JATIMTIMES - Di persimpangan jalan antara spiritualitas Islam tradisional dan politik kolonial Hindia Belanda, muncul sosok ulama karismatik dari jantung tanah Jawa: Kiai Kasan Ngalwi.
Ia bukan hanya tokoh agama, melainkan penggerak sosial, penasihat politik, dan bahkan sumber kekuatan simbolik yang mampu menandingi dominasi administrasi kolonial. Dalam bayang-bayang kekuasaan Bupati Ngawi, Raden Brotodiningrat, pengaruh sang kiai meluas lintas batas kewedanan dan etnis, menggoyang stabilitas yang ingin dipertahankan oleh pemerintahan kolonial.
Baca Juga : Mahasiswi UIN Malang Bahas Strategi Optimalkan Pembelajaran Akidah Akhlak untuk Gen-Z
Artikel ini menelusuri jejak hidup dan pengaruh Kiai Kasan Ngalwi dari masa mudanya di Karang Gebang, pendidikan agama dan bela diri di Sepanjang, hingga perannya sebagai guru dan pelindung spiritual Bupati Brotodiningrat. Kita juga akan melihat bagaimana kekuasaan kolonial memandang keberadaannya sebagai ancaman laten yang pada akhirnya harus diasingkan demi menegaskan dominasi negara atas kekuatan lokal karismatik.
Asal-usul: Pewaris Tradisi Guru dari Karang Gebang
Kiai Kasan Ngalwi lahir sekitar tahun 1844 di desa perdikan Karang Gebang, Ponorogo—sebuah wilayah yang memiliki tradisi pendidikan Islam yang kuat sejak abad ke-18. Ia berasal dari garis keturunan guru dan ulama, baik dari pihak ayah maupun ibunya. Namun pada saat ia tumbuh, pesantren Karang Gebang sedang mengalami kemunduran. Seperti tradisi para santri terdahulu, ia pun mengembara mencari ilmu.
Pada usia 17 tahun, ia dikirim ke pesantren di Sepanjang, Surabaya. Di sana, selain memperdalam ilmu agama, ia juga mempelajari ilmu bela diri, khususnya permainan tombak. Kemampuan fisik ini kelak menjadi simbol keperkasaan spiritual dan fisiknya, yang turut membangun reputasinya sebagai kiai sakti—seorang ulama jawara yang tidak hanya mumpuni dalam ilmu syar’i, tetapi juga memiliki kharisma yang menakutkan bagi pihak kolonial.
Pengaruh dan Gerakan Karismatik
Sekitar tahun 1875, Kasan Ngalwi mulai membangun kembali pesantren keluarganya di Karang Gebang. Ia mulai dikenal karena mengorganisasi pawai doa di sepanjang jalan desa, yang diikuti banyak orang. Aktivitas religius ini dibaca berbeda oleh aparat kolonial sebagai bentuk gerakan massa yang berpotensi membahayakan ketertiban. Ia sempat ditahan oleh polisi, tetapi segera dibebaskan—menandakan bahwa meski keberadaannya mengkhawatirkan, belum ada dasar hukum untuk mengendalikannya.
Pengaruhnya kian meluas. Ia bukan sekadar guru agama, tetapi pemimpin komunitas, bahkan pemimpin spiritual informal bagi banyak orang. Perayaannya yang monumental ketika menikahi dua perempuan sekaligus dalam satu hari, dan diarak keliling desa, menunjukkan betapa ia telah menjadi figur simbolik kekuasaan lokal yang tak tergoyahkan. Pernikahan itu pun bukan semata urusan domestik, tetapi pementasan identitas karismatik seorang guru yang dihormati, dicintai, dan juga ditakuti.
Brotodiningrat dan “Tanah Lungghuh” Sumbertowo
Tidak ada catatan jelas kapan hubungan antara Kiai Kasan Ngalwi dan Raden Brotodiningrat dimulai. Namun pada tahun 1880, ketika Brotodiningrat diangkat menjadi Bupati Ngawi, relasi keduanya telah mencapai titik krusial. Sang bupati menghadiahi Kiai Kasan sebuah wilayah luas tak bertuan di Sumbertowo, Kewedanan Sepreh, untuk ditinggali bersama 110 orang pengikutnya. Lahan ini diberikan dengan skema tradisional tanah lungguh, bukan sebagai hak milik formal, melainkan dalam sistem feodal patronase.
Kiai Kasan dan para pengikutnya bekerja mengolah lahan, dan hasilnya sebagian disetor kepada sang guru. Tak tercatat apakah Bupati Brotodiningrat juga menerima bagian dari hasil bumi ini. Namun hubungan simbiosis keduanya jelas: Kasan Ngalwi mendapat perlindungan politik dan legitimasi, sementara Brotodiningrat mendapatkan dukungan moral dan kharisma keagamaan dari seorang ulama karismatik.
Selama menetap di Sumbertowo, Kiai Kasan menikah sebelas kali. Meskipun beberapa istrinya berasal dari kalangan bangsawan dan keturunan Tionghoa, mayoritas berasal dari Karang Gebang dan Sepreh. Ini mencerminkan bagaimana sang kiai membangun jaringan sosial yang luas dan kompleks, mencakup dimensi etnis, kultural, dan spiritual.
Ketegangan dengan Pemerintahan Kolonial
Residen Madiun, J.J. Donner, melihat potensi ancaman dalam figur Kasan Ngalwi. Ketika Brotodiningrat mengasingkan seorang guru tua yang buta dari Sepreh, Donner mencatat bahwa tindakan itu dilakukan untuk memastikan supremasi Kasan Ngalwi. Kekuasaan religius sang kiai bahkan merambah kalangan masyarakat Tionghoa dan warga kota di Madiun.
Donner tidak tinggal diam. Kepala Desa Karang Gebang sempat ditahan, walau Kiai Kasan tidak bisa disentuh langsung karena berada di bawah perlindungan Brotodiningrat. Namun situasi berubah drastis setelah kejatuhan Brotodiningrat pada tahun 1900. Sang residen akhirnya menangkap Kiai Kasan sebagai bagian dari upaya melucuti sisa-sisa kekuatan mantan bupati. Meski tidak terbukti bersalah, Snouck Hurgronje—penasihat urusan pribumi dan Islam Hindia Belanda—mengusulkan agar sang kiai diasingkan ke Padang, dengan dalih bahwa kekuatan simboliknya terlalu besar untuk dibiarkan.
Pewaris, Ramalan, dan Gerakan Ratu Adil
Meskipun terasing di Padang, bayang-bayang kekuasaan Kasan Ngalwi tak padam. Putrinya yang ikut dalam pengasingan kembali ke Karang Gebang setahun kemudian, menuntut hak atas hasil bumi seperti masa ayahnya. Beberapa petani tetap memberikan hasil panen, walau dilarang pemerintah. Hal ini menunjukkan bahwa kekuasaan sang kiai bersifat lebih dari sekadar administratif: ia adalah pemimpin spiritual yang legitimasi dan pengaruhnya hidup dalam ingatan kolektif masyarakat.
Saudaranya, Kiai Imam Boentoro, mengambil alih peran spiritual keluarga di Karang Gebang. Sekitar tahun 1908, ia mengajarkan tafsir apokaliptik bahwa tahun 1912—tahun Alip dalam kalender Jawa—akan membawa bencana besar, dan bahwa hanya mereka yang hidup dalam ajaran Islam sejati yang akan selamat. Ia menyebarkan kabar bahwa akan ada pemerintahan sementara oleh seorang putri Tionghoa, dan dirinya akan menjadi Sultan Ponorogo, sementara saudaranya, Kasan Ngalwi, akan kembali sebagai sultan spiritual.
Gerakan ini bersifat mesianistik dan mengandung unsur Ratu Adil—mitologi Jawa tentang pemimpin pembebas yang akan datang menegakkan keadilan. Imam Boentoro bahkan mulai membagikan jimat dan gelar untuk pemerintahan masa depan. Pemerintah, cemas akan potensi pemberontakan, segera menangkapnya dan mengasingkannya ke Sumatra. Dengan itu, gerakan spiritual-politik keluarga Kasan Ngalwi memasuki babak akhir.
Historiografi: Ulama dalam Politik Lokal dan Kekuasaan Simbolik
Kisah Kiai Kasan Ngalwi menyajikan gambaran kompleks tentang relasi antara kekuasaan religius dan politik lokal di bawah bayang-bayang kekuasaan kolonial. Ia bukan hanya sosok pribadi, melainkan institusi sosial yang menggabungkan otoritas agama, pengaruh ekonomi, dan kekuasaan simbolik. Pemberian tanah oleh bupati kepadanya adalah bentuk klasik patronase feodal yang menunjukkan bahwa ulama dalam masyarakat Jawa akhir abad ke-19 adalah pilar kekuasaan lokal.
Bagi pemerintahan kolonial, seperti diwakili Donner dan Snouck Hurgronje, figur semacam ini adalah ancaman terhadap monopoli kekuasaan negara. Kolonialisme memerlukan institusionalisasi agama, bukan karisma personal. Oleh karena itu, meskipun tanpa dakwaan hukum, ulama seperti Kasan Ngalwi dianggap perlu disingkirkan secara simbolik lewat pengasingan.
Namun sejarah menunjukkan bahwa pengaruh spiritual tak mudah dipadamkan. Keluarganya tetap dihormati, gerakannya hidup dalam memori rakyat, dan narasi Ratu Adil terus menggema dalam perlawanan sosial hingga dekade-dekade selanjutnya.
Meski wafat di pengasingan dan tak pernah kembali ke tanah Jawa, Kiai Kasan Ngalwi tetap hidup dalam ingatan sejarah sebagai guru, ulama, dan pemimpin spiritual rakyat. Ia adalah lambang kekuatan simbolik yang tidak tunduk pada administrasi kolonial, dan yang membentuk karakter seorang bupati seperti Brotodiningrat. Warisan spiritual dan sosialnya mengajarkan bahwa kekuasaan bukan hanya terletak pada struktur formal, tetapi juga dalam kharisma, kepercayaan, dan jaringan simbolik yang hidup di tengah rakyat.
Dalam konteks historiografi Indonesia, sosok seperti Kasan Ngalwi menuntut pendekatan sejarah yang melampaui data formal, menuju pemahaman atas kekuasaan spiritual dalam konfigurasi lokal. Ia adalah satu dari sekian banyak “raja tanpa mahkota” di Nusantara—seorang wali lokal yang kuasanya hidup dalam batin masyarakat, bahkan setelah tubuhnya dipenjara ribuan kilometer dari tanah kelahiran.
Kiai Kasan Ngalwi: Sumbu Spiritualitas dan Simpul Perlawanan Pribumi dalam Kasus Brotodiningrat
Raden Mas Adipati Brotodiningrat lahir pada tahun 1849 dari keluarga bangsawan Sumoroto, hasil pernikahan politik antara Raden Tumenggung Brotodirjo—bupati Sumoroto—dan putri Pangeran Sinduseno, cucu Sunan Paku Buwana V. Sejak kecil, Brotodiningrat telah mewarisi dua garis darah agung: priyayi daerah dan trah keraton Surakarta. Namun, takdirnya tidak semata ditentukan oleh warisan darah, melainkan oleh kemampuan beradaptasi dengan dunia baru: birokrasi kolonial.
Ketika sang ayah wafat pada 1855, Brotodiningrat masih kanak-kanak. Ia dibawa ke Keraton Surakarta, tempat ia menempuh pendidikan dan formasi etika kebangsawanan, sekaligus dididik dalam sistem kolonial melalui sekolah Belanda dan Sekolah Pejabat Pribumi. Di sinilah ia belajar menyeimbangkan dua dunia: tradisi Jawa dan rasionalitas administratif Eropa.
Baca Juga : Mas Dhito Terima Kunjungan Kaesang Pangarep, Ini yang Dibahas
Karier administratifnya dimulai sejak usia 17 tahun, saat ia menjabat sebagai magang mantri negeri di Madiun. Dalam tempo cepat, ia naik menjadi Wedana Magetan, lalu Bupati Sumoroto pada usia 19 tahun. Namun, pembubaran Kabupaten Sumoroto oleh pemerintah kolonial pada 1877 menandai awal transisi dari kekuasaan lokal berbasis kekerabatan menuju birokrasi mobilitas. Ia dipindah ke Ngawi, lalu ke Madiun pada 1885, menandai dirinya sebagai bupati karier sejati.
Di Madiun, Brotodiningrat mendapat dukungan Residen Mullemeister, yang mempromosikannya dengan gelar Adipati dan simbol kehormatan payung emas. Namun kariernya tak lepas dari konflik, seperti perseteruannya dengan Residen Donnerls. Ini menunjukkan ambiguitas posisi elite bumiputra: seorang pejabat kolonial yang tetap membawa warisan otonomi Jawa.
Dalam wacana sejarah kolonial Hindia Belanda, sering kali perhatian kita tertuju pada konflik administratif dan politis antara pejabat bumiputra dan residen kolonial. Namun, satu dimensi yang kerap luput dari telaah adalah keberadaan jaringan non-formal, khususnya tokoh spiritual dan ulama lokal, yang memiliki pengaruh sangat besar dalam membentuk sikap dan keputusan elite pribumi. Salah satu tokoh sentral dalam konteks ini adalah Kiai Kasan Ngalwi, guru ruhani dari Raden Mas Adipati Brotodiningrat, Bupati Madiun (1897–1902) yang tersingkir akibat intrik kekuasaan kolonial. Mengapa penting membahas tokoh seperti Kiai Kasan Ngalwi? Karena ia menjadi simpul yang menyatukan dimensi spiritual, politik, dan budaya dalam pusaran konflik struktural antara penjajahan dan perlawanan.
Menjelang akhir abad ke-19, wilayah Karesidenan Madiun menjadi ladang perebutan pengaruh antara elite lokal dan struktur kolonial. Bupati Brotodiningrat dikenal sebagai sosok yang matang dalam pengalaman birokrasi, memiliki jejaring kuat di kalangan bangsawan, termasuk hubungan keluarga dengan Paku Alam VI. Ia memimpin dengan percaya diri, mengerti medan sosial-budaya Jawa, dan piawai menyeimbangkan kepentingan rakyat, elite lokal, dan kekuasaan kolonial.
Namun, kehadiran Residen J.J. Donner pada 1897 membawa pendekatan kekuasaan yang jauh lebih represif. Donner memaksakan subordinasi total terhadap pejabat bumiputra. Ketegangan meningkat ketika ia menuding Brotodiningrat sebagai penghambat kelancaran pemerintahan kolonial, puncaknya melalui tuduhan bahwa bupati itu menjadi pelindung jejaring kriminal di Madiun.
Dalam upaya menjatuhkan Brotodiningrat, Donner tidak hanya menyasar struktur administratif, melainkan juga figur-figur religius dan kultural yang menjadi penyangga moral sang bupati. Di sinilah nama Kiai Kasan Ngalwi mencuat sebagai elemen penting dalam skenario kolonial untuk memutuskan akar kekuasaan spiritual pribumi.
Kiai Kasan Ngalwi bukan sekadar seorang ulama. Ia adalah tokoh karismatik, pemimpin tarekat, dan pendidik spiritual yang menjadi sumber kekuatan ruhani Bupati Brotodiningrat. Keberadaan tokoh seperti beliau mengingatkan kita pada tradisi panjang Jawa: di mana para bangsawan dan pejabat tidak hanya bergantung pada struktur administratif, tetapi juga mendapat legitimasi dari para guru ruhani. Kedekatan Brotodiningrat dengan Kiai Kasan Ngalwi tidak hanya dalam konteks religius, melainkan juga sebagai bentuk resistensi budaya terhadap modernisme kolonial.
Dalam pandangan Belanda, tokoh-tokoh semacam Kiai Kasan Ngalwi dianggap subversif. Mereka melihat bahwa pengaruh kiai dapat menggerakkan massa, menyulut loyalitas alternatif terhadap kekuasaan kolonial, dan bahkan menampakkan potensi militan jika dijadikan simbol perlawanan. Oleh sebab itu, ketika Donner mulai menyusun langkah untuk menyingkirkan Brotodiningrat, ia juga menargetkan lingkungan spiritual sang bupati.
Pasca pencurian di kediaman Residen Donner—yang meski tampak sepele namun berfungsi sebagai titik balik politis—Donner melancarkan tuduhan sistematis. Ia menuding bahwa Brotodiningrat berada di balik maraknya kejahatan di Madiun, termasuk pengaruh terhadap jaringan perampok dan penyelundup opium. Tetapi tuduhan itu tak berdiri sendiri. Donner menuduh pula bahwa guru spiritual sang bupati, yakni Kiai Kasan Ngalwi, adalah penghasut utama di balik ketidakstabilan tersebut.
Dalam laporan resmi ke Batavia, Donner memasukkan nama Kasan Ngalwi dalam daftar 22 orang yang harus diasingkan dari Jawa. Menurutnya, jaringan spiritual seperti milik Kasan Ngalwi berfungsi sebagai “resistensi kultural” yang memupuk kesetiaan masyarakat kepada pemimpin lokal dan bukan kepada pemerintah kolonial. Penangkapan dan pengasingan para kiai ini menjadi simbol kolonialisme dalam memutus nadi kekuatan lokal.
Menariknya, kebijakan Donner tidak serta-merta diterima di Batavia. Salah satu tokoh kunci dalam menentukan nasib para tertuduh adalah Christiaan Snouck Hurgronje, orientalis sekaligus penasihat pemerintah Hindia Belanda dalam urusan pribumi. Setelah melakukan telaah, Snouck menolak argumentasi Donner. Ia menyatakan bahwa tidak ada bukti kuat yang menunjukkan keterlibatan Brotodiningrat maupun Kasan Ngalwi dalam tindakan kriminal.
Snouck, meski berpandangan anti-Islam militan, memahami bahwa memenjarakan tokoh agama tanpa dasar yang kuat justru akan menjadi bumerang. Ia merekomendasikan agar Donner diberhentikan, karena tindakannya dianggap kontraproduktif bagi stabilitas kolonial. Akhirnya, Donner diberi cuti sakit dan dikembalikan ke Belanda—suatu bentuk “pemecatan halus” yang jarang terjadi dalam sejarah kolonial.
Kiai Kasan Ngalwi menempati posisi unik dalam historiografi kolonial Jawa. Ia bukan pejuang bersenjata, bukan pula tokoh politik formal. Namun pengaruhnya membentang dalam dimensi yang tak terukur oleh birokrasi: kesadaran spiritual, kekuatan moral, dan jejaring kepercayaan. Dalam konteks perlawanan halus (resistensi kultural) terhadap hegemoni kolonial, peran Kasan Ngalwi jauh lebih signifikan dibanding yang selama ini dicatat dalam buku-buku sejarah resmi.
Dengan memusatkan perhatian pada tokoh seperti Kasan Ngalwi, kita dapat melihat lapisan-lapisan dalam tubuh masyarakat Jawa yang tak sepenuhnya dikendalikan oleh kolonialisme. Ia menjadi cermin dari kekuatan kultural yang beroperasi di balik layar, dan menunjukkan bahwa kekuasaan tidak hanya dipegang oleh yang bersenjata atau berwenang administratif, tetapi juga oleh mereka yang menguasai hati dan kesetiaan masyarakat.
Mengangkat sosok Kiai Kasan Ngalwi bukan sekadar usaha menggali tokoh lokal yang terlupakan, tetapi juga bagian dari agenda besar dekolonisasi historiografi. Kita diajak untuk melihat bahwa kekuasaan kolonial tidak selalu absolut, dan bahwa tokoh-tokoh spiritual memiliki peran penting dalam membentuk dinamika sosial-politik di masa lalu.
Prahara antara Brotodiningrat dan Residen Donner menjadi lebih terang maknanya ketika dilihat melalui lensa kultural dan spiritual. Bahwa di balik perebutan jabatan dan kekuasaan administratif, ada pertarungan lebih dalam: antara dunia nilai pribumi yang diwakili oleh tokoh seperti Kasan Ngalwi dan logika rasionalistik kolonial yang diusung oleh pejabat semacam Donner.
Membicarakan Kiai Kasan Ngalwi adalah membicarakan ruh perlawanan itu sendiri—halus, diam, tetapi mengakar dalam kesadaran sejarah bangsa ini.