free web hit counter
Scroll untuk baca artikel
Hiburan, Seni dan Budaya

Dinamika Politik Berbek di Bawah Raden Tumenggung Sosrodirejo: Pajak, Tanam Paksa, dan Integrasi Wilayah

Penulis : Aunur Rofiq - Editor : Sri Kurnia Mahiruni

13
×

Rencana Rilis PlayStation 6 Berpotensi Terungkap, Berkat Microsoft

Share this article
Stik Playstation
Makam Raden Tumenggung Sosrodirejo (kanan) dan istrinya di Kompleks Makam Kanjeng Jimat, Kecamatan Berbek, Kabupaten Nganjuk, Jawa Timur. (Foto: Aunur Rofiq/ JatimTIMES)

JATIMTIMES - Dalam lembaran sejarah Nusantara, Kabupaten Berbek sering kali luput dari perhatian, meski wilayah ini menyimpan kisah penting dari masa awal kolonialisme Belanda. Salah satu tokoh sentral dalam sejarah Berbek adalah Raden Tumenggung Sosrodirejo, seorang bupati yang menjabat pada periode 1832–1843. 

Kiprah dan pengaruhnya tak hanya membentuk perkembangan Berbek, tetapi juga menjadi titik pertemuan antara tradisi lokal dan kebijakan kolonial Hindia Belanda.

Raden Tumenggung Sosrodirejo: Garis Nasab dan Jejak Pemerintahan

Baca Juga : Beasiswa 99 Unira Malang: Sasar Calon Maba Aktif Organisasi NU, Dapat Potongan UKT Rp 1 Juta

Raden Tumenggung Sosrodirejo adalah adik dari Kanjeng Jimat, atau Raden Tumenggung Sosrokusumo I, bupati pertama Berbek. Menurut catatan tradisional, Kanjeng Jimat merupakan putra Bupati Grobogan, Raden Tumenggung Sosronegoro I, yang memiliki garis keturunan langsung dari Kerajaan Gowa melalui Karaeng Nobo, seorang tokoh besar yang menikah dengan Ratu Mas Sekar, adik Sultan Agung. Dari keturunan Karaeng Nobo inilah lahir sejumlah tokoh penting, termasuk Raden Tumenggung Sosrodirejo.

Saat dilantik menjadi Bupati Berbek menggantikan kakaknya, Sosrodirejo menghadapi tugas berat: meneruskan program pemerintahan sekaligus mengatasi tantangan sosial dan ekonomi yang muncul di bawah tekanan kolonial.

Periode Kepemimpinan: Integrasi Wilayah dan Konflik Pajak

Salah satu peristiwa penting pada masa pemerintahan Raden Tumenggung Sosrodirejo adalah integrasi tiga wilayah kabupaten: Berbek, Kertosono, dan Nganjuk. Proses ini secara resmi rampung pada tahun 1835, sebagaimana tercatat dalam peta kolonial Hindia Belanda. Integrasi ini menjadi langkah penting dalam pembentukan struktur administratif modern, namun di sisi lain juga menimbulkan gesekan sosial di masyarakat.

Penggabungan wilayah ini merupakan konsekuensi dari Perjanjian Sepreh yang disepakati setelah tertangkapnya Pangeran Diponegoro. Peristiwa ini sekaligus menandai berakhirnya kekuasaan Keraton Yogyakarta atas Berbek dan wilayah mancanegara lainnya, yang kini sepenuhnya berada di bawah kendali pemerintah kolonial Hindia Belanda.

Pada masa pemerintahan Raden Tumenggung Sosrodirejo, salah satu konflik mencolok terjadi di wilayah Ngliman, dipimpin oleh Kyai Penoppo Ngliman. Kyai Penoppo, yang masih merupakan keturunan Kyai Ageng Ngliman, memprotes kebijakan pajak yang diberlakukan oleh Sosrodirejo. Sebelumnya, Ngliman diakui sebagai wilayah otonom yang bebas pajak, namun kebijakan baru yang mengintegrasikan wilayah tersebut ke dalam administrasi Hindia Belanda memicu ketegangan.

Konflik ini mencerminkan resistensi masyarakat lokal terhadap intervensi kolonial yang semakin kuat, sekaligus menggambarkan kompleksitas posisi Sosrodirejo sebagai penguasa lokal di bawah kendali pemerintah Hindia Belanda.

Sistem Tanam Paksa dan Ekonomi Berbek

Dalam dokumen hasil produksi tahun 1844, Kabupaten Berbek tercatat sebagai wilayah penghasil tanaman ekspor seperti tebu dan indigo. Hal ini menunjukkan bahwa Berbek menjadi bagian dari implementasi sistem tanam paksa (Cultuurstelsel) yang digagas oleh Gubernur Jenderal Johannes van den Bosch pada 1830. Namun, tak banyak data yang tersedia terkait dampak kebijakan ini terhadap masyarakat lokal, terutama petani kecil.

Di sisi lain, kebijakan ini berkontribusi pada eksploitasi sumber daya alam Berbek, termasuk hasil hutan. Hal ini menandakan bahwa di bawah kepemimpinan Sosrodirejo, wilayah Berbek mulai terintegrasi dalam sistem ekonomi kolonial.

Akhir Kepemimpinan dan Peralihan Kekuasaan

Masa jabatan Sosrodirejo berakhir pada tahun 1843. Ia digantikan oleh Raden Tumenggung Aria Kusumoadinoto pada awal tahun 1844, berdasarkan keputusan Besluit No. 5 tanggal 18 Januari 1844. Menariknya, keputusan ini mencerminkan preferensi pemerintah Hindia Belanda untuk menempatkan pemimpin baru dari luar keluarga Sosrodirejo, menunjukkan adanya dinamika politik antara keluarga bangsawan lokal dan otoritas kolonial.

Sosrodirejo dalam Lintasan Sejarah

Sebagai adik Kanjeng Jimat, Sosrodirejo mewarisi karisma dan pengaruh spiritual yang kuat. Kanjeng Jimat, yang dikenal sebagai penyebar Islam di Berbek, dikenang karena karamah yang menyertainya. Kisah-kisah ini menjadi inspirasi bagi masyarakat lokal, mencerminkan hubungan erat antara kepemimpinan politik dan legitimasi religius.

Raden Tumenggung Sosrodirejo adalah potret pemimpin lokal yang berhadapan dengan dinamika kekuasaan kolonial dan lokal. Meski tidak banyak catatan rinci tentang kebijakannya, perannya dalam integrasi wilayah, pengelolaan sistem tanam paksa, dan relasinya dengan masyarakat lokal menjadikan sosoknya penting dalam sejarah Kabupaten Berbek.

Baca Juga : Unira Malang Tetap Buka Penerimaan Mahasiswa Baru Selama Cuti Libur Lebaran

Dalam konteks yang lebih luas, kisah Sosrodirejo mengingatkan kita akan pentingnya menelisik sejarah lokal sebagai bagian dari mozaik besar sejarah nasional. Bagaimana sosok-sosok seperti Sosrodirejo menghadapi tantangan pada masanya dapat menjadi pelajaran berharga dalam memahami kompleksitas sejarah Indonesia.

Silsilah Sosrodirejo dan Kanjeng Jimat

Raden Tumenggung Sosrodirejo, Bupati Berbek periode 1832–1843, merupakan adik kandung Raden Tumenggung Sosrokusumo I, yang lebih dikenal dengan julukan Kanjeng Jimat, bupati pertama Berbek. Berdasarkan informasi dari pengurus makam Kanjeng Jimat di Berbek, keduanya memiliki hubungan nasab yang kuat dengan Kerajaan Gowa di Sulawesi Selatan melalui jalur Karaeng Nobo, salah satu putra Raja Gowa. Hubungan ini menjadikan Sosrodirejo dan Kanjeng Jimat terhubung dengan sejumlah tokoh besar dalam sejarah Nusantara.

Karaeng Nobo, putra Raja Gowa, menikah dengan Nyai Karaeng Nobo, putri Ratu Mas Sigit, adik Sultan Agung, penguasa Kesultanan Mataram. Dari pernikahan ini lahir dua keturunan penting, yakni Nyai Ageng Datuk Sleman dan Ki Ageng Sontoyudo II. Nyai Ageng Sleman kemudian menikah dengan Kyai Datuk Sleman, putra Raja Bima dari Nusa Tenggara Barat, dan melahirkan Nyai Ageng Derpoyudo. 

Selain itu, Karaeng Nobo dan Nyai Karaeng Nobo juga memiliki putri kedua, Nyai Ageng Wiroyudo, yang menikah dengan Ki Ageng Wiroyudo, putra dari Ki Ageng Sontoyudo II. Dari pasangan ini lahir beberapa tokoh penting, termasuk Ki Ageng Derpoyudo, Nyai Ageng Honggoyudo, Nyai Damis Rembang, dan Nyai Sontoyudo. Nyai Ageng Honggoyudo menurunkam Raden Tumenggung Sosronegoro I, Bupati Grobogan. Sosronegoro I kemudian menurunkan Raden Tumenggung Sosrokusumo I (Kanjeng Jimat), yang diutus sebagai bupati pertama Berbek oleh pemerintahan kolonial Hindia Belanda.

Kanjeng Jimat dikenal karena peran pentingnya dalam menyebarkan agama Islam di Berbek dan sekitarnya. Ia juga menjadi cikal bakal berdirinya pemerintahan Kabupaten Nganjuk. Setelah Kanjeng Jimat, estafet kepemimpinan Berbek diteruskan oleh adiknya, Raden Tumenggung Sosrodirejo, yang memimpin pada periode 1832–1843. Sosrodirejo, meskipun tidak sepopuler Kanjeng Jimat, tetap memainkan peran penting dalam pengelolaan wilayah Berbek, termasuk proses penggabungan wilayah dengan Kertosono dan Nganjuk.

Kanjeng Jimat, Sosrodirejo dan keluarganya juga memiliki hubungan kekerabatan dengan Raden Ronggo Prawirodirdjo I, seorang tokoh besar dari Madiun. Raden Ronggo merupakan putra Ki Ageng Derpoyudo, yang juga saudara dari Nyai Ageng Honggoyudo. Dengan demikian, garis keturunan ini tidak hanya mencakup Berbek dan Grobogan, tetapi juga meluas hingga Madiun dan Kesultanan Yogyakarta.

Hubungan genealogis yang erat ini menunjukkan akar keluarga besar Sosrodirejo dan Kanjeng Jimat yang tersebar di berbagai wilayah Nusantara, mulai dari Gowa, Bima, Grobogan, hingga Madiun dan kraton Jawa. Selain peran administratif mereka, Kanjeng Jimat juga dikenang karena karamahnya, yang memperkuat citranya sebagai tokoh spiritual di Berbek. Silsilah ini tidak hanya mencerminkan jejak historis keluarga besar ini, tetapi juga memperlihatkan bagaimana kekuasaan, tradisi lokal, dan Islam berperan penting dalam membentuk sejarah dan identitas wilayah Berbek.

Sosrodirejo : Leluhur Dinasti Bupati Blitar

Menariknya, sejarah Berbek ternyata memiliki kaitan erat dengan Kabupaten Blitar. KPH Warsoekoesoemo, Bupati Blitar kedua, adalah cucu Raden Tumenggung Sosrodirejo. Hubungan nasab ini memperlihatkan bagaimana pengaruh keluarga Sosrodirejo meluas ke luar Berbek, menjadi bagian dari jejaring kekuasaan yang lebih besar.

Sejarah Kabupaten Blitar tidak lepas dari peran dinasti yang berakar kuat di Berbek. Raden Tumenggung Sosrodirejo, Bupati Berbek kedua (1832–1843), adalah figur kunci yang menurunkan para pemimpin Blitar di masa berikutnya. Ia adalah ayah dari Raden Ayu Djojosentiko, yang menikah dengan KPH Warsoekoesoemo, Bupati Blitar kedua. Dari pernikahan ini lahir keturunan yang mewarisi kepemimpinan di Blitar.

Sosrodirejo berasal dari garis keluarga bangsawan yang memiliki hubungan erat dengan Keraton Mataram dan Kerajaan Gowa. Jaringan politik dan budaya yang dibangun sejak masa pemerintahannya di Berbek terus berlanjut hingga ke Blitar, di mana keturunannya memainkan peran strategis dalam pembentukan dan pengembangan wilayah tersebut.

Warisan Sosrodirejo diteruskan oleh cucu buyutnya, KPH Sosrohadinegoro, yang merintis pembentukan Gemeente Blitar (cikal bakal Kota Blitar) pada 1906. Sementara itu, keturunan lain dari garis Warsoekoesoemo, yaitu KPH Warsohadiningrat, memimpin Blitar di tengah bencana besar letusan Gunung Kelud pada 1919.

Dari Berbek hingga Blitar, jejak kepemimpinan dinasti ini bukan hanya soal administrasi pemerintahan, tetapi juga syiar Islam dan strategi adaptasi dalam menghadapi kolonialisme. Sosrodirejo dan keturunannya membangun Blitar dari sebuah wilayah muda yang baru lepas dari pengaruh Surakarta menjadi kabupaten yang berkembang pesat. Nasab kebangsawanan dan peran politik mereka menunjukkan bagaimana sebuah dinasti mampu bertahan dan bertransformasi dalam berbagai tantangan zaman.