JATIMTIMES - Soal temuan limbah medis di tempat penampungan akhir (TPA) Supiturang masih berbuntut panjang. Dalam hal ini dewan perwakilan rakyat daerah (DPRD) Kota Malang mengaku cukup geram lantaran Pemerintah Kota (Pemkot) Malang seakan tak melakukan langkah serius dalam menyikapi hal itu.
DPRD Kota Malang pun mewanti-wanti agar masalah temuan limbah medis itu tidak dianggap remeh. Pasalnya, Kota Malang sudah jelas tidak termasuk sebagai daerah yang memiliki lembaga legal yang dapat mengolah limbah medis dan tergolong bahan berbahaya dan beracun (B3).
Baca Juga : Khasiat Daun Sirsak vs Daun Kelor untuk Tumor, Mana yang Lebih Ampuh?
"Kota Malang ini tidak terdapat lembaga yang secara legal sebagai pengolah limbah medis. Itu artinya, temuan limbah medis seharusnya tidak menjadi masalah yang dianggap remeh. Karena memang secara regulasi tidak boleh sembarangan," ujar Wakil Ketua Komisi C DPRD Kota Malang, Dito Arief Nurakhmadi.
Saat ini, pihaknya tengah bergerilya untuk menelusuri asal-muasal limbah medis yang ditemukan di TPA Supiturang. Hal tersebut dilakukan dengan mengambil sampling secara acak melalui inspeksi mendadak (sidak) di sejumlah rumah sakit atau klinik penyedia layanan kesehatan.
Apalagi dari catatannya, laporan temuan limbah dibuang sembarang tempat bukan kali pertama ia terima. Pada tahun 2024 lalu, dalam satu bulan juga terdapat temuan limbah medis berserakan sebanyak dua kali.
"Itu kalau tidak salah dua-duanya ada di wilayah Sukun. Hanya selang beberapa pekan. Nah ini kan berarti ancaman itu ada. Tidak bermaksud berlebihan, tapi seharusnya ada pengawasan yang ketat," tutur Dito.
Dirinya pun meminta agar perangkat daerah terkait dapat memastikan bahwa seluruh fasilitas penyedia layanan kesehatan di Kota Malang telah mengantongi dokumen lingkungan yang sesuai dengan peraturan dan perundang-undangan. Apalagi, jumlah penyedia layanan kesehatan juga terus bertambah seiring meningkatnya kebutuhan.
"Bukan hanya Dinas Lingkungan Hidup saja. Dinas Kesehatan juga harus ada peran yang pro aktif, bukan hanya soal memastikan layanan kesehatan berjalan optimal. Kan bisa gayung bersambut lintas perangkat daerah," tegas Dito.
Saat ini, setidaknya ada lebih dari 25 rumah sakit yang beroperasi di Kota Malang, baik yang dijalankan oleh pemerintah maupun pihak swasta. Jumlah tersebut masih belum termasuk puskesmas dan klinik kesehatan lain yang berkapasitas lebih kecil.
Baca Juga : Kenali Penyebab Batuk Berdahak pada Anak, PAFI Berikan Solusi Pengobatan
"Klinik besar atau kecil, milik pemerintah atau swasta, kan sama-sama penghasil limbah medis. Kalau bicara dampak, tentu ada kekhawatiran yang sama. Hanya skalanya lebih besar atau kecil. Seharusnya pengawasan bisa dilakukan lebih ketat," tutur Dito.
Untuk itu, pihaknya berencana meminta kepada perangkat daerah yang bersangkutan untuk menginventarisir dokumen lingkungan seluruh fasilitas penyedia layanan kesehatan di Kota Malang. Untuk memastikan bangkitan limbah medis yang dihasilkan telah dilakukan treatment sesuai prosedur.
"Ini dampaknya besar, kami tak ingin dampaknya semakin buruk jika masalah ini terus-terusan dianggap enteng dan selalu mengandalkan jawaban 'menunggu penelusuran lebih lanjut'. Sehingga harus ada langkah yang pro aktif," pungkas Dito.
Apalagi, Pemkot Malang juga perlu melakukan pengawasan secara internal. Pasalnya, pengelolaan limbah yang salah, akan berdampak pada masyarakat Kota Malang, meskipun ada kewenangan pengawasan pada Kementerian Lingkungan Hidup.
"Jadi jangan hanya berdalih pengawasan penanganan limbah medis menjadi ranah kementrian LHK, karena keberadaan fasilitas kesehatan ada di Kota Malang dan dampaknya bila tidak diantisipasi yang dirugikan adalah warga Kota Malang," pungkasnya.