free web hit counter
Scroll untuk baca artikel
Ekonomi

Polemik Tarif Impor Trump, Pakar Unair Tekankan Negosiasi Jadi Solusi Terbaik

Penulis : Muhammad Choirul Anwar - Editor : Sri Kurnia Mahiruni

13
×

Rencana Rilis PlayStation 6 Berpotensi Terungkap, Berkat Microsoft

Share this article
Stik Playstation
Pakar ekonomi internasional Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Airlangga (Unair) Prof Rossanto Dwi Handoyo SE MSi PhD.

JATIMTIMES - Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump menunda kenaikan tarif resiprokal selama 90 hari untuk puluhan negara, termasuk Indonesia. Kendati demikian, AS tetap memberlakukan persentase tarif timbal balik untuk seluruh negara sebesar 10 persen terhitung per 5 April lalu.

Bersamaan dengan pemberlakuan persentase terbaru itu, selama 90 hari ke depan, AS akan bernegosiasi dengan berbagai negara. Pakar ekonomi internasional Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Airlangga (Unair) Prof Rossanto Dwi Handoyo SE MSi PhD, angkat bicara terkait hal ini.

Baca Juga : Polresta Banyuwangi Dukung Ketahanan Pangan dengan Manfaatan Lahan Pekarangan untuk  Budi Daya Ikan Lele

Prof Rossanto menekankan, jalur negosiasi adalah solusi terbaik mengingat AS adalah mitra dagang penting. Hal ini didasari dengan fakta bahwa bukan hanya ekspor Indonesia yang tinggi ke AS, namun juga dalam hal impor masih memerlukan Amerika di berbagai sektor seperti jasa, sektor keuangan, kedelai impor.

“Kita harus melihat proporsional bahwa Amerika penting bagi kita, jangan sampai pasar yang sudah ada di Amerika yang labour intensive ini akan hilang. Lakukan diplomasi yang soft agar Amerika bisa menurunkan tarif, kita juga menurunkan tarif untuk Amerika agar dapat memperoleh jalan tengah,” ungkapnya.

Penundaan tarif impor sebesar 32 persen merupakan momentum bagi pemerintah Indonesia untuk menempuh negosiasi. Sebab, jika 3 bulan masa penanggulangan usai dan kebijakan tarif impor Trump diterapkan sebesar 32 persen, maka Indonesia akan menanggung konsekuensi besar.

Prof Rossanto menyebut bahwa harga barang impor dari Indonesia di Amerika akan semakin naik. Kenaikan harga ini dapat menurunkan daya saing produk Indonesia di pasar Amerika yang menyebabkan turunnya neraca perdagangan dan surplus Indonesia.

“Tanpa upaya yang jelas, maka surplus akan berkurang dan neraca perdagangan indonesia akan mengalami defisit serta pertumbuhan ekonomi menurun. Dengan fakta prediksi pertumbuhan ekonomi yang hanya 4,9 persen, maka GDP akan turun karena Amerika merupakan salah satu negara tujuan utama ekspor Indonesia,” ungkapnya.

Prof Rossanto juga menyebut penurunan daya saing produk Indonesia di Amerika dapat menyebabkan risiko tutupnya industri yang bergerak dalam produksi komoditas ekspor, meningkatkan pengangguran serta investasi di beberapa sektor ekspor ke Amerika akan turun. Apabila tidak ditangani dengan baik maka dampak ekonomi yang ditimbulkan akan semakin besar.

Baca Juga : Mau Kuliah ISI Surakarta di Banyuwangi, Ini Jadwal Pendaftaran Mahasiswa Baru

“Polemik yang dibarengi dengan penurunan rupiah dan IHSG ini menunjukkan bahwa  dimana semua negara mengalami pembalikan keadaan oleh Amerika yang sekarang berusaha melindungi industri domestik dari luar. Ditambah dengan inflasi yang tinggi di semua negara dan rupiah yang hampir menyentuh angka psikologis pasar menyebabkan investor memiliki keraguan dalam melakukan investasi di Indonesia,” ungkapnya.

Lebih lanjut, Prof Rossanto mengamati, kebijakan tarif impor yang diterapkan AS tak lepas dari kepentingan AS itu sendiri. Dikatakannya, AS merasa bahwa dalam perdagangan dengan negara lain belum adil, yang mana produk amerika yang diekspor ke negara lain memiliki tarif tinggi. Hal ini menyebabkan neraca perdagangan amerika dengan negara lain mengalami defisit setiap tahunnya.

“Sebagai contoh, Indonesia tahun lalu surplus hingga 31 miliar dolar dengan separuh keuntungannya berasal dari Amerika. Hal ini tidak sebanding dengan surplus Amerika yang harus membayar tarif impor yang  tinggi, sehingga kebijakan ini diharapkan dapat meningkatkan keuntungan Amerika dan pembelian produk domestik,” paparnya.