JATIMTIMES - Polemik dugaan eksploitasi mantan pemain sirkus mengaitkan nama Taman Safari Indonesia (TSI) dan Oriental Circus Indonesia (OCI). Di tengah isu ini, Komisaris Taman Safari yang juga pendiri Oriental Circus, Tony Sumampau, angkat bicara. Ia menegaskan bahwa kedua entitas itu berbeda total, baik secara hukum, konsep, maupun operasional.
Tony menjelaskan, Oriental Circus Indonesia bermula dari kebutuhan hiburan pasca peristiwa G30S tahun 1966. Kala itu, tentara yang bertugas menjaga stabilitas keamanan disebut membutuhkan hiburan, dan lahirlah kelompok akrobat yang kemudian dikenal sebagai OCI.
“ABRI waktu itu butuh hiburan. Kostrad punya band, kita punya tim akrobat. Gabung jadi satu, lalu keliling ke berbagai daerah pakai pesawat Hercules, tampil di markas-markas militer, mulai dari Tasik sampai Jawa Tengah,” ujar Tony dalam keterangan resminya, Jumat (18/4/2025).
Saat itu, pertunjukan masih murni akrobat tanpa melibatkan satwa. Namun, kehadiran Royal Indian Circus pada 1971 mengubah peta hiburan sirkus di Indonesia. Sirkus asal India itu tampil dengan satwa, dan membuat OCI ikut menyesuaikan.
“Waktu Royal Indian Circus masuk ke Indonesia, kita kalah saing, karena mereka sudah pakai hewan. Dari situ, kita mulai mengadopsi konsep sirkus dengan satwa, dan berubah nama menjadi Oriental Circus,” ujar Tony.
Lebih lanjut Tony menjelaskan banyak pemain sirkus berasal dari anak-anak yang sejak kecil diasuh keluarga pelaku sirkus. Beberapa di antaranya bahkan berasal dari panti asuhan di sekitar Kalijodoh. “Anak-anak itu dari bayi dibesarkan, usia 6-7 tahun baru diajak bergabung dan mulai berlatih di sirkus,” tuturnya.
Namun, Tony menegaskan bahwa Taman Safari Indonesia yang berdiri tahun 1981 adalah badan hukum tersendiri yang fokus pada konservasi satwa. Ia bersama dua saudaranya, Jansen Manansang dan Frans Manansang, serta ayahnya Hadi Manansang, membangun kawasan konservasi di Cisarua, Bogor.
“OCI didirikan tahun 1967 sampai beroperasi terakhir di tahun 1997. Sedangkan Taman Safari berdiri tahun 1981 dan berjalan sampai sekarang,” kata Tony.
Ia menegaskan tidak pernah ada keterkaitan hukum atau bisnis antara keduanya. “Keduanya tidak pernah terhubung secara legal, tidak ada aliran dana, tidak ada pula keterlibatan pemain OCI di Taman Safari,” tegasnya.
Tony bahkan menyebut inspirasi mendirikan Taman Safari datang dari pengalamannya bekerja di luar negeri. “Awalnya bahkan nama Taman Safari, itu African Lion Safari. Baru 1991 diganti jadi Taman Safari Indonesia,” ucapnya.
Soal tuduhan eksploitasi yang kini ramai dibicarakan publik, Tony menduga isu tersebut sengaja diarahkan ke Taman Safari karena Oriental Circus sudah lama tidak beroperasi. “Kalau mereka mengajukan sesuatu ke OCI, ya OCI sudah tidak ada. Jadi, mereka berusaha mengaitkan ke Taman Safari, pasti ada maksud lain di balik itu,” katanya.
Sebagaimana diberitakan sebelumnya, dua perempuan bernama Fifi dan Butet mengungkapkan bagaimana mereka menjadi bagian dari sirkus sejak kecil tanpa tahu asal-usul mereka.
“Saya tidak mengenal sama sekali orang tua. Sejak kecil sudah diambil oleh pihak sirkus,” ujar Butet, dikutip dari kanal YouTube Forum Keadilan TV.
Fifi juga menyampaikan hal serupa. Ia mengaku hidup sepenuhnya di lingkungan sirkus dan tidak pernah merasakan pendidikan formal. “Kami benar-benar diisolasi, sampai tidak tahu tahun dan tempat di luar sana,” katanya.
Pengacara Muhammad Sholeh alias Cak Sholeh yang mendampingi mereka menyebut nama Hadi Manansang, Jansen Manansang, dan Frans Manansang sebagai pihak yang bertanggung jawab atas dugaan eksploitasi. “Sebenarnya ada satu lagi, istrinya, tapi sudah meninggal,” ujar Sholeh.
Menurutnya, kasus ini pernah dilaporkan ke Komnas HAM sejak 1997. Bahkan saat itu sudah ada temuan dan rekomendasi dari Prof. Muladi, tapi tidak ditindaklanjuti. “Sudah ada temuan bahwa ada eksploitasi anak, tidak mendapat pendidikan, dan penyiksaan. Tapi rekomendasi itu cuma jadi selembar kertas,” katanya.
Sholeh menyebut para korban tak pernah digaji. “Selama puluhan tahun dari kecil sampai dewasa tidak pernah digaji. Cuma disuruh tampil setiap hari,” ujarnya.
Dalam podcast tersebut, Fifi mengaku dua kali kabur karena tak tahan dengan perlakuan yang ia terima. “Saya dua kali kabur karena sering disiksa, disuruh latihan terus, dipukuli. Saya nggak tahan,” ungkapnya.
Ia bahkan nekat melarikan diri tengah malam melalui hutan. “Jam 1 malam saya kabur lewat hutan. Saya nggak takut setan, saya cuma takut balik lagi ke sana,” ujarnya.
Namun pelariannya tak berlangsung lama. Ia tertangkap, lalu mengalami penyiksaan. “Begitu ketemu, saya langsung dibawa balik, dipukuli di mobil. Sampai rumah, saya ditarik, diseret ke kantor, terus disetrum,” katanya.
Fifi menyebut dirinya dirantai selama dua minggu setelah kejadian itu. “Tidurnya dirantai, kalau mau ke toilet harus minta dilepasin. Saya cuma bisa pipis kalau dibantu asisten,” ujarnya.
“Saya diseret, dianiaya, sampai akhirnya saya kabur lagi. Kali ini saya dibantu guru silat yang kerja di sana,” kata Fifi.
Ia akhirnya menikah dengan pria tersebut untuk bisa keluar secara permanen dari lingkungan sirkus. “Saya bilang ke dia, saya nggak mau balik lagi. Saya takut. Akhirnya dia bilang, ya sudah kita nikah,” katanya.
Karena tak memiliki identitas, Fifi harus menikah dengan wali hakim. “Saya nggak tahu umur saya, siapa orang tua saya, agamanya apa. Akhirnya saya masuk Islam dan ganti nama. Setelah itu saya lapor untuk minta perlindungan,” ujarnya.
Cak Sholeh menegaskan bahwa langkah mereka bukan sekadar membuka masa lalu, melainkan memperjuangkan keadilan. Ia bahkan meminta agar Taman Safari Indonesia ditutup.
“Kenapa kami tuntut Taman Safari ditutup? Karena dari awal tempat itu dibangun atas penderitaan orang-orang seperti Fifi dan Butet. Tidak ada itikad baik dari mereka sampai sekarang untuk menyelesaikan ini,” tegasnya.
Sholeh mengatakan pihaknya akan menempuh berbagai jalur hukum dan politik. “Kami akan terus keliling ke Komisi III DPR, Komisi VIII, sampai ada tindakan dari negara. Jangan sampai negara abai terhadap kejahatan kemanusiaan ini,” ujarnya.
“Kami hanya ingin keadilan. Sudah lebih dari 28 tahun. Kalau memang ini negara hukum, tunjukkan,” pungkas Sholeh.
Cabang Taman Safari Indonesia
Taman Safari Indonesia kini memiliki beberapa cabang di berbagai wilayah:
• Taman Safari Bogor
• Taman Safari Prigen
• Taman Safari Bali
• Taman Safari Solo
• Beach Safari Batang
• Aquarium Safari Jakarta
• Marine Safari Bali
Tak hanya itu, mereka juga mengelola sejumlah properti penginapan seperti Royal Safari Garden, Safari Resort, Baobab Safari Resort, dan Mara River Safari Lodge.