia lebih dari 70 tahun berdiskusi luas tentang perkembangan Eropa dengan Charnay. Ketika ditanya mengapa tidak berkunjung ke Eropa, ia menjawab: “Seandainya saya masih berusia 50-an, saya akan ke Eropa.”
Kesan ini memperkuat identitas Mangkunegara IV sebagai seorang intelektual global yang tidak terkurung dalam batas geografi dan adat. Ia menonton pertunjukan gending hingga larut malam bersama tamunya dari Eropa, menunjukkan keterbukaan terhadap peradaban dunia.
Di luar pembangunan fisik dan ekonomi, warisan terpenting Mangkunegara IV adalah pemikiran filsafatnya. Ia tercatat dalam Dictionnaire des Philosophes, dan tulisan-tulisannya menyerap etika kerja orang Jawa dalam format kebijakan negara. Bagi Mangkunegara IV, kekayaan bukanlah tujuan, melainkan sarana untuk memperkuat moral, kebijaksanaan, dan tata nilai.
Gagasan-gagasannya masih hidup dalam buku Etos Dagang Orang Jawa, yang merangkum pengalamannya membentuk sistem perekonomian berbasis kesetiaan kawula, etos kerja, dan prinsip “rame ing gawe, sepi ing pamrih.”
Mangkunegara IV: Raja dengan Visi Industri
Mangkunegara IV bukan sekadar raja di tengah penjajahan. Ia adalah pemimpin dengan visi industrial, organisator ulung birokrasi, filsuf etis, dan pelopor nasionalisme kultural yang diam-diam melawan hegemoni kolonial dengan cara yang sangat Jawa.
Zaman keemasan industri gula di Jawa bukanlah dongeng manis buatan kolonial, melainkan kenyataan sejarah yang lahir dari kecerdasan pemimpin pribumi seperti Mangkunegara IV. Ia membangun pabrik gula Colomadu dan Tasikmadu bukan semata demi laba, melainkan sebagai strategi untuk membawa Mangkunegaran memasuki arus modernitas tanpa menanggalkan identitas budaya. Gula menjadi simbol kekuasaan baru—kekuasaan yang lahir dari mesin, ilmu, dan kepemimpinan visioner.
Warisan itu kini membeku dalam sisa-sisa pabrik, dalam laporan produksi yang ditulis rapi dalam aksara Latin dan Jawa, serta dalam etos masyarakat Mangkunegaran yang masih menggenggam filsafat dagang leluhurnya. Zaman keemasan industri gula bukan mitos kolonial semata, melainkan mercusuar sejarah—tentang bagaimana elite lokal menavigasi zaman dengan kepala tegak dan akar yang tertanam dalam.