free web hit counter
Scroll untuk baca artikel
Serba Serbi

Pangeran Pekik: Rekonsiliator Surabaya–Mataram yang Ditumbalkan Sejarah

Penulis : Aunur Rofiq - Editor : Yunan Helmy

13
×

Rencana Rilis PlayStation 6 Berpotensi Terungkap, Berkat Microsoft

Share this article
Stik Playstation
Halaman depan Makam Banyusumurup, Imogiri—tempat peristirahatan terakhir Pangeran Pekik, sang arsitek rekonsiliasi yang disingkirkan oleh sejarah istana. (Foto: Aunur Rofiq/JatimTIMES)

JATIMTIMES - Di tengah arus sejarah awal Mataram Islam yang dipenuhi intrik politik dan konflik kepentingan, sosok Pangeran Pekik tampil sebagai tokoh yang mempersatukan dua poros kekuasaan Jawa pasca-pendudukan Pajang dan Demak. Putra Panembahan Jayalengkara, raja Surabaya terakhir yang mengobarkan perlawanan terhadap ekspansi kekuasaan Sultan Agung, Pangeran Pekik—nama kecilnya tidak tercatat dalam naskah-naskah babad klasik—menjadi sosok sentral dalam rekonsiliasi berdarah antara Jawa Tengah dan pesisir Timur. Namun, akhir hidupnya justru menjadi ironi getir dari kegagalan Mataram menjaga warisan harmonis yang ia tanamkan.

Pangeran Pekik: Ulama Raja dari Pesisir yang Ditumbalkan Istana

Baca Juga : Long Weekend Jumat Agung dan Paskah, KAI Daop 8 Surabaya Operasikan 4 KA Tambahan

Dalam lintasan sejarah Islam Jawa abad ke-17, Pangeran Pekik tampil sebagai figur kunci yang menjembatani dunia pesantren pesisir dengan istana agraris Mataram. Ia bukan sekadar adipati Surabaya atau pangeran menantu Sultan Agung. Pangeran Pekik adalah cerminan dari sinkretisme kekuasaan dan spiritualitas yang dalam, ulama sekaligus politisi yang ditakdirkan mengakhiri hidupnya dalam bayang-bayang kekuasaan yang curiga.

Pangeran Pekik lahir di Surabaya pada paruh akhir abad ke-16 atau awal abad ke-17, sebagai putra dari Panembahan Jayalengkara, raja ulama terakhir Surabaya yang ditaklukkan oleh Sultan Agung pada tahun 1625. Panembahan Jayalengkara sendiri adalah keturunan dari Sunan Ampel (Sayyid Raden Ahmad Rahmatullah), salah seorang dari Walisongo, ulama penyebar Islam terpenting di Jawa. 

Melalui silsilah Sunan Ampel, trah Jayalengkara tersambung kepada keluarga Ahlul Bait, yakni jalur keturunan dari Ali bin Abi Thalib, menantu Nabi Muhammad SAW. Oleh karena itu, Pangeran Pekik bukan hanya bangsawan pesisir, tetapi juga bergaris darah suci dalam perspektif Islam Jawa.

Nama kecil Pangeran Pekik adalah Raden Bagus Pekik, atau dalam sebutan lainnya Raden Muhammad Nur Pekik dan Imam Faqih. Di kemudian hari, gelar religiusnya sebagai ulama Mataram adalah Panembahan Pekik atau Raja Pandhita Wali. Dari rakyatnya, ia mendapat sebutan penuh kasih: Gagak Emprit, yakni bangsawan tinggi yang menyatu dengan rakyat kebanyakan.

Panembahan Jayalengkara tercatat memiliki empat orang putra yang memainkan peran penting dalam dinamika kekuasaan regional pada masanya, yakni Pangeran Pekik, Pangeran Trunojoyo, Pangeran Indrajit, dan Pangeran Wirodarmo.

Dari Tawanan Perang Menjadi Menantu Raja

Pangeran Pekik awalnya merupakan pangeran muda dari trah bangsawan Surabaya, yang setelah kekalahan ayahandanya dalam pertempuran sengit melawan Mataram tahun 1625, ditawan dan dibawa ke ibu kota kerajaan di Kotagede. Tak seperti banyak bangsawan pesisir lain yang dibinasakan atau disingkirkan, Pangeran Pekik justru mendapatkan tempat khusus di hati Sultan Agung Hanyakrakusuma. Ia tidak hanya dibiarkan hidup, tetapi juga dijadikan menantu. Ia menikahi Ratu Pembayun, putri sulung Sultan Agung, dalam sebuah peristiwa politik-perkawinan yang menyerupai strategi kerajaan Eropa: menggabungkan darah dua keluarga besar demi legitimasi dan integrasi kekuasaan.

Pernikahan ini bukan sekadar simbol persatuan antara dua keluarga elite, tetapi juga menyimbolkan keberhasilan Sultan Agung dalam menaklukkan hati dan jiwa musuh politiknya. Surabaya yang selama ini menjadi pusat kekuatan pesisir Islam warisan Demak kini takluk secara politik dan spiritual di bawah mahkota Mataram. Pangeran Pekik pun diberikan kedudukan tinggi di istana, menjabat sebagai salah satu penasihat utama dalam Dewan Raja.

Pengaruh dan Peran Strategis di Istana

Dalam pemerintahan Sultan Agung, Pangeran Pekik dikenal sebagai pembesar yang bijak dan berkebudayaan tinggi. Ia menjadi penghubung antara elite pesisir dengan elite pedalaman. Di bawah pengaruhnya, banyak tradisi seni, sastra, dan kebudayaan pesisiran diterima dan diserap oleh istana Mataram. Beberapa naskah menyebutkan bahwa dialah yang membawa warisan budaya adiluhung Surabaya ke dalam lingkungan keraton, termasuk seni pedalangan dan gending-gending klasik.

Namun pengaruhnya bukan semata pada ranah budaya. Dalam kebijakan luar negeri dan ekspansi militer, Pangeran Pekik memiliki peran penting sebagai penasehat senior Sultan Agung, terutama dalam mengonsolidasikan wilayah timur kerajaan. Reputasinya sebagai pemimpin yang mampu menjembatani dua dunia membuatnya disegani sekaligus dicurigai.

Namun ujian terbesar bagi Pangeran Pekik datang dari sesama darah Walisongo. Pada tahun 1633, Giri Kedaton di Gresik—yang selama ini menjadi pusat spiritual keturunan Sunan Giri—memberontak terhadap kekuasaan Mataram. Giri, di bawah pimpinan Panembahan Kawis Guwa, ingin melepaskan diri. Perwira Mataram tak ada yang berani menyerang Giri karena kharisma spiritualnya yang masih amat dihormati. Sultan Agung kemudian menunjuk Pangeran Pekik—keturunan Sunan Ampel sekaligus saudara seiman Sunan Giri—untuk menaklukkan Giri Kedaton. Dalam ekspedisi tahun 1636, Pangeran Pekik berhasil menundukkan Panembahan Kawis Guwa dan membawanya menghadap ke Mataram. Peristiwa ini menegaskan Pangeran Pekik bukan hanya sosok birokrat istana, melainkan juga seorang pemimpin spiritual dan militer dengan pengaruh luas di dunia pesantren dan bangsawan.

Dari Zaman Keemasan ke Kecamuk Politik

Ketika Sultan Agung wafat tahun 1645 dan digantikan oleh Amangkurat I, situasi politik di istana mulai berubah drastis. Sang putra mahkota, yang naik tahta sebagai Sunan Amangkurat I, mewarisi kekuasaan tetapi tidak seluruhnya mewarisi kebijakan dan sikap politik ayahandanya. Ia dikenal otoriter, paranoid, dan sangat curiga terhadap para bangsawan senior yang masih memiliki pengaruh luas, termasuk mertuanya sendiri: Pangeran Pekik.

Dalam upaya mengonsolidasikan kekuasaannya, Amangkurat I mulai melakukan pembersihan istana. Satu per satu bangsawan berpengaruh dari masa Sultan Agung disingkirkan. Beberapa diasingkan, dan banyak yang dieksekusi secara rahasia. Pangeran Pekik termasuk dalam daftar itu.

Menurut catatan J.J. Meinsma dalam Geschiedenis van Java dan dikonfirmasi oleh catatan Rijklof van Goens, Pangeran Pekik dieksekusi atas perintah langsung Amangkurat I. Tidak ada pemberontakan, tidak ada pengadilan. Ia dihukum mati dalam senyap—dengan tuduhan merencanakan makar atau sekadar karena dianggap terlalu berpengaruh.

Setelah Sultan Agung wafat pada tahun 1645, tahta diwariskan kepada putranya, Raden Mas Sayidin, yang kemudian bergelar Amangkurat I. Berbeda dengan ayahandanya, Amangkurat I memandang Pangeran Pekik dengan kecurigaan. Meskipun Pangeran Pekik adalah mertuanya—ayah dari permaisuri Amangkurat I—ia dianggap sebagai sosok tua yang terlalu berpengaruh, memiliki jaringan kuat di kalangan elite Surabaya, dan dihormati  lebih dari sang raja sendiri.

Baca Juga : DPRD Surabaya Minta PLN Perhatikan Keselamatan Siswa dalam Memasang Tiang

Ketegangan memuncak pada peristiwa tahun 1663. Raden Mas Rahmat, putra Amangkurat I dari permaisuri (putri Pangeran Pekik), jatuh cinta kepada Rara Oyi, seorang gadis Surabaya putri Ki Mangun Jaya. Namun Rara Oyi merupakan calon selir Amangkurat I yang masih dititipkan di bawah asuhan Ki Wirareja. Skandal ini mempermalukan raja dan memperdalam kebenciannya terhadap keluarga mertuanya, termasuk terhadap Pangeran Pekik. Amangkurat I melihat dalam peristiwa ini bukan sekadar pelanggaran moral, tetapi potensi konspirasi yang mencemarkan kehormatannya.

Wafat dan Pemakaman yang Sarat Makna

Tujuh tahun setelah insiden Rara Oyi, pada tahun 1670, Pangeran Pekik wafat. Sumber-sumber tradisional tidak menyebutkan sebab-sebab langsung kematiannya. Namun fakta bahwa ia dimakamkan di Makam Banyusumurup, sebuah kompleks pemakaman di Imogiri yang diperuntukkan khusus bagi tokoh-tokoh istana yang dianggap membangkang atau disingkirkan secara halus oleh raja, menjadi petunjuk kuat bahwa Pangeran Pekik wafat dalam suasana politik yang tidak ramah. Banyusumurup adalah makam “para tersingkir”, tempat raja-raja Mataram membuang mereka yang pernah terlalu dekat dengan kekuasaan, tetapi akhirnya dianggap sebagai ancaman.

Dengan wafatnya Pangeran Pekik, maka berakhirlah salah satu tokoh penyambung dua dunia: pesantren dan istana, Surabaya dan Mataram, ulama dan penguasa. Ia meninggalkan keturunan yang melanjutkan trahnya, termasuk Bagus Joko Umar atau Suromenggolo, dan cicit yang juga bernama Suromenggolo, yang dikenal dalam sejarah lokal Surabaya.

Tragedi Sebuah Warisan yang Terabaikan

Kematian Pangeran Pekik adalah awal dari keretakan internal yang lebih luas di tubuh Mataram. Pangeran Pekik mewakili generasi penyatu, generasi pasca-perang yang mengerti makna rekonsiliasi dan toleransi dalam membangun kerajaan. Ketika generasi ini dimusnahkan oleh paranoia politik, kerajaan kehilangan landasan moril yang menopang eksistensinya. Tak lama setelah wafatnya Pangeran Pekik, Mataram mulai diguncang pemberontakan—termasuk oleh anaknya sendiri, Pangeran Alit, dan kelak oleh tokoh-tokoh seperti Trunajaya.

Pangeran Pekik tidak hanya membawa darah bangsawan pesisir ke dalam istana, tetapi juga membawa semangat inklusi. Ia adalah bukti bahwa Jawa tidak bisa disatukan hanya dengan pedang, tetapi harus melalui pengakuan atas keragaman asal-usul dan penghormatan terhadap warisan budaya.

Wafatnya Pangeran Pekik menjadi pukulan besar bagi seluruh trah Surabaya. Maka dimulailah fase kedua sejarah keluarga Jayalengkara: pelarian, persembunyian, dan dakwah di bawah bayang-bayang kekuasaan Mataram.

Di antara wilayah-wilayah yang belum sepenuhnya dikuasai oleh Mataram, pesisir Lumajang menjadi pilihan pelarian. Kawasan ini, dengan hutan-hutan belantara dan jalur laut yang terbuka, menawarkan perlindungan alami bagi mereka yang terdesak oleh kekuasaan. Di sinilah tiga saudara Pangeran Pekik memulai babak baru dalam hidup mereka. Ketiganya adalah: Pangeran Indrajid, Pangeran Trunojoyo, dan Pangeran Wirodarmo.

Pangeran Indrajid, dikenal juga sebagai Mbah Drajid, memilih jalur spiritual dan sosial. Menanggalkan status kebangsawanan, ia hidup sebagai nelayan di Wotgalih. Namun, peran aslinya jauh lebih dalam: seorang pendakwah Islam yang menyebarkan ilmu syariat dan hakikat warisan Sunan Ampel kepada masyarakat pesisir. Masyarakat Madura dan pelarian dari Surabaya menyambutnya, dan bersama mereka Indrajid membuka kawasan pemukiman baru. Lambat laun, Wotgalih berkembang menjadi pusat komunitas religius dan sosial yang penting di pesisir selatan Lumajang.

Pangeran Trunojoyo, yang ikut serta dalam pelarian ke Lumajang,  menjalani hidup sederhana bersama Indrajid. Dalam balutan kesufian dan kerendahan hati, ia belajar mendekati rakyat, jauh dari takhta dan konflik.

Pangeran Wirodarmo memainkan peran berbeda. Ia tidak menonjol sebagai pendakwah, namun dikenal sebagai figur organisatoris. Di antara para pelarian, ia membangun struktur pemerintahan bayangan, menata hubungan antara kelompok nelayan, petani, dan bangsawan yang bersembunyi. Keberadaannya membuat wilayah Lumajang relatif stabil, bahkan menjadi semacam zona aman bagi mereka yang terancam oleh kekuasaan Amangkurat I.

Ketiga bersaudara itu wafat dalam kesunyian, jauh dari gemerlap istana dan hiruk-pikuk kekuasaan. Makam Pangeran Indrajid—juga dikenal sebagai Mbah Drajid—beserta makam saudaranya, Pangeran Trunojoyo, terletak di kawasan pesisir Wotgalih, Lumajang. Hingga kini, kompleks makam tersebut menjadi situs ziarah religius yang dihormati masyarakat setempat. Perlu ditegaskan, sosok Trunojoyo yang dimakamkan di Wotgalih ini adalah saudara kandung Pangeran Pekik, dan berbeda dari Trunajaya Madura yang kelak memimpin pemberontakan besar terhadap Amangkurat I. Penyematan gelar kebangsawanan pada keduanya sering kali menimbulkan kekeliruan dalam pembacaan sejarah.

Demikianlah Pangeran Pekik, tokoh yang hadir di simpul-simpul sejarah namun perlahan digeser dari panggung utama narasi kekuasaan. Ia bukan sekadar mertua raja atau bangsawan pelengkap, melainkan arsitek senyap yang menjembatani Jawa Timur dan Mataram, menata ulang tatanan politik melalui darah dan budaya. Ketika namanya disingkirkan dari lembar resmi kronik istana, justru di sanalah sejarah menemukan daya simpannya—di antara celah narasi besar yang ditulis oleh para pemenang. Dalam jejak sunyi Pangeran Pekik, kita mendengar bisik paling lirih dari sejarah: bahwa kekuasaan sejati tak selalu disematkan mahkota, tetapi diwariskan dalam diam oleh mereka yang sempat dilenyapkan, namun tak pernah benar-benar hilang.