JATIMTIMES - Praktik kontroversial pabrik tahu di Tropodo, Sidoarjo, Jawa Timur, menjadi sorotan media asing setelah terungkap menggunakan limbah plastik sebagai bahan bakar dalam proses produksinya. Investigasi ini mulanya pertama kali diungkap oleh YouTuber asing Andrew Fraser hingga menjadi sorotan media Inggris The Guardian.
Dalam laporannya, The Guardian mengungkap bahwa plastik bekas dari Australia, Selandia Baru, Jepang, Prancis, Amerika Serikat, dan Inggris digunakan sebagai bahan bakar tungku di sejumlah pabrik tahu di Tropodo. Setiap hari, sekitar 60 pabrik di desa industri tersebut membakar plastik untuk memanaskan tungku. Dari proses produksi tersebut pabrik menghasilkan sekitar 60 ton tahu yang didistribusikan ke wilayah sekitar, termasuk Surabaya.
“Kami pakai plastik karena lebih murah,” kata pemilik pabrik yang tidak mau disebut namanya kepada The Guardian.
Meski pembakaran sampah secara terbuka dilarang di Indonesia, praktik ini masih banyak terjadi di lapangan, termasuk di Tropodo. Di salah satu pabrik, terlihat tumpukan limbah plastik asing seperti bungkus makanan anjing dari Selandia Baru dan pembungkus keju dari Prancis. Menurut Wahyuni, salah satu pemilik pabrik, mereka menghabiskan satu truk limbah plastik setiap dua hari. “Harga satu truk plastik cuma sekitar Rp200 ribu, sedangkan kayu bisa sampai Rp2 juta,” ujarnya.
Dalam laporannya, The Guardian telah mengunjungi lima pabrik tahu di wilayah Tropodo dan menemukan fakta bahwa semua pabrik menggunakan plastik impor, meski jumlahnya bervariasi.
Dr. Daru Setyorini dari lembaga lingkungan Ecoton menjelaskan bahwa limbah plastik ini banyak berasal dari kertas bekas impor yang terkontaminasi.
“Limbah plastik yang tidak bisa didaur ulang dijual ke industri seperti pabrik tahu. Hanya limbah dari pabrik kertas yang bisa menyediakan pasokan bahan bakar murah secara terus-menerus,” katanya.
The Guardian menyebutkan bahwa Indonesia mengimpor sekitar 3 juta ton kertas dan kardus bekas per tahun, dengan sebagian besar berasal dari negara-negara Uni Eropa, Amerika Serikat, Inggris, Australia, dan Jepang. Namun Ecoton menyebut lemahnya pengawasan terhadap kontaminasi plastik dalam impor tersebut, yang kadang bisa mencapai 30%, jauh di atas ambang batas 2% yang ditetapkan pemerintah.
Adapun dalam laporan The Guardian, diperkirakan ada sekitar 70 ton limbah plastik dibakar setiap minggu di pabrik-pabrik tahu Tropodo. Yang paling membahayakan dari proses ini menurut laporan The Guardian adalah kontaminasi mikroplastik dalam makanan. Dalam penelitian pada Februari 2024, Ecoton menemukan tahu yang dijual di pasar Tropodo mengandung serat mikroplastik berukuran 0,15 mm hingga 1,76 mm.
“Pembakaran plastik melepaskan partikel mikroplastik ke udara, air, dan permukaan, yang kemudian mencemari makanan seperti tahu,” jelas Dr. Setyorini.
Meski dampak mikroplastik terhadap kesehatan manusia masih diteliti, sejumlah studi menyebutkan potensi risiko penyakit jantung, stroke, bahkan kematian dini.
Baca Juga : Sedang Berlibur? BMKG Prediksi Wilayah Jatim Hujan pada Sabtu 10 Mei
Lebih lanjut, studi dari Nexus3 Foundation menemukan bahwa mengonsumsi setengah butir telur ayam kampung yang hidup di dekat pabrik tahu bisa melampaui ambang aman asupan dioksin harian hingga 48 kali lipat.
“Dioksin bisa menyebabkan masalah perkembangan anak, gangguan kesuburan, keguguran, merusak sistem kekebalan, dan mengacaukan hormon,” kata Yuyun Ismawati dari Nexus3.
Joko, pemilik pabrik lainnya, mengatakan bahwa pembakaran plastik sudah lama terjadi, bahkan juga ditemukan di dekat pabrik daur ulang lain di Pulau Jawa.
“Kami tahu ada risiko kesehatan, tapi kalau pakai kayu biayanya bisa enam kali lebih mahal,” ujar pemilik lain yang enggan menyebutkan namanya. Pemilik pabrik tahu tersebut mendesak pemerintah untuk memberikan subsidi agar pabrik bisa beralih ke bahan bakar yang lebih aman.
Direktur Pengelolaan Sampah di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Novrizal Tahar, mengakui bahwa praktik pembakaran limbah plastik berbahaya bagi kesehatan manusia. Ia menegaskan bahwa pemerintah sedang berupaya menegakkan larangan impor plastik, namun belum menyentuh akar persoalan, yaitu masuknya plastik dalam pengiriman kertas bekas.
Dr. Setyorini menyebut permasalahan ini sebagai bentuk kolonialisme limbah.
“Masalah terbesar (yang terjadi saat ini) adalah negara-negara kaya mengekspor sampah (termasuk limbah plastik) mereka ke negara berkembang seperti Indonesia,” tandas Dr. Setyorini.