JATIMTIMES - Dalam Al-Qur’an, Surah Maryam menceritakan kisah luar biasa tentang keteguhan iman Siti Maryam dan mukjizat kelahiran Nabi Isa ‘alaihissalam. Khususnya pada ayat 30-35, pesan tauhid, ketaatan, serta penegasan kebesaran Allah Subhanahu Wa Ta’ala tergambar jelas.
Tak hanya sebagai sumber inspirasi, ayat-ayat ini juga menyimpan fadilah yang relevan bagi kehidupan umat Muslim, termasuk bagi ibu hamil. Bagaimana kisah dan maknanya? Simak ulasan berikut.
Baca Juga : Krisis Amanah: Tanda Zaman yang Terancam dalam Perspektif Hadits Nabi
Surah ke-19 dalam Al-Qur’an ini terdiri dari 98 ayat dan tergolong Makkiyah, diturunkan sebelum Rasulullah SAW hijrah ke Madinah. Dinamakan Maryam karena mengisahkan perjalanan spiritual ibunda Nabi Isa ‘alaihissalam, Siti Maryam binti Imran satu-satunya wanita yang namanya diabadikan langsung dalam Kitab Suci. Kisahnya memukau: kehamilan tanpa sentuhan laki-laki, bayi yang berbicara sejak lahir, hingga penegasan bahwa Allah Maha Kuasa atas segala ketetapan.
Seperti dikutip dari buku Menabur Iman di Dada Anak (Pratiwi, 2018), Maryam adalah simbol kesucian dan ketakwaan. Surah ini tidak hanya mengisahkan mukjizat kelahirannya Nabi Isa, tetapi juga menjadi pengingat bahwa kuasa Allah melampaui logika manusia. “Apabila Dia hendak menetapkan sesuatu, maka Dia hanya berkata, ‘Jadilah!’ Maka jadilah sesuatu itu, ” firman-Nya dalam ayat 35, menegaskan kemahabesaran-Nya.
Pada ayat 30-35, Nabi Isa ‘alaihissalam yang masih bayi langsung bersabda dengan kalimat penuh makna: Pengakuan sebagai Hamba Allah (Inni ‘abdullah): “Sesungguhnya aku hamba Allah” (ayat 30). Kalimat ini membantah klaim bahwa Isa adalah “anak Tuhan”, sekaligus menegaskan posisinya sebagai nabi yang diutus.
Kemudian perintah Salat dan Zakat: Isa diperintahkan menjalankan ibadah serta berbakti kepada ibunya, tanpa kesombongan (ayat 31-32).
Selanjutnya, penegasan Kesejahteraan Abadi. Salam kesejahteraan diberikan Allah pada hari lahir, wafat, dan kebangkitannya (ayat 33). Dan yang terakhir, Koreksi Teologis. Ayat 35 secara tegas menyatakan, “Tidak patut bagi Allah mempunyai anak" sebagai bantahan terhadap keyakinan di luar Islam.
Pesan utama di sini adalah tauhid murni Allah tidak membutuhkan perantara atau keturunan. Mukjizat kelahiran Isa bukan bukti “keistimewaan biologis”, melainkan tanda bahwa Allah berkuasa menciptakan segala sesuatu hanya dengan “Kun!” (jadilah).
Baca Juga : Tirai, Taplak, dan Takhta Priayi: Historiografi Akhir Kasus Brotodiningrat dalam Kemelut Madiun (1899–1901)
Tentunya, membaca surat ini memiliki fadilah dari ketenangan hingga keimanan. Selain kisahnya yang inspiratif, Surah Maryam terutama ayat 30-35 diyakini membawa beragam manfaat spiritual seperti Stabilitas Emosi. Membacanya dipercaya menenangkan hati, khususnya bagi ibu hamil yang menghadapi kecemasan.
Fadilah berikutnya adalah Ikhtiar Spiritual. Sebagai bentuk tawakal, ayat ini menjadi doa agar anak lahir dengan karakter saleh/salehah. Kemudian, menjadi penguat iman; Mengingatkan kembali pada kebesaran Allah melalui kisah-kisah luar biasa dalam Surah. Lebih dari itu, menjadi Antitesis prasangka buruk, atau membantu umat Muslim memelihara husnuzan (prasangka baik) kepada ketetapan-Nya.
Garis besarnya, Surah Maryam bukan sekadar narasi sejarah, melainkan cermin bagaimana ketaatan dan keimanan mampu melahirkan mukjizat. Ayat 30-35 mengajarkan umat Muslim untuk tetap rendah hati, mengutamakan ibadah, dan meyakini bahwa setiap kehendak Allah pasti mengandung hikmah.