JATIMTIMES - Pada penghujung abad ke-19, sistem pajak kolonial Belanda telah menimbulkan keresahan yang meluas di kalangan rakyat pedesaan. Tekanan ekonomi yang berat akibat eksploitasi agraria dan pajak yang semakin meningkat melahirkan ketidakpuasan yang mendalam, khususnya di daerah pedalaman Jawa.
Salah satu manifestasi dari ketidakpuasan ini adalah Pemberontakan Pulung yang meletus di Ponorogo pada tahun 1885.
Baca Juga : Ra Hamid dan Wapres Gibran Bahas Sinergi untuk Kemandirian Ekonomi Pesantren
Berbeda dari pergolakan politik di kalangan elite pribumi seperti kasus Adipati Brotodiningrat di Madiun, Pemberontakan Pulung mencerminkan bentuk perlawanan sosial yang mengakar di tingkat rakyat.
Dalam historiografi gerakan sosial di Indonesia, pemberontakan ini dapat dikategorikan sebagai gerakan mesianis, yakni gerakan yang terinspirasi oleh harapan akan munculnya pemimpin yang akan membebaskan rakyat dari penindasan. Konsep "Ratu Adil" menjadi narasi utama yang menggerakkan pemberontakan ini.
Konteks Historis: Jawa dalam Cengkeraman Kolonial
Sejak pertengahan abad ke-19, Pemerintah Kolonial Belanda menerapkan sistem pajak dan kerja paksa (cultuurstelsel) yang sangat membebani rakyat. Meski Tanam Paksa resmi dihapus pada tahun 1870 dan digantikan oleh sistem ekonomi liberal yang lebih berbasis kapitalisme perkebunan, penderitaan rakyat tidak serta-merta berkurang. Pajak tetap tinggi, sementara tanah-tanah subur semakin banyak dikuasai oleh pengusaha Eropa dan Tionghoa.
Ponorogo, sebagai bagian dari Karesidenan Madiun, tidak luput dari dampak kebijakan ini. Wilayah ini memiliki tradisi agraris yang kuat, tetapi eksploitasi pajak mengakibatkan kehidupan petani semakin sulit. Desa-desa di pedalaman seperti Parik di Distrik Pulung menjadi pusat keresahan sosial akibat ketidakadilan sistem pajak yang diberlakukan oleh kolonial Belanda.
Pemimpin Pemberontakan: R. Martodimejo dan Martodipuro
Pemberontakan Pulung dipimpin oleh Raden Martodimejo dan anaknya, Raden Martodipuro. Keduanya berasal dari kalangan priyayi yang kecewa dengan kebijakan kolonial. Mereka adalah keturunan Bupati Ponorogo pertama, Raden Mas Adipati Suriodiningrat, serta memiliki hubungan kekerabatan dengan Raden Brotowiryo, seorang pejabat pribumi yang pernah menjabat dalam birokrasi kolonial.
Sebagai mantan pejabat, Martodimejo memahami sistem administrasi kolonial dengan baik. Ia melihat bahwa kebijakan pajak tidak hanya memberatkan rakyat, tetapi juga merampas hak-hak mereka secara ekonomi dan sosial. Dalam wacananya kepada para pengikutnya, ia menegaskan bahwa satu-satunya jalan untuk menghentikan penindasan ini adalah dengan menggulingkan kekuasaan kolonial dan menggantikannya dengan sistem pemerintahan baru di bawah Ratu Adil.
Strategi dan Rencana Pemberontakan
Pemberontakan ini direncanakan dalam beberapa tahap. Semula, Martodimejo dan Martodipuro berusaha menggalang dukungan dari kalangan petani di berbagai desa. Mereka mengajak rakyat untuk bangkit melawan pemerintah kolonial dengan janji bahwa sistem pajak yang mencekik akan dihapus setelah kemenangan mereka.
Rencana pertama pemberontakan dijadwalkan pada 15 Oktober 1885. Namun, karena jumlah pengikut yang terkumpul masih sedikit—hanya sekitar sepuluh orang—rencana tersebut ditunda hingga 28 Oktober. Pada tanggal ini, mereka kembali mencoba menggalang dukungan, tetapi hanya berhasil mengumpulkan 15 orang. Dukungan dari desa-desa sekitar yang diharapkan ternyata tidak kunjung datang, sehingga serangan pun kembali ditunda.
Akhirnya, pada 2 November 1885, mereka memutuskan untuk bertindak dengan kekuatan yang ada. Sekitar 50 orang yang telah diyakinkan untuk berjuang bergerak menuju sasaran pertama: rumah Wedana Pudak.
Eksekusi Pemberontakan dan Taktik Perlawanan
Pada malam 2 November 1885, kelompok pemberontak menyerang rumah Wedana Pudak. Mereka mendobrak pintu, mengambil senjata api yang ada, dan merusak perabotan rumah. Namun, mereka tidak melukai pemilik rumah.
Setelah itu, mereka bergerak menuju rumah Kontrolir Belanda yang berada di pinggiran kota Ponorogo. Di tempat ini, mereka melakukan aksi serupa: membakar perabotan dan mengambil sejumlah uang.
Namun, pemberontakan ini memiliki kelemahan strategis yang fatal. Tidak adanya dukungan massa yang signifikan membuat kekuatan mereka terbatas. Ditambah lagi, kelelahan dan kelaparan mulai mendera para pemberontak. Pada dini hari, mereka mencapai desa Caper dan meminta makanan kepada kepala desa. Tanpa mereka sadari, makanan dan minuman yang diberikan telah dicampur dengan obat tidur.
Beberapa jam kemudian, ketika mereka tertidur di pemakaman Dowo, pasukan kolonial yang terdiri dari Asisten Residen, Bupati Ponorogo, dan mantan Bupati Tjokronegoro mengepung mereka. Dalam keadaan tidak sadar, para pemberontak ditangkap dengan mudah.
Dampak dan Respons Kolonial
Penangkapan para pemberontak menandai berakhirnya Pemberontakan Pulung. Pemerintah kolonial segera melakukan investigasi untuk mencari akar penyebab peristiwa ini.
Dalam laporan resminya, pemerintah kolonial menolak anggapan bahwa pajak yang mencekik menjadi pemicu utama pemberontakan. Sebaliknya, mereka menuduh bahwa gerakan ini didalangi oleh kelompok priyayi dan pengusaha Tionghoa yang ingin merongrong kekuasaan Belanda.
Salah satu tokoh yang dituduh memiliki keterlibatan adalah mantan Bupati Ponorogo, Raden Adipati Tjokronegoro. Ia dianggap sebagai seorang tokoh konservatif yang menentang masuknya pengusaha Belanda dalam ekonomi lokal. Selain itu, Residen Madiun saat itu, Mr. Oudeman, juga disalahkan atas kelalaiannya dalam mencegah pemberontakan. Akibatnya, pada akhir tahun 1886, ia diberhentikan dari jabatannya dan dipaksa pensiun.
Analisis Historiografi: Gerakan Mesianis dan Dinamika Sosial
Dalam historiografi gerakan sosial di Indonesia, Pemberontakan Pulung mencerminkan karakteristik khas dari pemberontakan rakyat pedesaan pada masa kolonial. Sejarawan Sartono Kartodirdjo mengategorikannya sebagai gerakan protes yang bersifat mesianis, di mana mitos tentang Ratu Adil menjadi inspirasi utama.
Pemberontakan ini juga menunjukkan keterbatasan mobilisasi sosial pada masa itu. Tidak adanya jaringan komunikasi yang kuat, kurangnya koordinasi, dan lemahnya dukungan dari desa-desa lain menjadi faktor utama kegagalan gerakan ini.
Namun, meskipun berakhir dengan kegagalan, Pemberontakan Pulung menjadi salah satu indikasi bahwa ketidakpuasan terhadap kebijakan kolonial semakin menguat di kalangan rakyat. Dalam beberapa dekade berikutnya, berbagai bentuk perlawanan serupa terus bermunculan, baik dalam skala kecil maupun besar.
Pemberontakan Pulung 1885 mungkin tidak sebesar Perang Diponegoro atau Perlawanan Sentot Alibasyah, tetapi ia tetap memiliki makna penting dalam sejarah perlawanan rakyat terhadap kolonialisme.
Peristiwa ini bukan hanya sekadar gerakan spontan akibat beban pajak, tetapi juga cerminan dari dinamika sosial yang lebih luas: ketidakpuasan terhadap kolonialisme, kebangkitan kesadaran rakyat, dan harapan akan hadirnya pemimpin yang dapat membawa keadilan.
Meskipun akhirnya gagal, Pemberontakan Pulung menegaskan satu hal: bahwa rakyat, betapapun tertindasnya, tidak akan tinggal diam menghadapi ketidakadilan. Dan dalam pusaran sejarah yang terus berputar, suara perlawanan mereka akan selalu menjadi bagian dari narasi besar perjuangan bangsa.