free web hit counter
Scroll untuk baca artikel
Pendidikan

Pakar UB Kritik Rencana Pengembalian Sistem Penjurusan SMA

Penulis : Anggara Sudiongko - Editor : Yunan Helmy

13
×

Rencana Rilis PlayStation 6 Berpotensi Terungkap, Berkat Microsoft

Share this article
Stik Playstation
Ilustrasi rapat rencana pengembalian penjurusan di SMA. (Anggara/MalangTimes)

JATIMTIMES - Rencana pengembalian sistem penjurusan IPA, IPS, dan bahasa di SMA kembali menuai kritik. Kali ini dari pakar kebijakan publik Universitas Brawijaya (UB) Andhyka Muttaqin. 

Andhyka mengatakan, langkah tersebut berpotensi memicu masalah operasional di daerah dan mencerminkan inkonsistensi arah kebijakan pendidikan nasional. 

Baca Juga : Bentuk Transparansi, KONI Kota Kediri Gelar Sosialisasi Implementasi Transaksi Nontunai

Dosen Fakultas Ilmu Administrasi UB itu menilai, meski penjurusan spesifik di SMA dinilai mempermudah seleksi perguruan tinggi, perubahan mendadak ini justru berisiko menimbulkan kebingungan implementasi di lapangan.  

Andhyka menekankan, gonta-ganti kebijakan pendidikan seperti peralihan dari Kurikulum Merdeka yang fleksibel kembali ke sistem klasik menciptakan disrupsi pada ekosistem pembelajaran. “Daerah akan kesulitan beradaptasi karena setiap perubahan membutuhkan penyesuaian infrastruktur, pelatihan guru, hingga sosialisasi ke orang tua,” ujarnya.

Problem ini, lanjut dia, diperparah oleh ketiadaan grand design pendidikan yang menjadi peta jalan jangka panjang. Ia mengusulkan perlunya cetak biru kebijakan pendidikan 20 tahun yang dipecah dalam fase 5 tahunan. 

“Pendidikan bukan proyek seremonial, tapi investasi peradaban. Perlu konsistensi agar tiap periode kepemimpinan hanya menyempurnakan, bukan mengubah total arah,” tegasnya. 

Lebih dari itu, realitas saat ini justru menunjukkan kebijakan pendidikan hanya mengacu pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN), sehingga terkesan reaktif dan tidak visioner.  

Baca Juga : Pendulum 360 Jatim Park Telan Korban! Apa yang Salah dengan Sabuk Pengaman dan Rem?

“Reset kebijakan” setiap kali terjadi pergantian pemangku jabatan benar-benar menjadi perhatian Andhyka. Menurut dia, ego sektoral dan perbedaan paradigma antarpemimpin sering mengabaikan keberlanjutan program. “Ini era kolaborasi, bukan kompetisi gagasan. Kebijakan bagus harus dilanjutkan, sementara kekurangannya diperbaiki secara bertahap, bukan dirombak 360 derajat,” tandasnya.  

Ia mencontohkan evaluasi Kurikulum Merdeka yang dinilai masih parsial. Alih-alih menghapusnya, pemangku kepentingan harus secara jujur mengukur dampak positif seperti peningkatan kreativitas siswa, sambil menyusun strategi menutupi kelemahan, seperti kesenjangan literasi numerasi. “Pendidikan harus dibangun layaknya legacy system, terus diperbarui tanpa menghilangkan fondasi yang sudah baik,” tambahnya.  
 
Dalam pandangan Andhyka, ketiadaan evaluasi komprehensif menjadi akar masalah. Kebijakan kerap dihentikan sebelum tuntas hanya karena tidak sesuai dengan visi pemimpin baru. Padahal, sistem pendidikan ideal harus melampaui batasan periode jabatan. “Kita perlu memisahkan antara kepentingan politik dan kebutuhan riil pendidikan. Jangan sampai anak bangsa menjadi korban percobaan kebijakan yang tidak matang,” ucapnya.  

Sebagai penutup, Andhyka mengajak seluruh pemangku kepentingan untuk membangun mindset kolaboratif. Masa depan pendidikan Indonesia harus dirancang dengan melibatkan multi-generasi: praktisi, akademisi, hingga pelajar.