JATIMTIMES - Menjelang pergantian abad ke-20, wilayah Karesidenan Madiun bukan hanya menjadi pusat dinamika ekonomi perkebunan dan industri gula, tetapi juga arena tarik-menarik kekuasaan antara elite pribumi dan pejabat kolonial. Salah satu peristiwa paling mencolok yang mencerminkan ketegangan itu adalah kasus Raden Mas Adipati Brotodiningrat, Bupati Madiun (1897–1902), yang berujung pada pemecatannya dan pengasingan ke Padang.
Kasus ini bukan sekadar perseteruan individu antara Brotodiningrat dan Residen Madiun, J.J. Donner, tetapi juga merupakan representasi dari konflik struktural antara elite bumiputra yang berusaha mempertahankan martabat dan kepentingan lokal, dengan pejabat kolonial yang ingin memperkokoh dominasi atas sistem pemerintahan pribumi.
Baca Juga : Urai Macet di Jam Rawan, Dishub Kota Malang Andalkan Tim RCL
Historiografi Singkat Asal Usul R.M.A. Brotodiningrat: Dari Darah Sumoroto ke Birokrasi Madiun
Raden Mas Adipati Brotodiningrat lahir pada 1849 dari keluarga bangsawan priyayi tinggi. Ayahnya, R.T. Brotodirjo, adalah Bupati Sumoroto, sebuah kabupaten tua di bawah kedaulatan Surakarta, sementara ibunya adalah putri Pangeran Sinduseno, cucu Sunan Paku Buwana V. Garis keturunan ganda ini menjadikannya pewaris darah biru sekaligus simbol kontinuitas kekuasaan lokal Jawa.
Namun, takdirnya berubah drastis saat sang ayah wafat pada 1855. Di usia enam tahun, Brotodiningrat terlalu muda untuk memangku jabatan bupati. Pemerintah kolonial menolak suksesi langsung dan menempatkan pejabat sementara, sementara sang ibu membawanya ke Keraton Surakarta untuk memperoleh pendidikan elite. Di lingkungan istana, ia dibentuk oleh etika priyayi klasik, lalu disekolahkan ke lembaga Belanda, termasuk Sekolah Pamong Pribumi—pijakan awal karier administratifnya.
Tahun 1866, ia memulai magang sebagai mantri negeri di Madiun. Dalam tempo cepat, naik menjadi Wedana Magetan (1867), lalu diangkat sebagai Bupati Sumoroto pada usia 19 tahun. Namun, gelombang reformasi kolonial menghapus kabupaten itu pada 1877. Brotodiningrat dipindahkan ke Ngawi, lalu ke Madiun pada 1885—tanda bahwa kekuasaan tidak lagi bersandar pada genealogis, tapi prestasi administratif.
Di Madiun, Brotodiningrat menjelma sebagai representasi baru seorang bupati. Ia mendapat dukungan Residen Mullemeister, tokoh reformis yang kelak menjadi arsitek birokrasi bumiputra. Gelarnya ditingkatkan menjadi Adipati dan ia menerima payung emas, simbol tertinggi otoritas lokal. Namun di sisi lain, ia juga dikenal keras kepala dan berselisih tajam dengan Residen Donner—menggambarkan ketegangan antara priyayi tradisional dan sistem kolonial modern.
Kisah hidup Brotodiningrat mencerminkan transisi besar abad ke-19: dari bupati warisan menjadi pejabat karier. Ia menapaki struktur kolonial bukan sekadar karena darah, tetapi karena pendidikan, etos kerja, dan adaptasi politik. Sosoknya berdiri di simpang dua dunia: pewaris budaya Jawa dan pelayan administratif Hindia Belanda. Dialah wajah dari priyayi baru yang menjembatani kekuasaan tradisional dengan modernitas kolonial.
Bupati Brotodiningrat: Seorang Pemimpin yang Percaya Diri
R.M. Adipati Brotodiningrat adalah seorang pejabat pribumi yang matang dalam pengalaman birokrasi. Ia telah bekerja di bawah enam residen Belanda sebelumnya dan memiliki jaringan politik yang kuat, termasuk hubungan kekerabatan dengan Paku Alam VI di Yogyakarta. Kepercayaan dirinya tidak hanya berasal dari silsilahnya, tetapi juga dari penguasaannya atas pemerintahan lokal dan hubungan baiknya dengan masyarakat setempat.
Sebagai seorang bupati, Brotodiningrat memahami bahwa stabilitas daerahnya tidak hanya ditentukan oleh kepatuhan terhadap kebijakan kolonial, tetapi juga oleh keseimbangan antara kekuasaan pejabat pribumi dan Belanda. Sayangnya, kedatangan Residen J.J. Donner pada tahun 1897 mengubah segalanya.
Residen J.J. Donner: Pejabat Kolonial yang Ambisius
Donner adalah seorang pejabat kolonial yang memegang teguh hierarki kekuasaan. Bagi Donner, seorang bupati harus tunduk sepenuhnya kepada residen, tanpa mempertanyakan kebijakan atau bersikap independen. Begitu tiba di Madiun, Donner langsung menaruh curiga terhadap Brotodiningrat, yang dinilainya terlalu mandiri dan tidak cukup menunjukkan sikap hormat terhadap pejabat Belanda.
Ketegangan antara keduanya mulai terlihat dari cara mereka berkomunikasi. Saat Donner menegur nada surat resmi Brotodiningrat yang dianggap terlalu berani, bupati itu menjawab sinis, "Saya bukan istri tua." Balasan itu mencerminkan kepribadian Brotodiningrat yang tidak mudah tunduk, tetapi juga memperdalam ketidaksenangan Donner terhadapnya.
Konflik Terbuka: Intrik Politik dan Pergulatan Wewenang
Seiring berjalannya waktu, konflik antara keduanya berkembang menjadi adu kebijakan. Donner mencoba menyingkirkan orang-orang dekat Brotodiningrat dengan cara memindahkan pamannya dari jabatan wedana di Kinten ke wilayah yang lebih terpencil. Ia juga mengangkat seorang patih dan jaksa kepala baru yang merupakan orang kepercayaannya.
Namun, Brotodiningrat tidak tinggal diam. Ia justru mengisolasi pejabat baru itu dan membatasi kewenangan mereka dalam menjalankan tugas. Ia juga mendukung kebijakan irigasi yang menguntungkan perusahaan milik Oei Tiong Ham, konglomerat gula terkemuka, tetapi merugikan bisnis keluarga Donner.
Persaingan ini semakin meruncing ketika terjadi peningkatan aksi kriminalitas di Madiun, yang sebagian besar menyasar properti dan pejabat Eropa. Salah satu insiden yang menjadi pemicu utama adalah pencurian di kediaman Residen Donner pada 6 Oktober 1899, di mana beberapa barang seperti gorden dan taplak meja hilang. Meskipun tampak sepele, kejadian ini mempermalukan Donner dan memberinya alasan untuk mencari kambing hitam.
Tuduhan dan Pemecatan: Skema Menyingkirkan Brotodiningrat
Baca Juga : DPRD Jatim Jadikan Kabupaten Malang Percontohan, Fasilitasi Legalitas Koperasi Desa Merah Putih
Donner segera menuduh Brotodiningrat sebagai dalang di balik maraknya kejahatan di Madiun. Dalam laporan yang dikirim ke Batavia, ia mengklaim bahwa Bupati Madiun memiliki jaringan dengan kelompok kriminal lokal seperti perampok, penyelundup opium, dan pencuri ternak. Menurut Donner, aksi kriminal ini bukan sekadar tindak kejahatan biasa, tetapi bagian dari skenario politik untuk menggoyahkan kekuasaan kolonial.
Bagi pemerintah kolonial di Batavia, tuduhan dari seorang residen tentu lebih dipercaya dibandingkan dengan pembelaan seorang bupati bumiputra. Maka, pada 15 Desember 1899, Brotodiningrat diberhentikan dari jabatannya dan diasingkan ke Padang.
Namun, pemecatan ini tetap menyisakan perdebatan. Meskipun Residen Donner menginginkan pemecatan tidak hormat, pemerintah kolonial memilih untuk memberhentikan Brotodiningrat dengan hormat, dengan alasan jasanya selama lebih dari 30 tahun dalam pemerintahan. Ia bahkan tetap menerima pensiun sebesar f 250 per bulan dan diperbolehkan kembali ke Jawa, meski tidak diizinkan tinggal di Madiun.
Dampak dan Kekacauan Pascapemecatan
Alih-alih menstabilkan Madiun, kepergian Brotodiningrat ke Padang justru memperburuk situasi keamanan. Kriminalitas semakin meningkat, dan Residen Donner menuduh mantan bupati itu masih memiliki pengaruh di balik layar. Untuk menumpas dugaan jaringan kriminal tersebut, Donner menangkap 60 orang yang dianggap loyalis Brotodiningrat, termasuk para wedana, kepala desa, guru, dan bahkan pejabat dari Ngawi dan Ponorogo.
Donner juga meminta pemerintah Belanda untuk mengasingkan 22 orang ke luar Jawa, termasuk Kiai Kasan Ngalwi, guru spiritual Brotodiningrat. Pemerintah kolonial meminta pendapat dari Snouck Hurgronje, seorang penasihat ahli di bidang urusan pribumi. Setelah melakukan kajian, Snouck menolak argumen Donner dan justru merekomendasikan pemecatan sang residen.
Akhirnya, Batavia mengambil keputusan drastis: Donner diberi cuti sakit dan dikirim kembali ke Belanda, yang menandai berakhirnya kariernya di Hindia Belanda. Meskipun demikian, kebenciannya terhadap Brotodiningrat tidak pernah surut. Ia tetap menulis pamflet dan artikel yang menjelekkan mantan bupati itu dari kejauhan.
Kembalinya Brotodiningrat dan Akhir dari Dinasti Politiknya
Setelah kepergian Donner, Brotodiningrat kembali ke Jawa pada tahun 1901 dan menetap di Yogyakarta. Pada 1903, ia mencoba kembali ke Madiun dan tinggal di tanah miliknya di Ngawi, tetapi upayanya sempat dicegah oleh Residen W.T.L. Boissevain. Baru pada 1905 ia akhirnya diizinkan menetap kembali di wilayahnya, meski tetap dalam pengawasan ketat aparat kolonial.
Setelah kehilangan jabatan dan pengaruhnya, Brotodiningrat menjalani hidup sebagai warga biasa hingga akhir hayatnya. Tidak ada satu pun keturunannya yang berhasil menduduki jabatan penting di Madiun. Trahnya diputus oleh pengangkatan Bupati Madiun yang baru, R.M.T. Koesnodiningrat, yang berasal dari garis keluarga Prawirodirdjo.
Pergulatan Kekuasaan di Bawah Kolonialisme
Kasus Brotodiningrat bukan hanya cerita tentang perseteruan dua individu, tetapi juga refleksi dari dinamika politik kolonial di Hindia Belanda. Ini adalah contoh bagaimana pemerintah kolonial menggunakan segala cara untuk mengontrol elite pribumi yang dianggap terlalu mandiri.
Pada akhirnya, sejarah mencatat bahwa meskipun Brotodiningrat tersingkir, sistem kolonial pun menghadapi tantangan dari dalam. Ironisnya, hanya beberapa dekade setelah insiden ini, sistem yang dipegang erat oleh para residen seperti Donner akhirnya runtuh seiring dengan lahirnya nasionalisme Indonesia.
Di tengah reruntuhan wibawa kolonial yang mengelupas perlahan, nama Brotodiningrat menjulang seperti dinding tua keraton yang tak lekang diterpa hujan sejarah. Ia bukan sekadar priyayi yang menulis dalam bilik sunyi, melainkan pemikir yang berani berdiri di hadapan kekuasaan, menggugat dengan pena setajam keris dan martabat seteguh batu andesit. Melawan Donner bukan hanya keberanian melawan pejabat, melainkan perlawanan halus nan tajam terhadap ketimpangan struktur, terhadap sistem yang memperkosa rasa keadilan bangsanya sendiri. Maka kelak, bila nama-nama pejabat Belanda tenggelam ditelan lumpur waktu, Brotodiningrat akan tetap dikenang—bukan karena kuasa, melainkan karena keberaniannya menjaga harga diri Tanah Priyayi dengan kepala tegak dan jiwa yang tak tunduk.