JATIMTIMES - Pertengahan abad ke-17 merupakan masa genting dalam sejarah Kesultanan Mataram. Di tengah konflik internal dan eksternal, muncul sosok ambisius bernama Raden Mas Rahmat, putra mahkota Sultan Amangkurat I.
Tokoh yang kelak akan dikenal sebagai Sunan Amangkurat II ini mencatat sejarahnya sendiri melalui jalur diplomasi alternatif: membina hubungan langsung dengan Batavia, pusat kekuasaan Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) di Hindia Belanda. Antara tahun 1667 hingga 1675, ia mengirim sembilan perutusan ke Batavia—suatu upaya yang penuh risiko, intrik, dan kalkulasi politik yang rumit.
Baca Juga : Ribuan Laporan Masuk, Polresta Magetan Buka 9 Posko Pengaduan Warga Terdampak Kasus Koperasi MSI
Artikel ini berupaya menguraikan dinamika historiografis dari inisiatif diplomatik Raden Mas Rahmat. Ditinjau dari sumber primer utama seperti Daghregister van het Kasteel Batavia dan laporan surat-surat VOC, kita melihat satu lembar sejarah Mataram yang tidak sekadar berkutat pada pemberontakan dan perebutan kekuasaan, tetapi juga pada perjuangan putra mahkota dalam memosisikan diri di tengah konflik keluarga dan ketegangan antar elite.
Tahun 1667: Diplomasi Awal yang Gagal
Usaha pertama Raden Mas Rahmat untuk membangun hubungan dengan VOC berlangsung pada tahun 1667. Ia mengirim sebuah surat tanpa tanda tangan resmi, disertai hadiah sederhana: lima pon gula, minyak, telur angsa, dan seekor burung merak. Surat tersebut dikirimkan secara hati-hati, tanpa pengesahan resmi dari istana Mataram, mencerminkan ketakutannya kepada Sunan Amangkurat I yang terkenal otoriter dan anti-Belanda. Kompeni, melalui Syahbandar Jan Wesenhagen, menanggapi surat itu dengan dingin. Tidak ada hadiah balasan, tidak ada sambutan resmi—hanya tanggapan administratif yang membekukan niat diplomasi awal itu (Daghregister, 9 Mei 1667).
Kegagalan ini tidak membuat pangeran jera. Justru sebaliknya, ia menyusun strategi diplomatik jangka panjang dengan menjadikan hadiah, jaringan utusan, dan kejelian memilih waktu sebagai alat negosiasi dengan kekuatan asing.
Sembilan Perutusan: Strategi yang Konsisten
Dari tahun 1667 hingga 1675, sembilan perutusan dikirim oleh Raden Mas Rahmat ke Batavia. Para utusan yang dikirim berasal dari kalangan priyayi bawah dan lurah istana, seperti Lurah Sendi, Lurah Suta, Natapraja, dan Martajiwa. Beberapa nama bahkan muncul berulang, menunjukkan kesinambungan dan kepercayaan dalam jaringan loyalisnya. Lurah Sendi, misalnya, kelak diangkat menjadi kepala daerah Surabaya dengan nama Tumenggung Urawan—sebuah indikator bahwa para pelaksana misi diplomatik ini bukanlah aktor sembarangan, melainkan bagian dari strategi kekuasaan yang sedang disiapkan pangeran (Daghregister, 20 Oktober 1677).
Hadiah yang dibawa para utusan sangat bervariasi. Dari barang eksotis seperti tombak bermata tiga berlapis perak, busur Jepang, ayam Belanda, hingga hasil bumi seperti udang kering dan beras dari Surabaya. Pada perutusan ketujuh, sang pangeran bahkan mengirimkan 4.000 ringgit—jumlah uang yang sangat besar untuk ukuran saat itu—sebagai bagian dari diplomasi hadiah.
Namun, yang paling mencolok dari seluruh perutusan ini adalah permintaan berulang-ulang akan kuda Persia. Dalam pandangan budaya Jawa abad ke-17, kuda bukan sekadar kendaraan, melainkan lambang prestise, kekuasaan, dan legitimasi raja. Dalam salah satu suratnya, pangeran meminta agar kuda yang dikirim tidak diketahui oleh utusan saudaranya, Pangeran Aria Tiron (kelak Pangeran Singasari), yang sedang menuju Batavia melalui jalur darat. Konflik saudara ini memperlihatkan betapa ketatnya persaingan internal keluarga kerajaan dalam merebut legitimasi.
Kuda Persia dan Simbol Kekuasaan
Perhatian besar pangeran terhadap kuda Persia mencapai puncaknya pada tahun 1670. Ia memesan dua hingga tiga ekor kuda untuk dimuat secara rahasia ke kapal agar tidak diketahui para abdi saudaranya (Daghregister, 17 September 1670). Ia bahkan membeli seekor kuda dengan harga 350 rial, dan sebagai tambahan, VOC menghadiahkan kotak emas, pakaian, dan anggur (Daghregister, 20 November 1670).
Kuda yang ia terima sangat memuaskan. Dalam laporan dari Jepara tertanggal 20 Agustus 1671 (KA No. 1173), disebutkan bahwa “tidak akan ada lagi kuda yang lebih baik di istana.” Bahkan masyarakat Jawa menganggap kuda tersebut cerdas. Namun, pada tahun berikutnya, kedua kuda Persia yang dikirimkan mati (Daghregister, 15 April 1672), dan sang pangeran kembali meminta pengiriman baru. Permintaan ini menandakan bahwa kepemilikan kuda bukan semata kehendak pribadi, melainkan bagian dari simbol politik yang memperkuat posisi pewaris takhta di tengah ketidakpastian istana.
Permintaan Teknologi: Ambisi Modernisasi Istana?
Selain kuda, Raden Mas Rahmat juga meminta hal-hal yang tergolong langka bagi konteks Jawa kala itu: teknik membuat kereta, meracik mesiu, teknik menggergaji, bahkan cara memotong dan memberi lapisan email pada cincin berlian. Permintaan ini tercatat dalam perutusan ke-4 dan ke-5. Hal ini menunjukkan bahwa pangeran memiliki hasrat untuk melakukan modernisasi militer dan teknologi, mungkin sebagai persiapan untuk menghadapi masa transisi kekuasaan.
Dalam catatan VOC, terlihat bahwa permintaan ini bukan hanya bentuk keingintahuan semata, tetapi bagian dari kalkulasi strategis. Sang putra mahkota memahami bahwa kekuasaan di era baru menuntut lebih dari sekadar karisma spiritual: ia memerlukan teknologi, koneksi internasional, dan sumber daya luar negeri untuk memperkuat posisinya sebagai calon pengganti Sultan Amangkurat I.
Intrik, Saudara, dan VOC: Permainan Tiga Arah
Diplomasi Raden Mas Rahmat tidak berlangsung di ruang hampa. Pada tahun 1670, Pangeran Aria Tiron—saudaranya—juga melakukan perutusan ke Batavia. Kedua pangeran ini diketahui saling membenci. Dalam laporan VOC, perbedaan karakter, jaringan patronase, dan ambisi pribadi menjadi faktor utama persaingan ini. Dalam laporan VOC dari Jepara, disebutkan bahwa pengiriman kuda dari Batavia ke Pangeran Rahmat harus dilakukan secara rahasia agar tidak diketahui oleh pengikut Aria Tiron. Ini menandakan betapa tegangnya rivalitas dalam keluarga istana.
Lebih jauh, sang pangeran juga mencoba menjalin hubungan dengan Banten, sebagaimana tercatat dalam Daghregister 30 April 1670, 14 dan 15 November 1672. Namun, hubungan ini tampaknya tidak memberikan hasil berarti. Dari laporan Residen VOC di Banten, perutusan Mataram disebut hanya bertujuan "memelihara persahabatan". Tidak ada keuntungan strategis yang dicapai.
Jalan Menuju Kudeta dan Aliansi Rahasia
Dalam perspektif historiografis, upaya Raden Mas Rahmat membangun hubungan dengan Batavia merupakan bagian dari strategi jangka panjang untuk memperoleh legitimasi luar negeri, kekuatan material, serta dukungan militer dalam menghadapi kemungkinan krisis suksesi. VOC, yang menyadari bahwa ia kelak akan menjadi pengganti Amangkurat I, mulai membuka kanal komunikasi yang lebih simpatik. Hubungan ini kelak akan berbuah pada masa pemberontakan Trunajaya, ketika Raden Mas Rahmat meminta bantuan VOC untuk merebut kembali takhta Mataram dari tangan para pemberontak dan rival dalam keluarganya sendiri.
Diplomasi sembilan kali perutusan antara 1667 hingga 1675 merupakan pendahulu bagi perubahan besar dalam hubungan antara kerajaan Jawa dan kekuatan kolonial. Melalui strategi hadiah, teknologi, dan simbol prestise seperti kuda Persia, Raden Mas Rahmat membentuk jaringan diplomatik yang akan menentukan masa depan Mataram. Aliansi ini akhirnya melahirkan konsekuensi besar: jatuhnya Mataram dalam pengaruh politik dan militer Belanda secara permanen, dimulai dari takhta Amangkurat II.
Dengan demikian, sejarah diplomatik ini bukanlah catatan pernak-pernik hadiah eksotis semata, melainkan cermin dari kecerdikan politik, dinamika kekuasaan, dan awal dari perubahan mendasar dalam sejarah Jawa.
Raden Mas Rahmat dan Warisan Berdarah Surabaya: Intrik, Pembalasan, dan Krisis Legitimasi di Ujung Dinasti Amangkurat
Di jantung istana Mataram, ketika kekuasaan bercampur dengan darah dan dendam, lahirlah seorang pangeran yang akan menandai akhir dari sebuah zaman. Raden Mas Rahmat, putra mahkota dari Susuhunan Amangkurat I, bukan hanya anak dari seorang raja Jawa, tetapi juga pewaris dari dua garis darah yang sarat legitimasi politik dan spiritual: Mataram dan Surabaya.
Ibunya, Kanjeng Ratu Pangayun, adalah putri dari Pangeran Pekik, Adipati Surabaya terakhir yang juga seorang ulama terpandang, keturunan langsung dari Sunan Ampel. Lewat pernikahan politik bergaya abad pertengahan, Mataram—kerajaan agraris pusat—merangkul kekuatan Islam pesisir dengan menjadikan Surabaya sebagai bagian dari jaringan kekuasaannya. Dengan demikian, kelahiran Raden Mas Rahmat tahun 1649 bukan sekadar peristiwa keluarga istana, melainkan simbol rekonsiliasi dua kutub politik dan spiritual tanah Jawa: trah dinasti Sultan Agung dengan warisan Walisongo.
Baca Juga : Verifikasi Selesai, 12 Gubes Balon Rektor UIN Maliki Malang Lolos Syarat Administratif
Namun, rahmat itu datang dengan kutukan. Ratu Pangayun wafat hanya 40 hari setelah melahirkan. Seorang bayi raja besar tumbuh tanpa ibunya di istana yang penuh intrik, dengki, dan mata-mata. Rahmat kecil diasuh oleh para dayang dan abdi dalem, tetapi tak memiliki perlindungan moral seorang ibu. Kekosongan inilah yang kelak menjadi pemantik dendam laten terhadap ayahnya sendiri—seorang raja yang dalam babad dilukiskan sebagai paranoid, kejam, dan mencurigai siapa pun, bahkan keluarganya sendiri.
Nama yang disandangnya—Rahmat—menggemakan tokoh besar: Sunan Ampel atau Raden Rahmat, ulama pendiri pesantren Ampel Denta dan peletak dasar jaringan dakwah Islam Jawa Timur abad ke-15. Dalam dirinya mengalir darah Sunan Ampel, Sunan Giri, dan Raja Surabaya terakhir. Maka, ketika namanya disebut-sebut dalam berbagai sumber babad sebagai calon penerus takhta, bukan hanya keturunan raja yang diperhitungkan, tetapi juga afiliasi spiritualnya. Ia bukan sekadar pangeran, melainkan pewaris wahyu keprabon yang disucikan.
Kakeknya, Pangeran Pekik—nama kecilnya Raden Muhammad Nur—adalah figur sentral dalam penyatuan politik Jawa abad ke-17. Sebagai menantu Sultan Agung dan mertua Amangkurat I, ia memainkan peran ganda: penasihat, diplomat, panglima perang, sekaligus penghubung antara tradisi egaliter pesisir dan tatanan feodal Mataram. Ketika Panembahan Kawis Guwa di Giri Kedaton menolak tunduk pada Mataram, hanya Pangeran Pekik yang dinilai cukup legitim untuk memimpin penaklukan atas pusat spiritual itu tahun 1636. Kemenangan tersebut tidak hanya bersifat politis, tetapi menandai subordinasi kekuatan Islam pesisir oleh kekuasaan monarki absolut dari pedalaman.
Namun, bayang-bayang besar ini menjadi beban bagi Amangkurat I. Selepas wafatnya Sultan Agung tahun 1645, perubahan drastis terjadi. Amangkurat I melakukan pembersihan terhadap seluruh elemen yang dianggap loyal kepada rezim lama. Ulama, bangsawan pesisir, bahkan keluarga sendiri tak luput. Ia membatasi peran ulama, menghancurkan pesantren, dan membangun kekuasaan absolut yang tak mengenal perimbangan. Pangeran Pekik menjadi sasaran utamanya.
Salah satu pemicu kehancuran hubungan istana dengan Pangeran Pekik adalah skandal Rara Oyi tahun 1663, seorang selir istana yang diduga terkait dengan konspirasi melibatkan para bangsawan Surabaya. Skandal ini mempermalukan kehormatan Amangkurat I dan menyalakan bara lama yang belum padam. Sekitar tahun 1670, secara diam-diam, Amangkurat I memerintahkan eksekusi atas mertuanya sendiri. Pangeran Pekik, tokoh ulama, kakek Raden Mas Rahmat, dan pemersatu dua trah kekuasaan besar, dibunuh tanpa pengadilan. Ia dimakamkan di Banyusumurup, desa kecil selatan Imogiri, yang secara simbolis menjadi tempat kubur bagi mereka yang jatuh sebagai korban politik Mataram.
Peristiwa itu bukan sekadar penghilangan tokoh tua. Itu adalah pembunuhan terhadap fondasi legitimasi politik dan spiritual Raden Mas Rahmat. Dalam satu pukulan, Amangkurat I menghancurkan garis leluhur yang memberi putranya keabsahan takhta. Dan dari sinilah benih dendam perlahan tumbuh dalam diri sang pangeran.
Tahun 1677 menjadi titik balik kekuasaan Amangkurat I. Pemberontakan Trunajaya dan bantuan militer Karaeng Galesong dari Makassar menghancurkan ibukota Plered. Dalam kekacauan itu, Amangkurat I melarikan diri bersama Raden Mas Rahmat ke barat, meninggalkan pusat kerajaannya yang luluh lantak. Pelarian itu, sebagaimana ditulis dalam Babad Tanah Jawi dan diperkuat dalam laporan VOC, berlangsung dalam kesengsaraan dan kehinaan. Rakyat enggan memberi bantuan kepada raja yang dikenal sewenang-wenang dan berdarah dingin. Di sepanjang perjalanan menuju Tegal, mereka disambut dengan tatapan dingin dan doa kutukan.
Sumber Belanda seperti Rijcklof van Goens dan laporan harian VOC menyebut bahwa Amangkurat I jatuh sakit parah. Ia menderita muntah darah, sebuah gejala medis yang dapat ditafsirkan sebagai infeksi tropis, gastritis akut, atau racun. Tetapi dalam narasi babad, muncul spekulasi bahwa sang putra—Raden Mas Rahmat—telah "membantu" mempercepat ajal ayahnya. Kisah mimpi sang raja melihat naga putih keluar dari tubuhnya dibaca sebagai simbolisasi berpindahnya wahyu keprabon dari raja tua ke penerusnya. Dalam budaya Jawa, mimpi naga adalah alegori turunnya mandat ilahi.
Wafatnya Amangkurat I di Tegal pada 2 Juli 1677 menjadi penutup bagi satu fase sejarah Mataram. Namun bagi Raden Mas Rahmat, itu adalah awal dari babak yang lebih getir. Ia kini raja tanpa istana, pemilik takhta tanpa mahkota, dan pewaris sah yang harus berunding dengan Batavia demi mendapat pengakuan. Dalam waktu dekat, ia akan mengubah namanya menjadi Amangkurat II, tetapi luka sejarah dalam tubuh kekuasaan Mataram tak pernah benar-benar sembuh. Ia memimpin kerajaan yang tercerai-berai, dengan bayang-bayang Surabaya, darah Sunan Ampel, dan kenangan pahit atas ayahnya sendiri yang mencoreng seluruh kehormatan istana.
Mimpi, Dendam, dan Wasiat Terakhir: Menjelang Ajal Sang Raja
Dalam malam-malam panjang di desa Tegalarum, tubuh Sunan Amangkurat I semakin diselimuti peluh kematian. Penyakit disentri yang menggerogoti ususnya tak kunjung reda. Dalam beberapa catatan yang diduga bersumber dari laporan residen atau pejabat VOC yang mengamati dari kejauhan, sang raja mengalami diare parah, dehidrasi, dan halusinasi. Sementara itu, kalangan dalam kraton menyebutnya sebagai “kawisikan para leluhur” yang menagih harga atas tirani panjangnya.
Dalam Babad Tanah Jawi, digambarkan bagaimana sang raja berulang kali didatangi mimpi-mimpi buruk. Ia melihat arwah Pangeran Pekik, mertuanya yang ia bunuh sendiri, datang dengan kepala terpenggal. Ia melihat wajah-wajah para tumenggung dan pangeran yang ia basmi, termasuk para ulama pengikut Trunajaya yang dibunuh di alun-alun kraton Mataram. Ketika malam jatuh, ia mengigau menyebut nama Raden Mas Rahmat, putra yang dibencinya namun diam-diam ia khawatirkan sebagai pewaris takhta yang sah dan berbahaya.
Dari sisi historiografi kolonial, laporan harian VOC mencatat bahwa menjelang ajalnya, Amangkurat I dikabarkan memanggil orang-orang kepercayaannya: Tumenggung Nataairnawa dan Patih Wira (kemungkinan nama lokal yang diubah dalam arsip Belanda). Kepada mereka, raja menyampaikan tiga hal penting: penyesalannya atas kekejaman masa lalu, harapannya agar Raden Mas Rahmat mau memerintah dengan bijak, serta permintaan terakhir agar jenazahnya dimakamkan secara layak di Imogiri, sesuai dengan wasiat para leluhur Mataram.
Namun, dalam versi Babad dan cerita rakyat di sekitar wilayah Banyumas, wasiat itu dianggap sia-sia. Sebab tak lama setelah mengembuskan napas terakhir, jasad Amangkurat I tak dibawa ke Imogiri, melainkan dimakamkan secara darurat di Desa Tegalarum. Ada dua versi mengapa ini terjadi. Pertama, versi Belanda menyebut bahwa kondisi keamanan belum memungkinkan: pasukan Trunajaya dan laskar Madura masih merajalela di sebagian wilayah timur. Kedua, versi lokal menyebut bahwa arwah para leluhur Mataram menolak kehadiran sang raja di Imogiri karena dosa-dosa yang terlampau besar.
Wafatnya Amangkurat I menciptakan kekosongan kekuasaan. Dalam kondisi pasukan lelah, pengaruh Mataram menyusut, dan legitimasi kerajaan berada di titik nadir, Raden Mas Rahmat mendapati dirinya di persimpangan sejarah. Ia bisa memilih melanjutkan pelarian bersama sisa-sisa laskar loyalis ayahnya ke arah barat, atau menyatakan diri sebagai raja dan meneruskan dinasti Mataram dalam format baru. Pilihan itu akhirnya dijawab dengan keputusan monumental: ia menyatakan diri sebagai raja di pengasingan, memakai gelar Amangkurat II, tepat sehari setelah kematian ayahnya.
Dalam catatan VOC yang diterbitkan oleh Rijcklof van Goens, langkah Raden Mas Rahmat dianggap cerdik namun gegabah. Ia belum memiliki basis kekuasaan, tak punya keraton, dan hanya bergantung pada sebagian kecil pasukan Mataram yang setia. Namun, ia memiliki dua keunggulan strategis: hubungan diplomatik dengan Belanda yang ia jalin secara diam-diam sejak sebelum keruntuhan Plered, serta aura “pangeran sah” yang didorong oleh wibawa budaya Jawa.
Sementara itu, laskar Trunajaya masih bercokol di Kediri. Mereka baru akan benar-benar tergeser dua tahun kemudian (1679) setelah VOC ikut campur tangan militer secara masif. Dalam masa-masa krusial itu, Amangkurat II membangun aliansi strategis: dengan Belanda melalui perjanjian Jepara (1677), dan dengan kelompok bangsawan pesisir yang kecewa terhadap keturunan raja sebelumnya. Inilah awal mula pemindahan pusat kekuasaan ke Kartasura kelak.
Kematian Sunan Amangkurat I bukan akhir dari era kekerasan Mataram, melainkan awal dari babak baru yang lebih pragmatis. Transisi kekuasaan sering diwarnai oleh kegamangan identitas dan kekerasan simbolik. Raden Mas Rahmat, meski tampil sebagai raja baru, tetap membawa beban sejarah sang ayah. Banyak musuh politiknya—baik dari kalangan bangsawan lama, bekas pengikut Trunajaya, maupun pejabat Belanda—memandangnya sebagai penerus tirani, bukan reformis.
Dalam Babad, ada cerita bahwa Amangkurat II sempat berziarah ke makam ayahnya di Tegalarum beberapa tahun kemudian. Ia membawa sesajen lengkap, menangis di depan nisan batu sederhana, dan berdoa dalam bahasa halus yang penuh pengampunan. Namun, cerita itu ditutup dengan ironi: malam setelah ziarah itu, ia bermimpi didatangi ayahnya yang berkata, “Rama wis tilar donya, nanging getih isih ana ing tanganira.” (Ayah telah pergi dari dunia, namun darah masih menempel di tanganmu.)
Narasi ini menggambarkan betapa pergantian takhta di Mataram tidak hanya soal politik, tapi juga ritual, dendam, dan memori kolektif yang tak selesai. Raden Mas Rahmat, dalam segala kecerdikannya, tetap hidup dalam bayang-bayang kutukan kekuasaan yang ditinggalkan ayahnya—raja terbesar sekaligus paling dibenci dalam sejarah Mataram.
Kisah Raden Mas Rahmat bukan hanya tentang seorang putra mahkota yang menjadi raja. Ia adalah narasi berdarah tentang bagaimana legitimasi spiritual dan politik bisa dibangun, dihancurkan, dan dibalas dalam satu generasi. Dengan dibunuhnya Pangeran Pekik, sejarah mencatat kehancuran konsensus kekuasaan Jawa abad ke-17. Dengan pelarian ke Tegal, sejarah menuliskan babak baru Mataram—bukan lagi sebagai kekaisaran absolut, tetapi sebagai kerajaan yang harus berdiplomasi, berkompromi, dan terus-menerus menegosiasikan eksistensinya dengan dunia di luar tembok istana.