JATIMTIMES - Setelah wafatnya Adipati Arya Balitar di tangan Adipati Srengat Nilosuwarno, sejarah Kadipaten Balitar — yang kini kita kenal sebagai Blitar — memasuki periode yang kabur. Dalam berbagai sumber dokumen, wilayah ini kerap absen dari daftar resmi Kerajaan Mataram.
Namun, pada masa pemerintahan Sunan Amangkurat II (1677–1703) di Kesultanan Mataram, muncul secercah kejelasan. Nama Ingabehi Wira Patra, seorang pejabat Mataram yang menjadi penguasa Balitar, tercatat dalam laporan Francois Valentijn, pendeta sekaligus sejarawan VOC.
Baca Juga : Bupati Banyuwangi Gandeng Bank Jatim Gotong Royong Entaskan Kemiskinan
Catatan ini tidak hanya menegaskan eksistensi Balitar sebagai entitas politik, tetapi juga menjadi bukti penting atas dinamika wilayah Mancanegara Timur di bawah kekuasaan Amangkurat II.
Rekonstruksi Pemerintahan Balitar di Era Amangkurat II
Dalam Oud en Nieuw Oost-Indien (1724–1726), Valentijn menyusun daftar nama penguasa di wilayah pesisir Jawa dan Mancanegara Timur pada 1680–1684. Nama Ingabehi Wira Patra tercatat sebagai penguasa Blitar, sejajar dengan nama-nama penguasa lain seperti Tumenggung Wiradadaha (Pace), Ingabehi Katawangan (Berbek), dan Raden Mangoentapa (Kediri). Informasi ini menunjukkan bahwa Balitar berdiri sebagai satuan administratif tersendiri, meskipun mungkin berada di bawah pengawasan pusat kekuasaan Kediri atau Surabaya.
Di masa Amangkurat II, situasi politik Mataram cenderung tidak stabil. Pemberontakan Trunojoyo (1674–1680) menghancurkan infrastruktur kerajaan, memaksa Amangkurat II mengandalkan VOC untuk merebut kembali tahta.
Dalam kondisi ini, penguasa wilayah seperti Ingabehi Wira Patra memainkan peran ganda: mengelola wilayah sekaligus memastikan aliran hasil bumi ke pusat kerajaan. Pajak berupa benang katun, kulit kerbau, kayu, dan sendawa dari Balitar menunjukkan pentingnya wilayah ini sebagai pemasok sumber daya strategis bagi Mataram.
Balitar dan Srengat: Dua Wilayah, Satu Jejak yang Kabur
Hubungan antara Balitar dan Srengat di era ini tidak sepenuhnya jelas. Namun, berdasarkan catatan pajak hasil bumi pada 1704 (masa Amangkurat III), kedua wilayah ini tercatat sebagai penghasil komoditas penting. Kemungkinan besar, Balitar dan Srengat memiliki peran ekonomi yang saling melengkapi. Blitar, dengan hasil kayu sapan dan kulit kerbau, mendukung produksi kerajinan dan kebutuhan domestik kerajaan. Srengat, yang mungkin memiliki akses ke jalur perdagangan sungai, menjadi jalur distribusi hasil bumi ke pusat-pusat kekuasaan seperti Kediri atau Surabaya.
Keberadaan Ingabehi Wira Patra sebagai penguasa Balitar pada era Amangkurat II tidak dapat dilepaskan dari dinamika besar di wilayah Mancanegara Timur. Wilayah ini, yang mencakup Blitar, Pace, Kediri, hingga Madiun, menjadi pusat konflik antara Mataram, VOC, dan pemberontakan lokal seperti Trunojoyo dan Untung Surapati. Dalam konteks ini, Ingabehi Wira Patra kemungkinan besar tidak hanya berperan sebagai administrator, tetapi juga sebagai mediator dalam menjaga stabilitas wilayahnya.
Peran VOC dalam mendukung Amangkurat II menciptakan perubahan besar dalam struktur politik di Jawa. Banyak penguasa lokal yang sebelumnya memiliki otonomi besar dipaksa tunduk pada perjanjian politik yang ditentukan oleh VOC. Blitar, sebagai salah satu wilayah penghasil utama, harus menyesuaikan diri dengan perubahan ini, meskipun dalam catatan sejarah, jejak administrasinya sering kali terabaikan.
Baca Juga : DPUPRPKP Kota Malang Bakal Perbaiki Puluhan Unit Rumah Tahun Ini
Ketika Amangkurat III (1703–1708) menggantikan Amangkurat II, situasi politik kembali bergolak. Blitar dan Srengat, meskipun tidak disebutkan secara eksplisit dalam sumber utama, tetap berada dalam orbit kekuasaan Kediri. Konflik antara Amangkurat III dan Paku Buwono I, yang melibatkan Untung Surapati, semakin memperumit administrasi wilayah-wilayah Mancanegara Timur.
Pendataan ulang wilayah oleh Paku Buwono I menunjukkan bagaimana Blitar mulai masuk dalam sistem administrasi yang lebih terorganisir. Namun, tidak adanya dokumentasi mendetail tentang penguasa lokal Blitar pada masa ini menunjukkan bahwa fokus perhatian politik lebih banyak tertuju pada pusat-pusat kekuasaan seperti Kediri atau Surabaya.
Nama Ingabehi Wira Patra membuka pintu bagi pemahaman baru tentang sejarah Balitar di era Amangkurat II. Meski kecil dan sering kali terabaikan, wilayah ini memainkan peran penting sebagai bagian dari struktur ekonomi dan politik Mataram. Dalam ketidakjelasan sumber-sumber tertulis, Balitar tetap menyimpan kisah tentang peran penguasa lokal yang menjadi penjaga stabilitas di tengah dinamika besar Jawa abad ke-17.
Narasi ini menegaskan pentingnya penelitian lebih lanjut tentang wilayah-wilayah kecil yang membentuk mosaik besar sejarah Jawa. Seperti halnya Blitar, banyak wilayah lain yang menunggu untuk diteliti lebih dalam, mengungkap lapisan-lapisan sejarah yang selama ini tersembunyi di balik catatan-catatan resmi.