free web hit counter
Scroll untuk baca artikel
Serba Serbi

Sejarah dan Historiografi Daerah Istimewa Surakarta: Peran Sunan Paku Buwono XII dalam Mendukung Kemerdekaan Republik Indonesia

Penulis : Aunur Rofiq - Editor : Yunan Helmy

13
×

Rencana Rilis PlayStation 6 Berpotensi Terungkap, Berkat Microsoft

Share this article
Stik Playstation
Ilustrasi Sunan Pakubuwana XII dan Presiden Soekarno tengah berbincang akrab di pendapa Keraton Surakarta, tahun 1946. Dalam suasana yang tegang akibat maraknya gerakan anti-swapraja, kedua tokoh ini saling bertukar pandangan demi menjaga stabilitas dan kedaulatan bangsa.(Foto: Ilustrasi dibuat oleh JatimTIMES)

JATIMTIMES - Daerah Istimewa Surakarta, yang saat ini dikenal dengan nama Surakarta atau Solo, memiliki peran penting dalam perjalanan sejarah Indonesia, khususnya pada masa perjuangan kemerdekaan. Sejak masa kolonial, Surakarta telah diakui sebagai wilayah yang memiliki status istimewa, baik di bawah pemerintahan Belanda maupun pada masa perjuangan melawan penjajah. 

Dalam konteks ini, Sunan Paku Buwono XII memainkan peran sentral dalam mendukung kemerdekaan Republik Indonesia, dengan tidak hanya memberikan dukungan moral, tetapi juga kontribusi nyata dalam bentuk bantuan materiil.

Baca Juga : Ngatini, Warga Bululawang, Kini Nikmati Listrik Gratis dari Program Light Up The Dream PLN

Dalam artikel ini, kita akan menelusuri sejarah panjang Surakarta, mulai dari statusnya sebagai daerah istimewa pada masa kolonial, hingga peran aktif Keraton Surakarta dalam mendukung kemerdekaan Indonesia. Selain itu, kita juga akan mengkaji lebih dalam peran Sunan Paku Buwono XII, melalui dokumen-dokumen sejarah yang menegaskan komitmen beliau terhadap Republik Indonesia, serta kontribusinya dalam menjaga kelangsungan daerah istimewa Surakarta di tengah tantangan zaman.

Status Daerah Istimewa Surakarta pada Masa Kolonial

Pada masa kolonial, Surakarta memiliki status sebagai "Vorstenlanden" atau daerah swapraja yang diberikan hak untuk memerintah daerahnya sendiri. Dalam hal ini, Surakarta tidak diatur oleh undang-undang umum yang berlaku di daerah-daerah lain di Hindia Belanda, melainkan berdasarkan perjanjian politik dengan pihak Belanda yang dikenal sebagai "Politiek Contract" atau kontrak politik.

Ada dua jenis kontrak politik yang mengatur hubungan antara kerajaan di Jawa dan pihak Belanda: Lang Contract dan Korte Verklaring. Lang Contract adalah kontrak jangka panjang yang mengatur kesetaraan kekuasaan antara kerajaan asli Indonesia, seperti Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta, dengan pihak Belanda. Sementara itu, Korte Verklaring adalah kontrak yang lebih singkat, mengatur pengakuan kekuasaan Belanda atas kerajaan-kerajaan kecil seperti Mangkunegaran dan Pakualaman.

Kontrak-kontrak ini memiliki dasar hukum yang kuat, karena disepakati oleh kedua belah pihak dan mendapat persetujuan dari Dewan Perwakilan Kerajaan Belanda. Pada pergantian raja, kontrak politik ini diperbaharui, seperti yang tercatat dalam dokumen S 1939/614 yang mengatur kembali status Kasunanan Surakarta dan Mangkunegaran.

Surakarta sebagai daerah istimewa pada masa Belanda, memiliki kebebasan untuk mengatur pemerintahan dalam wilayahnya, namun tetap berada di bawah pengaruh dan pengawasan Belanda. Status ini berlanjut hingga masa pendudukan Jepang pada tahun 1942.

Surakarta di Masa Pendudukan Jepang

Pada masa pendudukan Jepang, Surakarta kembali dikukuhkan sebagai daerah istimewa dengan sebutan "Kochi," yang berarti daerah istimewa dalam bahasa Jepang. Di sini, pemerintahan Keraton Surakarta dipimpin oleh Sri Sunan, yang di bawah sistem Jepang, diberikan gelar "Koo" (Rajanya diberi sebutan Koo). Selain itu, Mangkunegaran juga diperlakukan serupa dengan sebutan "Mangkunegoro Koo."

Selama masa penjajahan Jepang, Surakarta tetap mempertahankan status istimewanya. Jepang menginginkan agar daerah-daerah seperti Surakarta bekerja sama dalam mendukung tujuan mereka dalam Perang Asia Timur Raya. Oleh karena itu, Surakarta mendapat perhatian khusus dari pihak Jepang, namun tetap mempertahankan sejumlah kebijakan lokal yang berlandaskan pada adat istiadat asli kerajaan.

Historiografi Pembentukan dan Perjalanan Daerah Istimewa Surakarta dalam Konteks Perjuangan Kemerdekaan Indonesia

Proses pembentukan Daerah Istimewa Surakarta tidak terlepas dari dinamika politik yang terjadi di Indonesia pada masa awal kemerdekaan. Surakarta, yang sejak zaman kerajaan Mataram telah menjadi pusat budaya dan kekuasaan, mempertahankan statusnya sebagai daerah yang memiliki hak otonomi khusus, yang kemudian diakui oleh negara Republik Indonesia. Namun, perjalanan sejarah Surakarta sebagai Daerah Istimewa menghadapi berbagai tantangan, baik dari dalam maupun luar kerajaan, termasuk dari pihak-pihak yang menentang eksistensi daerah istimewa tersebut. Artikel ini akan mengulas secara mendalam mengenai peristiwa, tokoh, serta hambatan-hambatan yang dihadapi dalam pembentukan Daerah Istimewa Surakarta, serta bagaimana peranannya dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia.

Pada tanggal 1 September 1945, Sunan Paku Buwono XII mengeluarkan maklumat yang menyatakan bahwa Surakarta Hadiningrat adalah bagian dari Republik Indonesia dan memiliki status sebagai daerah istimewa. Hal ini menunjukkan tekad kerajaan Surakarta untuk mendukung kemerdekaan Indonesia dan berkomitmen terhadap pemerintahan republik. Maklumat ini mendapat pengakuan dari pemerintah Republik Indonesia melalui pemberian piagam kedudukan pada 6 September 1945 yang ditandatangani oleh Presiden Soekarno. Piagam tersebut menegaskan bahwa Surakarta adalah bagian dari wilayah negara Republik Indonesia, dengan status yang diakui sebagai daerah istimewa.

Pengakuan terhadap Sunan Paku Buwono XII sebagai pemimpin Surakarta semakin kuat dengan pemberian pangkat militer Letnan Jenderal pada 1 November 1945. Ini merupakan bentuk penghargaan atas kontribusi Sri Sunan dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Pangkat militer ini juga menunjukkan hubungan erat antara kerajaan Surakarta dan pemerintah republik, di mana Sri Sunan dianggap sebagai figur yang mendukung keberlangsungan negara Indonesia yang baru merdeka.

 Meskipun pemerintah pusat telah memberikan pengakuan terhadap Surakarta sebagai daerah istimewa, muncul kesalahpahaman antara Komite Nasional Indonesia Daerah (KNID) dengan pihak kerajaan yang sudah mendapatkan pengakuan dari pemerintah. Ketidaksepahaman ini mengakibatkan terbentuknya pemerintahan ganda (double bestuur) di Surakarta. Dalam situasi ini, kedua belah pihak, yakni kerajaan dan KNID, menjalankan pemerintahan di Surakarta, yang menambah kompleksitas situasi politik.

Pada tanggal 19 Oktober 1945, pemerintah Republik Indonesia mengangkat Panji Suroso sebagai komisaris tinggi untuk Surakarta yang bertugas untuk mengelola daerah tersebut secara langsung dari pemerintah pusat. Suroso kemudian membentuk direkturium yang terdiri dari Sunan Paku Buwono XII, Mangkunegara VII, dan anggota KNID untuk menyelesaikan masalah pemerintahan ganda ini. Direkturium ini bertujuan untuk menyatukan pemerintahan Surakarta dan memberikan kepemimpinan yang jelas dalam menjalankan fungsi sebagai daerah istimewa.

 Pada 27 November 1945, Suroso membentuk Panitia Tata Negara yang bertugas untuk menyusun peraturan mengenai status Daerah Istimewa Surakarta. Peraturan ini kemudian dibicarakan dengan pihak-pihak terkait, termasuk Kasunanan, Mangkunegaran, dan berbagai organisasi kemasyarakatan di Surakarta. Tujuan utama dari peraturan ini adalah untuk mengatur kedudukan Surakarta sebagai daerah istimewa yang memiliki kewenangan lebih besar dari masa penjajahan, dengan menghilangkan sistem pemerintahan yang diterapkan pada masa Belanda dan Jepang.

Peraturan Daerah Istimewa Surakarta menegaskan kedudukan Surakarta sebagai daerah istimewa dengan hak yang lebih luas dalam pengelolaan pemerintahan dibandingkan dengan masa kolonial. Urusan pemerintahan diserahkan kepada kerajaan Surakarta, namun tetap di bawah pengawasan pemerintah pusat. Selain itu, peraturan ini juga memperhatikan kedaulatan rakyat dengan mengakomodasi berbagai aliran dalam masyarakat Surakarta. Upaya untuk menjaga persatuan antara pihak Kasunanan dan Mangkunegaran dalam menjalankan pemerintahan daerah istimewa juga menjadi fokus utama.

Namun, proses pembentukan Daerah Istimewa Surakarta tidak berjalan mulus. Salah satu hambatan besar yang dihadapi adalah munculnya kelompok-kelompok kiri yang dipimpin oleh Tan Malaka. Kelompok ini menentang pembentukan daerah istimewa karena mereka memandangnya sebagai bentuk penguatan kekuasaan kerajaan yang dapat menghambat kemajuan revolusi sosial yang mereka cita-citakan.

Pada Mei 1946, Tan Malaka dan kelompoknya melakukan aksi kekacauan di Surakarta, termasuk menculik pejabat-pejabat yang mendukung pembentukan Daerah Istimewa. Aksi ini memicu gelombang demonstrasi yang melibatkan masyarakat Surakarta, yang akhirnya memaksa pemerintah untuk melepaskan para tahanan dan meredakan ketegangan. Dalam pertemuan pada 22–23 Mei 1946 di Gedung Javaasche Bank Surakarta, Perdana Menteri Sutan Sjahrir, Menteri Dalam Negeri Soedarsono, serta perwakilan Keraton dan Mangkunegaran sepakat menyerahkan sementara kekuasaan daerah Surakarta kepada pemerintah pusat hingga situasi kembali aman. Penyerahan sementara ini dalam sejarah berarti bahwa daerah istimewa Surakarta tidak pernah dihapus oleh pemerintah pusat, melainkan dibekukan.

Untuk meredakan kekacauan yang terus terjadi di Surakarta, pemerintah Republik Indonesia mengeluarkan Peraturan Presiden No. 16/SD tahun 1946 pada 15 Juli 1946. Peraturan ini menyatakan bahwa sebelum susunan pemerintahan daerah istimewa ditetapkan, Surakarta sementara waktu berada di bawah kendali pemerintah pusat. Meskipun begitu, posisi Kasunanan dan Mangkunegaran tetap dihormati sebagai bagian dari struktur pemerintahan yang ada di Surakarta.

Meskipun menghadapi berbagai hambatan dan konflik internal, masyarakat Surakarta tetap berharap bahwa daerah mereka akan mendapatkan pengakuan sebagai daerah istimewa. Pengakuan ini juga diperkuat oleh Wakil Presiden Mohammad Hatta yang mengakui kedudukan daerah istimewa Surakarta dalam surat kepada Kementerian Pertahanan pada 12 September 1949. Pengakuan tersebut semakin mempertegas bahwa Surakarta memiliki hak untuk mengatur rumah tangganya sendiri, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Dasar Republik Indonesia.

Jasa Sunan Pakubuwono XII untuk Indonesia: Sebuah Pandangan Sejarah

Sri Susuhunan Pakubuwana XII, atau lebih dikenal dengan sebutan Pakubuwana XII, adalah salah satu figur penting dalam sejarah Kerajaan Surakarta. Lahir pada 14 April 1925 dengan nama asli Raden Mas Suryo Guritno, ia adalah putra dari Pakubuwana XI, yang memerintah Surakarta sebelum masa kemerdekaan Indonesia. Ibu dari Pakubuwana XII adalah GKR. Koespariyah, permaisuri yang memiliki kedudukan tinggi dalam keluarga keraton, yang mendidiknya dalam lingkungan budaya dan adat yang kental.

Pada 1 Juni 1945, Pakubuwana XI wafat. Suryo Guritno kemudian resmi naik takhta pada 11 Juni 1945 sebagai Pakubuwana XII, sekaligus menjadi raja pertama Surakarta yang memerintah di era kemerdekaan Indonesia. Pemerintahan Pakubuwana XII dimulai pada masa yang penuh tantangan, dengan proklamasi kemerdekaan yang baru saja terjadi.

Baca Juga : PLN Terangi Rumah Warga Prasejahtera di Malang lewat Program Light Up The Dream

Pakubuwono XII memiliki peran yang sangat penting dalam sejarah Indonesia, terutama dalam mendukung kemerdekaan Republik Indonesia. Dalam proses transisi dari zaman kolonial ke kemerdekaan, Sunan Pakubuwono XII memberikan kontribusi yang tidak hanya bersifat simbolis tetapi juga material dan praktis untuk memperkuat negara yang baru lahir ini. Dari surat pernyataan hingga bantuan konkret selama masa revolusi, Sri Paduka Pakubuwono XII menunjukkan komitmen penuh terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Pada tanggal 1 September 1945, dalam sebuah deklarasi yang menggarisbawahi sikap politiknya, Sunan Pakubuwono XII menyatakan dukungannya terhadap Republik Indonesia. Dalam surat bertajuk Makloemat Sri Padoeka Ingkang Sinoehoen Kandjeng Soesoehoenan Kepada Seloeroeh Penduduk Negeri Soerakarta Hadiningrat, beliau menegaskan bahwa Surakarta Hadiningrat adalah daerah istimewa yang secara penuh mendukung Republik Indonesia. Lebih dari itu, beliau juga menegaskan bahwa segala kekuasaan dalam wilayah Surakarta berada di tangan Keraton, yang secara tegas mendukung pemerintah pusat.

Bahkan, pada saat yang sama, beliau menekankan pentingnya hubungan langsung dan tanpa perantara antara Surakarta dan pemerintah pusat Republik Indonesia. Surat tersebut menggambarkan tidak hanya posisi politik Surakarta yang mendukung kemerdekaan, tetapi juga sebagai bukti kuat bahwa Keraton Surakarta siap berdiri kokoh di belakang negara yang baru terbentuk ini.

Sunan Pakubuwono XII tidak hanya memberikan dukungan melalui deklarasi politik. Beliau turut memberikan bantuan materiil dalam bentuk uang, barang, dan sumber daya lain yang diperlukan dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan. Sebagai contoh, dalam bukunya Suara Nurani Keraton Surakarta (2002), Sri Juari Santoso menjelaskan berbagai bentuk bantuan yang diberikan oleh Keraton Surakarta selama masa revolusi.

Bantuan tersebut termasuk di antaranya uang yang disalurkan kepada Komando Staf Divisi II di Surakarta untuk perayaan Hari Angkatan Perang, serta penyediaan bahan makanan dan pakaian untuk warga yang miskin. Selain itu, Keraton juga memberikan dukungan kepada para pejuang, dengan cara memberi mereka bantuan berupa uang dan pasokan beras. Tidak hanya itu, pejuang-pejuang tersebut juga diberikan status sebagai penduduk yang berhak menerima bantuan dari Keraton.

Tidak hanya berfokus pada aspek politik dan militer, Sunan Pakubuwono XII juga sangat peduli dengan kondisi sosial rakyatnya. Selama masa revolusi, beliau mengambil langkah-langkah konkret untuk mengurangi penderitaan rakyat, seperti mendirikan dapur umum untuk memberi makan orang-orang miskin dan terlantar. Selain itu, banyak balai pengobatan didirikan untuk menangani penyakit, termasuk usaha pemberantasan penyakit cacar yang marak pada waktu itu.

Selain itu, beliau juga membentuk beberapa lembaga yang bermanfaat bagi masyarakat, seperti DPU Kartipraja untuk mengatasi pengangguran. Bahkan, dengan rasa empati yang tinggi, Keraton Surakarta mendirikan Bank Pasar untuk membantu para pedagang yang terdampak oleh perang.

Bantuan dari Keraton Surakarta tidak hanya terbatas pada wilayah kota saja, tetapi juga menjangkau daerah-daerah di luar Surakarta. Dalam upaya mendukung kemerdekaan, berbagai fasilitas milik Keraton dipinjamkan untuk keperluan pemerintah dan perjuangan, seperti rumah-rumah pegawai yang digunakan untuk kantor-kantor instansi pemerintah. Beberapa rumah juga dipinjamkan untuk tempat-tempat perlindungan bagi para pejuang yang tengah berjuang.

Selain itu, gedung-gedung seperti Pagelaran, Ngebrak, dan Sasanamulya dipinjamkan kepada berbagai organisasi dan instansi yang mendukung perjuangan kemerdekaan, termasuk bagi kepolisian dan pendidikan. Salah satu fasilitas yang dipinjamkan adalah gedung di sebelah Art Gallery yang digunakan oleh Yayasan Saraswati untuk sekolah SMEA Saraswati, yang berperan dalam pengembangan pendidikan selama masa sulit.

Pada tahun 1998, pemerintah Indonesia melalui Surat Keputusan Presiden Soeharto memberikan pengakuan resmi terhadap jasa-jasa besar Sunan Pakubuwono XII dalam membela dan mendukung kemerdekaan Indonesia. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1998 ini menegaskan bahwa Pakubuwono XII adalah salah satu tokoh yang tak tergantikan dalam sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia.

Dalam keputusan tersebut, Presiden Soeharto menekankan peran besar Sunan Pakubuwono XII dalam mencurahkan pikiran, tenaga, jiwa, dan raganya untuk keselamatan daerah Surakarta yang menjadi bagian integral dari Republik Indonesia. Pengakuan ini merupakan bentuk apresiasi terhadap kontribusi konkret yang diberikan oleh Keraton Surakarta di bawah kepemimpinan beliau.

Jasa Sunan Pakubuwono XII bagi Indonesia sangat besar, baik dari sisi dukungan politik, materiil, maupun sosial kemasyarakatan. Melalui pernyataan politik yang jelas, bantuan-bantuan untuk perjuangan kemerdekaan, serta perhatian terhadap kesejahteraan rakyat, beliau telah menempatkan diri sebagai salah satu tokoh yang mendukung kelahiran dan kemerdekaan Indonesia. Sejarah mencatat bahwa tanpa kontribusi beliau, mungkin saja perjuangan menuju kemerdekaan akan lebih sulit terwujud. Pakubuwono XII bukan hanya seorang penguasa Keraton Surakarta, tetapi juga seorang patriot yang berperan penting dalam membentuk Indonesia yang kita kenal hari ini.

Keraton Surakarta Sebagai Pusat Kebudayaan dan Pariwisata

Setelah Indonesia merdeka, peran Keraton Surakarta tidak berhenti begitu saja. Pada tahun 1998, Presiden Soeharto mengeluarkan keputusan yang menetapkan status dan pengelolaan Keraton Kasunanan Surakarta sebagai peninggalan budaya bangsa yang harus dilestarikan. Keputusan ini menegaskan pentingnya Keraton Surakarta dalam konteks kebudayaan nasional dan pariwisata Indonesia.

Pengelolaan Keraton Surakarta dilakukan oleh pemerintah daerah bersama dengan pihak keraton dan tokoh masyarakat. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun Surakarta telah menjadi bagian dari Republik Indonesia, kebudayaan lokal dan sejarah yang terkandung dalam keraton tetap dihargai sebagai warisan nasional yang harus dijaga.

Surakarta sebagai Daerah Istimewa

Sebagai bagian integral dari sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia, Daerah Istimewa Surakarta memiliki kedudukan yang sangat penting, bukan hanya dalam dimensi politik, tetapi juga dalam pembangunan budaya dan ekonomi bangsa. Sejak dikeluarkannya Piagam Kedudukan pada 19 Agustus 1945 yang menetapkan Sri Susuhunan Paku Buwono XII sebagai raja yang sah, Surakarta telah memainkan peran signifikan dalam mendukung Republik Indonesia. Peran aktif Sunan Paku Buwono XII yang tidak sekadar simbolik, namun juga konkret melalui dukungan material, menunjukkan betapa besar kontribusinya terhadap perjuangan kemerdekaan. Langkah politik tersebut semakin ditegaskan dengan Makloemat Seri Padoeka Ingkang Sinoehoen Kanjeng Soesoehoenan pada 1 September 1945, yang mengokohkan Surakarta sebagai Daerah Istimewa dalam Negara Republik Indonesia.

Namun, meskipun pengakuan dan penegasan hukum mengenai kedudukan Surakarta sudah jelas, janji pemerintah untuk mengeluarkan Undang-Undang khusus yang mengatur Keistimewaan Surakarta tidak pernah terwujud. Ironisnya, pada masa pemerintahan Presiden Soekarno, Daerah Istimewa Surakarta justru dibekukan oleh pemerintah. Perlu dicatat, bahwa Daerah Istimewa Surakarta tidak dihapus, melainkan dibekukan. 

Pembekuan ini menunjukkan bahwa meskipun secara administratif tidak aktif, secara substansi dan ruh, status Daerah Istimewa Surakarta tetap ada—namun tidak berfungsi, dan secara kelembagaan tidak berjalan. Sebagai akibatnya, Daerah Istimewa Surakarta  mengalami "mati suri".

Kini, saatnya untuk mengembalikan Surakarta pada kedudukan yang seharusnya, sesuai dengan kehendak sejarah dan penghormatan terhadap kontribusi besar yang telah diberikan oleh daerah ini. Tidak hanya sebagai warisan sejarah, namun juga sebagai titik tolak untuk memperkuat identitas budaya, perekonomian, dan pemerintahan yang lebih mandiri. Mengembalikan status Daerah Istimewa Surakarta akan menjadi langkah strategis dalam memuliakan semangat perjuangan para pendahulu serta mengokohkan kontribusinya terhadap kemajuan bangsa. Sebuah langkah yang bukan sekadar melestarikan nilai-nilai sejarah, tetapi juga membuka potensi besar bagi Surakarta dan Indonesia di masa depan. Dengan langkah ini, Surakarta dapat terus berperan aktif sebagai pusat kebudayaan dan perekonomian, serta menjaga warisan kebudayaan yang telah diwariskan oleh leluhur kita kepada seluruh bangsa.