JATIMTIMES - Di tengah keremangan pasca-Perang Suksesi Jawa ketiga (1749–1757), bangkitlah seorang tokoh muda yang namanya menggema di medan konflik dan dalam kekhawatiran para pejabat tinggi Kompeni Belanda: Raden Mas Guntur.
Ia bukan sekadar seorang bangsawan tanpa tanah atau prajurit yang tak puas, melainkan cucu dari korban tragedi berdarah di istana Kartasura, dan cicit langsung dari raja Mataram yang disingkirkan oleh VOC, yakni Amangkurat III. Dengan warisan dendam dan legitimasi yang terampas, Raden Mas Guntur muncul sebagai simbol pembangkangan aristokratik terhadap kolonialisme dan ketidakadilan dinasti.
Baca Juga : Penuh Haru dan Berlangsung Khidmat, Bupati Bondowoso Lepas Jemaah Haji
Raden Mas Guntur adalah putra dari Raden Mas Wiratmeja yang dibunuh di istana pada 1741 dan cucu dari Pangeran Teposono yang juga dieksekusi karena dituduh melawan terhadap Pakubuwana II. Buyutnya, Amangkurat III, dibuang oleh Kompeni ke Ceylon (Sri Lanka) pada tahun 1708 setelah kalah dalam Perang Suksesi Jawa I (1704–1708). Nasib keluarganya—dibunuh, dibuang, dan dirampas hak warisnya—menjadi luka sejarah yang membentuk identitas politik Raden Mas Guntur. Di usia mudanya, ia telah menapaki jalan pemberontakan, bukan karena sekadar ambisi pribadi, melainkan karena keyakinan atas haknya yang sah sebagai bagian dari darah raja yang dilengserkan secara paksa oleh intervensi asing.
Keterlibatan Raden Mas Guntur dalam arus utama sejarah Jawa dimulai setelah kedekatannya dengan Mangkunegara I, yang dikenal sebagai Pangeran Sambernyawa. Dalam kondisi politik yang rapuh pasca Giyanti (1755), Sambernyawa sedang membangun basis kekuasaan baru yang kelak menjadi Kadipaten Mangkunegaran. Di sinilah Raden Mas Guntur menjadi sekutu strategis, tidak hanya secara militer, tetapi juga kekerabatan. Ia dinikahkan dengan putri Mangkunegara, Raden Ajeng Sombro, dalam aliansi yang tidak hanya memperkuat hubungan personal, tetapi juga meneguhkan posisi politiknya dalam barisan perlawanan terhadap hegemoni Kasunanan Surakarta dan Sultan Yogyakarta.
Bagi Belanda, kehadiran Guntur merupakan ancaman yang nyata dan berakar dalam sejarah panjang konflik Jawa. Penulis mencatat bahwa keturunan Amangkurat III dipandang memiliki potensi subversif karena mereka membawa memori tentang monarki yang dirampas oleh kolonialisme. Rasa marah dan keyakinan atas keabsahan warisan menjadi bahan bakar utama bagi semangat perlawanan Raden Mas Guntur.
Perjalanan politik Guntur mencerminkan kompleksitas konflik elite Jawa abad ke-18. Setelah Kadipaten Mangkunegaran berdiri pada 1757, Guntur menjalani hidup yang mapan sebagai pangeran di dalam istana. Ia diberi kedudukan, dihormati, dan dilibatkan dalam upacara-upacara kebangsawanan. Namun jauh di dalam hatinya, ada kegelisahan yang tak bisa disembunyikan. Jiwa Guntur tampaknya tidak pernah benar-benar damai. Mungkin karena ia tak bisa melupakan hak kekuasaan dinasti leluhurnya yang dirampas, atau bayang-bayang kejayaan keluarga besarnya yang terhapus dari sejarah resmi kerajaan.Pada Agustus 1761, dalam usia sekitar 20 tahun, ia dan istrinya Sombro (sekitar 16 tahun) meninggalkan Surakarta secara diam-diam. Mereka memulai pemberontakan yang dramatis di Blora dan Lipang, dua wilayah penting di wilayah timur laut Jawa. Kota Blora dijarah, Lipang diserbu, dan bahkan salah satu gubernur Sultan dibunuh. VOC, dalam catatan resmi, meremehkan gerakan ini sebagai tindakan “perampokan”, namun sumber Jawa—seperti Babad Mangkubumi—mengisyaratkan bahwa Guntur sedang menuntut haknya sebagai bagian dari trah kerajaan: “tumut darbé, yun genti waris ngrebasèng jurit”—ikut memiliki, ingin mendapat warisan melalui jalan perang.
Dalam pergerakannya, Raden Mas Guntur tidak hanya mengejutkan para penguasa Jawa, tetapi juga menciptakan kekacauan administratif. Sultan Hamengkubuwana I dan Susuhunan Pakubuwana III sampai-sampai mengancam akan mencopot beberapa pejabat tinggi yang dianggap lalai dalam mengejar Guntur. Ia berpindah dari Blora menuju Grobogan, bahkan sempat melakukan serangan terhadap pasukan Yogyakarta melalui jalur Cengkalsewu hingga ke daerah Prawoto, antara Demak dan Grobogan. Namun, di bawah tekanan gempuran pasukan Surakarta dan Yogyakarta, Guntur mundur ke wilayah hutan Blora yang lebat dan nyaris tidak dapat dijangkau.
Di tengah pengejaran militer, Guntur justru menempuh langkah diplomatik. Ia menulis surat kepada Van Ossenberch, pejabat tinggi VOC, sebanyak dua kali pada April dan Juli 1762, meminta pengakuan serta sebidang apanase di wilayah pantai timur yang dikuasai Kompeni. Permintaan ini mencerminkan hasratnya bukan sekadar untuk merusak tatanan, tetapi untuk diakui sebagai bagian dari struktur kekuasaan yang sah. Namun, Kompeni menolak mentah-mentah, melihatnya sebagai kesempatan untuk menyingkirkan seorang pewaris problematik yang membawa legitimasi saingan terhadap garis Pakubuwana.
Sejarah keluarga Guntur menjadi beban sekaligus senjata. Dari garis ayahnya, ia adalah korban langsung persekongkolan istana dan represi kolonial. Sedangkan istrinya, Sombro, ia mendapatkan semangat pemberontakan: Sombro adalah cicit Raden Ayu Wulan, putri dari pemberontak Pangeran Blitar. Maka, dalam sosok Guntur dan istrinya terhimpun dua tradisi perlawanan, yang membuat mereka disegani sekaligus diburu. Dalam banyak aspek, mereka mengingatkan pada tokoh-tokoh revolusioner dalam narasi sejarah modern, pasangan yang menjadikan perkawinan mereka sebagai ikatan ideologis dan perjuangan bersama.
Tapi politik Jawa tak pernah bisa ditebak sepenuhnya. Ketika VOC turun tangan lebih serius, dan tekanan militer dari Surakarta diperbesar, Guntur terjebak. Pada 15 September 1762, dalam sebuah pertempuran berdarah dengan pasukan Pakubuwana III, ia tewas. Tubuhnya tak pernah secara resmi dikuburkan dengan penghormatan, dan kabar tentang pusaka keris kerajaan yang dibawanya pun menguap tanpa jejak.
Raden Ajeng Sombro, istri Guntur, ditangkap hidup-hidup. Ia tidak dieksekusi, melainkan dibawa kembali ke Surakarta dan dinikahkan dengan Raden Tumenggung Yudanagara, Bupati Banyumas dan putera Patih Yogyakarta Danureja I. Kehidupan barunya berlangsung lebih tenang, meski tidak sepenuhnya bebas dari bayang-bayang kecurigaan. Pada tahun 1772, suaminya dituduh—barangkali secara keliru—ikut terlibat dalam konspirasi jahat bersama Mangkunegara I dan elite Banyumas. Namun tidak ada bukti kuat yang menjeratnya.
Mangkunegara I sendiri terus memperkuat posisinya di Surakarta. Dengan wafatnya Guntur, sang pangeran muda yang gelisah, ia berhasil menghapus satu potensi ancaman dalam lingkaran internal. Patih Mangkupraja yang sudah tua dan tidak cakap menjadikan Mangkunegara I sebagai figur paling senior dan dominan di istana, bahkan lebih dari susuhunan sendiri yang semakin dikendalikan oleh permaisurinya. Van Ossenberch menggambarkan Mangkunegara I sebagai seorang yang penuh perhitungan, nyaris tak pernah bertindak tanpa rencana. Ia memang tak terlihat ikut campur langsung dalam pemberontakan Guntur, namun bagi pengamat cermat, justru ketidakterlibatannya itulah yang mencurigakan.
Guntur, pada akhirnya, adalah gambaran dari pangeran idealis yang terjerat dalam pusaran kekuasaan dan politik keluarga kerajaan yang penuh jebakan. Ia gugur bukan hanya karena ambisinya, melainkan karena kesalahannya membaca arah kekuasaan: bahwa dinasti tak lagi ditentukan oleh darah dan hak, tetapi oleh siapa yang mampu menjalin persekutuan dan memenangkan pertarungan diam-diam di balik dinding istana.
Perjalanan hidup Guntur mengingatkan kita bahwa sejarah bukan hanya ditentukan oleh para pemenang. Di balik lembaran-lembaran resmi perjanjian dan pengakuan kerajaan, ada arus bawah dari ketidakpuasan, dari rasa sah yang dirampas, dari warisan politik yang tak pernah dilupakan. Seperti dikatakan dalam laporan Batavia 31 Desember 1762, kegagalan Guntur menciptakan rekonsiliasi dengan kekuasaan kolonial dan kerajaan yang menganggapnya “ancaman” adalah cermin dari sistem politik Jawa abad ke-18 yang telah terbelah oleh perang, intervensi, dan dendam warisan.
Raden Mas Guntur bukan sekadar pemberontak muda, tetapi simbol dari sebuah keturunan yang tidak pernah menerima kekalahan sebagai takdir. Ia adalah bayangan masa lalu yang terus menghantui legitimasi penguasa baru, baik Kasunanan, Kesultanan, maupun Kompeni. Jejak langkahnya di Blora, Grobogan, hingga Prawoto mencerminkan narasi Jawa yang belum usai—narasi tentang pewaris sah yang dipinggirkan, tetapi tidak pernah dilupakan. Dalam sosoknya, sejarah Jawa menemukan kembali wajah-wajah yang telah dibuang dari istana, tetapi tak bisa dikeluarkan dari ingatan kolektif bangsanya.
Baca Juga : 10 Hari Operasi Pekat di Kota Malang, Amankan 11 Pelaku
Riwayat Amangkurat III: Antara Kenangan Kediri dan Catatan Kolonial Belanda
Dalam menelusuri jejak sejarah Raden Mas Guntur, tak dapat dilepaskan kaitannya dengan tokoh leluhurnya yang paling kontroversial: Sunan Amangkurat III. Raja Mataram yang memerintah dalam kurun pendek, 1703–1705, ini tak hanya meninggalkan riwayat politik berdarah, namun juga pusaka genealogis yang menghantui sejarah kekuasaan Jawa hingga abad ke-18. Guntur adalah cicitnya. Maka, memahami kisah Amangkurat III bukan sekadar menelusuri asal-usul darah biru, melainkan menyingkap silang narasi antara legitimasi kekuasaan, trauma kolonial, dan rekonstruksi identitas bangsawan di masa senjakala Mataram.
Amangkurat III, adalah putra Amangkurat II dari istri garwa padmi. Ia naik takhta setelah kematian ayahnya pada 1703, namun hampir seketika dicap sebagai raja yang tidak sah oleh pihak keraton dan VOC. Kudeta terhadapnya dipimpin oleh pamannya, Pangeran Puger, yang didukung oleh Belanda, dan kemudian dinobatkan sebagai Pakubuwana I. Kudeta ini memicu Perang Pewaris Kartasura (1704–1708), sebuah konflik yang menguras kekuatan dinasti dan membuka ruang makin besarnya dominasi VOC atas istana Mataram.
Kisah Amangkurat III lalu bercabang dua. Dalam catatan resmi Belanda, ia diasingkan ke Ceylon (Sri Lanka) bersama keluarganya setelah menyerah pada 1708. Ia wafat di pengasingan pada 1734. Jenazahnya, bersama putra-putranya yang masih hidup—Pangeran Tepasana dan Pangeran Wiramenggala—dipulangkan ke Jawa pada 1737 dan dimakamkan di Astana Imogiri. Penulis pernah menelusuri makam Amangkurat III di Pajimatan Imogiri. Benar, makamnya memang ada. Pusaranya terletak di kompleks Sultan Agungan, dalam gedhong tersendiri yang berbeda dengan gedhong makam Amangkurat II.
Catatan Belanda juga menyebut bahwa dua putra Amangkurat III, Pangeran Teposono dan Pangeran Wiramenggala, dieksekusi di dalam keraton pada masa pemerintahan Pakubuwono II, setelah diduga terlibat dalam konspirasi pasca-pemberontakan besar tahun 1741.
Namun narasi lokal di Kediri menyuguhkan kisah berbeda. Tradisi lisan dan ingatan kultural masyarakat setempat meyakini bahwa Amangkurat III tidak wafat di tanah asing. Setelah dilengserkan dan menjalani pembuangan, ia disebut memilih menetap secara tersembunyi di Kediri. Di sana, ia mengubah hidupnya, menarik diri dari perebutan kekuasaan, dan mengabdikan diri sebagai guru agama dan tokoh spiritual. Dalam versi ini, Sunan Amangkurat III berubah dari raja pemberontak menjadi wali sepuh, seorang pengembara ilahi yang menebus dosa-dosa politiknya dengan laku spiritual.
Jejaknya dipercaya masih lestari di situs Setono Gedong, sebuah kompleks makam tua di jantung kota Kediri. Di sinilah, masyarakat meyakini jasad Amangkurat III dimakamkan, berdampingan dengan pusaka-pusaka istana Mataram yang ia bawa saat pelarian dari Kartasura. Makam ini tidak hanya menjadi pusat ziarah, tapi juga pusat kekuatan simbolik anti-kolonial. Cerita mistis menyebut bahwa burung yang melintasi makam akan jatuh mati, sebagai pertanda kehadiran spiritual yang tak lekang zaman.
Dalam historiografi nasional, Setono Gedong belum diakui secara resmi sebagai makam raja. Namun bagi masyarakat Kediri, situs ini merupakan bentuk perlawanan naratif terhadap hegemoni Belanda dan dinasti yang didukungnya. Bagi mereka, Amangkurat III bukanlah raja yang kalah, melainkan simbol legitimasi asli dinasti Mataram yang ditumbangkan oleh konspirasi internal dan kolonialisme.
Perbedaan antara dua versi ini—versi Kediri dan versi Belanda—menunjukkan bagaimana sejarah raja Jawa tidak hanya hidup dalam naskah, tapi juga dalam ingatan rakyat. Di satu sisi, catatan Belanda mengabarkan kematian dan pengasingan sebagai bentuk akhir dari dinasti “pengacau”; di sisi lain, masyarakat Jawa membingkai ulang kisah itu menjadi narasi spiritual, martabat, dan perlawanan. Tidak berlebihan jika dikatakan bahwa di tubuh Amangkurat III, sejarah Mataram memendam luka lama antara kesetiaan darah dan kekuasaan yang tergadai.
Dalam konteks ini pula, kelahiran Raden Mas Guntur menjadi signifikan. Sebagai keturunan langsung dari garis Amangkurat III melalui Raden Mas Wiratmeja, ia membawa warisan yang tak tertulis dalam babad istana yang resmi. Ayahnya terbunuh secara misterius di dalam keraton pasca-eksekusi saudara-saudaranya, dan keluarganya tercerai berai dalam kekacauan politik. Namun garis darah itu tidak pupus. Guntur adalah sisa dari cabang yang tak diakui—bayang-bayang kerajaan yang dirampas, namun tetap hidup dalam ingatan dan kesadaran sejarah rakyat. Maka tak mengherankan bila ia kemudian tumbuh sebagai bangsawan yang resah, meski hidup dalam kemapanan Kadipaten Mangkunegaran. Sebab di balik gelar dan kehormatan, selalu ada kenangan akan hak yang terampas dan tahta yang tak kembali.