JATIMTIMES - Pada malam yang diterangi gemerlap lampu temaram dan desir angin dari persawahan yang tenang, Desa Purworejo, Kecamatan Sanankulon, Kabupaten Blitar, kembali menyulut semangat kebudayaan yang telah diwariskan lintas generasi.
Jumat malam, 9 Mei 2025, adalah malam yang tak sekadar menyajikan hiburan, melainkan membentangkan lanskap spiritual, sosial, dan kultural dalam satu helaan napas panjang pagelaran wayang kulit, sebuah tradisi yang terus dirawat oleh warga dalam ritual Bersih Desa dan peringatan Ambal Warsa ke-315.
Baca Juga : Spoiler Resident Playbook Episode 9-10, Do Won dan Yi Young Jadian?
Wayang kulit yang ditampilkan dalam peristiwa budaya itu bukan sekadar pertunjukan, melainkan menjadi medium komunikasi antara masa lalu dan masa kini; sebuah simbol pertemuan antara nilai-nilai leluhur dengan dinamika zaman yang terus bergerak maju.
Di balik kelir yang tembus cahaya, tokoh-tokoh pewayangan menari dengan gemuruh kendang, lengking suling, dan derap gending Jawa yang mengalun meresap ke relung-relung kesadaran warga. Di tangan dalang muda berbakat, Ki Anom Dwijo Kangko, S.Sn., pagelaran ini menjadi ruang permenungan kolektif dan penguatan jati diri masyarakat desa.
Bertema “Purworejo Rahardja,” gelaran ini menandai harapan bersama: agar desa tetap dinaungi keselamatan dan kemakmuran, serta mampu menjaga persatuan dalam keberagaman masyarakatnya. Di tengah arus modernisasi dan globalisasi budaya yang mengancam kelestarian tradisi lokal, Desa Purworejo berdiri tegak dengan memeluk kuat nilai-nilai leluhur mereka, menjadikan Bersih Desa bukan sekadar upacara tahunan, tetapi juga pernyataan identitas dan solidaritas komunal.
Hadir dalam gelaran budaya ini, selain ribuan warga dari berbagai penjuru desa, tampak pula tokoh-tokoh publik yang memberi sentuhan simbolik atas sinergi antara budaya dan pemerintahan. Sosok Bupati Blitar Rijanto yang diwakili oleh Plt. Kepala Bagian Tata Pemerintahan Setda Kabupaten Blitar, Dodot Darudono, menyampaikan bahwa pelestarian budaya lokal harus menjadi bagian dari agenda strategis pemerintahan daerah.
“Pemerintah Kabupaten Blitar terus berkomitmen untuk menjaga kesinambungan tradisi seperti ini. Wayang kulit bukan hanya warisan budaya takbenda, tetapi juga instrumen pendidikan moral, politik, dan sosial yang hidup di tengah masyarakat kita,” ujar Dodot di sela acara.
Anggota DPR RI, Nurhadi, yang turut hadir dan membaur bersama warga desa, menambahkan bahwa pelestarian budaya seperti wayang kulit harus mendapat dukungan lintas sektor.
“Saya melihat ini sebagai ruang demokrasi budaya. Masyarakat tidak hanya menikmati pertunjukan, tetapi juga ikut serta dalam proses menjaga nilai-nilai yang telah diwariskan secara turun-temurun. Pemerintah pusat juga memiliki peran besar dalam memastikan agar tradisi seperti ini tetap hidup dan berdaya,” ungkap Nurhadi.
Pagelaran yang dimulai sejak pukul 20.00 WIB ini menghadirkan lakon pewayangan sarat pesan moral yang dibawakan dengan gaya kontemporer. Penampilan Andik TB dan grup lawak Slendro menyuntikkan warna humor yang merangkul generasi muda, menjadikan pertunjukan tidak monoton dan lebih dekat dengan keseharian warga. Lintas generasi tumpah ruah di halaman balai desa, dari anak-anak yang terpukau dengan wayang golek hingga para sesepuh yang larut dalam nostalgia suara gamelan dan kidung jawa.
Kepala Desa Purworejo, Kalinggo Purnomo, menyampaikan dengan penuh keyakinan bahwa tradisi Bersih Desa adalah ekspresi syukur masyarakat kepada Tuhan atas segala limpahan rezeki dan keselamatan yang telah dirasakan bersama. Lebih dari itu, menurutnya, ini juga menjadi momentum edukasi budaya.
“Diharapkan dari kegiatan ini semakin banyak masyarakat, khususnya generasi muda, yang melek budaya lokal. Sehingga muncul kesadaran dan upaya nyata untuk melestarikan, bahkan mengelolanya menjadi potensi yang memberikan manfaat lebih bagi masyarakat,” ujar Kalinggo.
Dalam konteks pemerintahan desa, Bersih Desa juga menjadi refleksi sistem nilai lokal yang berbasis partisipasi masyarakat. Bukan sekadar seremoni, namun juga wadah pembentukan kesadaran kolektif tentang pentingnya gotong royong, kebersamaan, dan keseimbangan antara manusia, alam, dan spiritualitas. Keberadaan pagelaran seperti ini menunjukkan bahwa di balik kemajuan infrastruktur dan administrasi pemerintahan, ada unsur budaya yang menjadi fondasi tak tergantikan.
Baca Juga : Makna Nama Leo serta Daftar Paus yang Pernah Memakainya sebelum Robert Prevost
Desa Purworejo telah memberikan contoh bahwa pembangunan bukan hanya soal beton dan jalan, melainkan juga tentang merawat jiwa masyarakat melalui kebudayaan yang hidup. Tradisi wayang kulit dalam Bersih Desa bukanlah artefak masa lalu, tetapi denyut nadi dari semangat zaman yang tetap menyala—sebuah sinergi antara pemerintahan dan budaya yang mengakar, menyatu, dan membentuk jati diri yang tak tergantikan.
Purworejo, Desa Bersejarah yang Merawat Warisan Leluhur lewat Bersih Desa
Desa Purworejo di Kecamatan Sanankulon, Kabupaten Blitar, bukan sekadar wilayah administratif biasa. Di balik hamparan sawah dan permukiman warganya, desa ini menyimpan sejarah panjang dan spiritualitas tinggi yang terus dirawat melalui tradisi tahunan: Bersih Desa. Menurut cerita turun-temurun, Desa Purworejo dibabat pada tahun 1710 oleh Ki Karto, yang dikenal juga sebagai Mbah Pret, seorang prajurit Mataram yang konon memiliki pusaka berupa sompret.
Tahun ini, wilujengan dilaksanakan pada Selasa, 6 Mei 2025, di Situs Tri Tingal—sebuah tempat sakral yang diyakini sebagai lokasi pertemuan tokoh-tokoh penting dalam sejarah Jawa, seperti Raden Kebo Kenongo, Syekh Siti Jenar, dan Sunan Kalijaga. Wilujengan digelar di bawah naungan pohon kemuning ratusan tahun yang dianggap sebagai penjaga alamiah situs tersebut.
Rangkaian kegiatan dimulai sejak 3 Mei, meliputi sholawatan di Dusun Gendong, doa bersama lintas iman di Gereja Abdil Saloom, hingga wilujengan di Dusun Centong. Semua berpuncak pada kirab budaya yang mengarak pusaka dan panji-panji desa menuju Situs Tri Tingal, dipimpin langsung oleh Kepala Desa Purworejo, Kalinggo Purnomo. Ia menekankan pentingnya menjaga hubungan spiritual dengan para leluhur.
“Di Tri Tingal ini, kita bermunajat untuk para pendiri desa, memohon keselamatan dan keberkahan bagi generasi sekarang,” tuturnya.
Selain itu, pada 8 Mei, masyarakat melaksanakan ritual mageri deso, yakni berdoa sambil mengelilingi batas desa, sebagai simbol penjagaan dan penyucian wilayah. Esok harinya, pada pagi 9 Mei, dilaksanakan ziarah dan wilujengan di Makam Tiloro. Puncak rangkaian acara ditandai dengan pagelaran wayang kulit semalam suntuk oleh dalang Ki Anom Dwijo Kangko, yang mempertegas keterkaitan antara seni, spiritualitas, dan sejarah.
Situs Tri Tingal menjadi titik penting dalam narasi sejarah Desa Purworejo. Kalinggo mengungkapkan bahwa menurut cerita lisan, situs ini pertama kali ditemukan oleh Mbah Pret, sosok yang membabad desa pada tahun 1710. Ia juga menyebutkan bahwa penelusuran terbaru menunjukkan situs tersebut merupakan tempat bermunajat Raden Kebo Kenongo, ayah dari Jaka Tingkir atau Sultan Hadiwijaya. Saat ini, situs tersebut telah mendapatkan pengakuan sebagai situs warisan budaya dari Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat.
"Situs ini bukan hanya situs sejarah, tetapi simpul spiritual yang menyatukan nilai-nilai luhur Jawa," ujarnya.
Dengan menjaga tradisi bersih desa, masyarakat Purworejo tidak hanya merayakan identitas budaya, tetapi juga menjaga kesinambungan antara masa lalu, masa kini, dan masa depan. Tradisi ini menjadi bukti bahwa desa kecil sekalipun bisa menjadi penjaga warisan besar bangsa.