JATIMTIMES - Dari darah Sambernyawa yang mengalir tenang namun bergelora, lahirlah sosok yang kelak menjadi penjaga syariat di jantung kekuasaan Mangkunegaran. Ia bukan sekadar bayang dari trah besar, melainkan cahaya yang menyinari simpang jalan antara agama dan kekuasaan, antara langit moralitas dan bumi politik. Kyai Raden Mas Abdulkaher adalah nama yang menandai babak penting dalam pergulatan panjang sejarah Jawa abad ke-19, ketika takhta dan sajadah bersua dalam satu laku: menjaga hukum Ilahi di tengah pusaran istana, di antara gema gamelan dan gema adzan, di bawah naungan beringin dan bendera Dinasti Sambernyawa.
Dalam sejarah Jawa abad ke-19, figur-figur besar seperti KGPAA Mangkunegara IV dan Pangeran Diponegoro sering menjadi sorotan utama. Namun, di balik gemuruh politik dan perlawanan terhadap kolonialisme, terdapat sosok-sosok religius yang memainkan peran penting dalam menjaga stabilitas sosial dan spiritual masyarakat istana. Salah satu tokoh tersebut adalah Kyai R.M. Abdulkaher, seorang ulama sekaligus penghulu agung Puro Mangkunegaran. Ia tidak hanya dikenal karena keilmuannya dalam hukum Islam, tetapi juga karena silsilah agungnya yang menyambung langsung ke trah Mangkunegara I dan Bupati pertama Kediri, Raden Mas Purbanegara.
Baca Juga : Ampuh dan Mustajab, Ini Doa untuk Menghindari Pikiran Kotor dan Bisikan Buruk
Artikel ini menyusuri jejak Kyai Abdulkaher, dari asal-usul keluarganya, peran strategisnya di istana, hingga warisan yang ia tinggalkan dalam bentuk keturunan, lembaga, dan nilai-nilai spiritual yang bertahan hingga kini.
Genealogi Agung: Warisan Sambernyawa dan Dinasti Purbanegara
Lahir dari keluarga priyayi berdarah biru, Kyai R.M. Abdulkaher merupakan cicit langsung Raden Mas Said—Pangeran Sambernyawa atau KGPAA Mangkunegara I—melalui jalur Kanjeng Pangeran Harya Purbanegara, Bupati pertama Kediri (1800–1825), putra kedelapan Pangeran Sambernyawa. Ayahandanya, Raden Mas Surodikromo, adalah putra dari Raden Ayu Pengulu Iman, yang tak lain merupakan putri dari Purbanegara. Dengan demikian, Abdulkaher mewarisi garis keturunan yang tidak hanya kuat dalam tradisi kepemimpinan administrasi, tetapi juga mengakar dalam spiritualitas aristokratik Jawa.
Purbanegara sendiri adalah tokoh penting dalam sejarah Kediri. Ia menjabat dalam masa transisi antara sistem pemerintahan tradisional Jawa dan sistem kolonial Belanda. Kesetiaannya terhadap Mangkunegaran dan pengangkatannya sebagai bupati Kediri menandai perluasan pengaruh Sambernyawa di daerah mancanegara. Anak-anak dan cucunya, termasuk Abdulkaher, kemudian melanjutkan tradisi loyalitas dan pengabdian terhadap Pura Mangkunegaran.
Penghulu Agung Mangkunegaran: Tugas dan Tanggung Jawab
Sebagai penghulu agung, Kyai Abdulkaher menduduki jabatan keagamaan tertinggi di lingkungan Puro Mangkunegaran. Jabatan ini bukan hanya bersifat seremoni. Dalam struktur kekuasaan istana Jawa, penghulu memiliki tanggung jawab untuk mengatur pernikahan, perceraian, waris, dan perkara-perkara syariah lain yang berlaku di kalangan abdi dalem dan warga Mangkunegaran.
Penghulu seperti Abdulkaher juga menjadi penghubung antara kekuasaan raja dengan masyarakat santri. Ia memimpin masjid, mengarahkan para khatib, imam, dan naib, serta membimbing para modin dan muadzin yang tersebar di seluruh wilayah kekuasaan Puro. Dalam sistem yang berlaku di Mangkunegaran, para penghulu bahkan tidak menerima gaji tetap, melainkan mendapatkan tanah lungguh sebagai bentuk penghidupan dan modal dakwah.
Masa pengabdian Kyai Abdulkaher bertepatan dengan pemerintahan Mangkunegara IV (1853–1881), masa keemasan reformasi dan pembangunan di lingkungan istana. Reformasi pendidikan, pendirian sekolah modern, serta pergeseran pemikiran religius turut membentuk lanskap baru dalam kehidupan beragama. Dalam konteks ini, peran Abdulkaher menjadi krusial sebagai penjaga syariah sekaligus mitra ideologis reformasi istana.
Sebagai Pangulu, Abdulkaher tidak hanya mengurusi pernikahan dan cerai, tetapi juga bertindak sebagai otoritas tertinggi dalam bidang hukum pidana Islam, pendidikan agama, serta pembinaan moral masyarakat. Ia tidak diberi gaji oleh kadipaten, melainkan memperoleh tanah lungguh sebagai bentuk penghargaan dan sumber penghidupan, yang hasilnya sebagian digunakan untuk kegiatan dakwah dan operasional keagamaan di daerah-daerah terpencil wilayah Mangkunegaran. Ini memperlihatkan kesinambungan tradisi patronase Islam-Jawa yang hidup berdampingan dengan sistem feodal istana.
Struktur Kepenghuluan: Jaringan Hukum dan Dakwah Kadipaten
Dalam pelaksanaan tugasnya, Kyai Abdulkaher membawahi sejumlah pejabat keagamaan yang membentuk sebuah struktur hierarkis yang solid. Di bawah Pangulu terdapat Penghulu Hakim, yang bertugas sebagai ketua pengadilan perdata dalem, mengurusi pernikahan, talak, rujuk, dan wasiat, serta menjadi rujukan utama dalam hal hukum Islam. Penghulu Naib mendampingi peran tersebut, meski tidak memiliki wewenang dalam pengambilan keputusan hukum.
Jabatan-jabatan lain di bawah Pangulu mencakup Muadzin (pembuka karier kepenghuluan, pengumandang adzan), Modin (imam masjid dan penceramah), serta Abdi Dalem Chatin dan Chatinah, yang bertanggung jawab atas prosesi sunat anak laki-laki dan perempuan. Marbot sebagai penjaga masjid juga menjadi bagian dari sistem pendukung dakwah. Jaringan kepenghuluan ini menunjukkan bahwa Puro Mangkunegaran bukan hanya simbol kekuasaan duniawi, tetapi juga pusat otoritas agama yang sistematis dan terstruktur.
Kauman: Basis Dakwah dan Komunitas Santri
Sebagaimana lazimnya para ulama istana, Kyai R.M. Abdulkaher mendapatkan tempat tinggal di kawasan Kauman, sebuah wilayah yang secara historis menjadi permukiman elite ulama Mangkunegaran. Wilayah ini terletak di sekitar Pasar Legi Surakarta masa kini. Di masa itu, Masjid Mangkunegaran masih berdiri di Kauman, sebelum dipindahkan ke kompleks barat Puro, seiring dengan konsolidasi arsitektur dan simbolisme kekuasaan Mangkunagara IV.
Kauman sebagai pusat ulama dan institusi keagamaan di Surakarta memiliki posisi penting, menampung jaringan ulama yang bertugas di bidang hukum, pendidikan, hingga dakwah desa. Kyai Abdulkaher, sebagai tokoh sentral di wilayah ini, memiliki pengaruh besar dalam penyebaran Islam dan pelaksanaan hukum di kalangan masyarakat awam maupun bangsawan.Di sinilah para ulama, santri, dan abdi dalem keagamaan tinggal, membentuk komunitas yang menjadi penopang kehidupan spiritual istana.
Di masa itu, Masjid Mangkunegaran masih berdiri di Kauman, namun pada masa Mangkunegara IV dipindahkan ke barat Pura. Pemindahan ini tidak hanya bersifat arsitektural, tetapi juga simbolik: bahwa kekuasaan spiritual mendapatkan tempat terhormat di luar benteng politik istana, dekat dengan rakyat dan ulama. Di sinilah Kyai Abdulkaher memimpin salat Jumat, khutbah hari raya, serta mengawasi pelaksanaan hukum Islam.
Perkawinan Strategis dan Regenerasi Priayi
Pernikahan Kyai R.M. Abdulkaher dengan putri R.M. Djayaningrat—yang merupakan putra dari KPH Suryadiningrat, cucu dari KGPAA Mangkunagara II—menguatkan ikatan dinasti antara cabang keluarga bangsawan ulama dan bangsawan birokrat dalam tubuh Mangkunegaran. Dari pernikahan tersebut lahirlah sejumlah tokoh penting, antara lain Raden Ayu Surapranata, Raden Ayu Dewamurti yang kemudian menjadi istri KPH Dayakiswara, serta dua tokoh ulama terkemuka: R.M. Imam Soedjatmo, yang dikenal sebagai ulama besar Tawangmangu dan menikah dengan Raden Ayu Sutarmihim, cucu dari KGPH Priyabada; dan R.M. Imam Soedjadi, yang dikenal sebagai Pengulu Abdulrachim dan menikah dengan Raden Ayu Saryati, cucu dari KPH Suryanataningrat.Keturunan Kyai Abdulkaher ini kemudian melanjutkan tradisi keulamaan dan birokrasi dalam struktur Mangkunegaran serta masyarakat sekitarnya, memperlihatkan keberhasilan kaderisasi dalam lingkup kultural dan religius.
Dakwah ke Mancanegara: Jangkauan Spiritualitas
Baca Juga : Bromo Tengger Semeru Jadi Taman Nasional Terindah Ketiga di Dunia
Sebagai penghulu agung, Abdulkaher tidak hanya tinggal di Puro. Ia memiliki tanggung jawab dakwah ke wilayah-wilayah mancanegara kekuasaan Mangkunegaran, termasuk ke wilayah Boyolali, Wonogiri, dan sekitarnya. Ia membimbing para modin, memberikan pelatihan khatib, serta menyelesaikan perkara-perkara agama yang tidak terselesaikan di tingkat desa.
Wilayah dakwah Kyai Abdulkaher menunjukkan betapa pengaruh spiritual Mangkunegaran tersebar luas. Para penghulu bukan hanya pejabat agama, tetapi juga penata moral dan penjaga stabilitas sosial di seluruh wilayah kekuasaan Puro.
Wafat dan Warisan
Kyai R.M. Abdulkaher wafat dan dimakamkan di Astana Ngendho Kerten, Banyudono, Boyolali. Ia dimakamkan berdampingan dengan garwa beliau, sebagaimana lazim dalam tradisi aristokratik Jawa yang menekankan keseimbangan antara dunia dan akhirat, antara laki-laki dan perempuan, antara kekuasaan dan kasih sayang.
Makam ini menjadi simbol keabadian warisan Kyai Abdulkaher. Ia tidak hanya meninggalkan anak-anak dan cucu yang meneruskan tugas dakwah dan birokrasi, tetapi juga meninggalkan nilai: keteguhan dalam menjalankan agama, kesetiaan kepada raja, dan kebijaksanaan dalam menyikapi perubahan zaman.
Kisah Kyai R.M. Abdulkaher adalah potret utuh bagaimana peran agama, kekuasaan, dan keluarga saling bertaut dalam lanskap sejarah Jawa abad ke-19. Sebagai penghulu agung Mangkunegaran, ia berdiri di garis depan menjaga marwah syariah dan nilai-nilai Islam dalam lingkungan istana yang terus berubah.
Ia bukan sekadar ulama, melainkan juga negarawan spiritual. Warisannya melintasi waktu, dari generasi ke generasi, dari Kauman hingga Boyolali, dari masjid hingga lembaga hukum, dari silsilah darah hingga silsilah dakwah. Dalam narasi besar sejarah Jawa, namanya mungkin tenggelam di balik bayang Sambernyawa atau Mangkunegara IV, tetapi dalam kehidupan kaum santri dan masyarakat Kauman, namanya tetap harum sebagai penjaga akhlak dan penerus darah pahlawan.
Dengan demikian, sejarah Kyai Abdulkaher membuka cakrawala baru dalam melihat dinamika kekuasaan Jawa: bahwa di balik tahta dan senjata, selalu ada kitab dan sajadah yang menjaga nurani bangsa.
Historiografi: Mewartakan Ulama dalam Sejarah Kadipaten
Historiografi Jawa selama ini kerap menyoroti tokoh-tokoh utama seperti para raja dan pangeran, namun sedikit memberi ruang bagi peran para ulama istana yang turut membentuk watak kekuasaan dan sistem hukum lokal. Penulisan sejarah Kyai R.M. Abdulkaher memberikan perspektif alternatif bahwa kekuasaan di Mangkunegaran tidak hanya bertumpu pada kekuatan militer atau strategi politik kolonial, tetapi juga pada sistem hukum Islam dan jaringan ulama yang mengayomi masyarakat dengan pendekatan kultural dan spiritual.
Dalam hal ini, warisan Kyai R.M. Abdulkaher tidak dapat dipisahkan dari semangat reformasi keagamaan Mangkunagara IV, yang terkenal dengan gerakan pembaruan budaya dan institusi. Peran Abdulkaher sebagai Pangulu Agung menjadi representasi konkret dari simbiosis antara kekuasaan dan agama, antara istana dan masjid, antara pedang dan pena.
Kyai R.M. Abdulkaher bukan sekadar nama dalam daftar penghulu Puro Mangkunegaran. Ia adalah simbol dari satu generasi pemuka agama yang membawa semangat Islam ke tengah-tengah aristokrasi Jawa tanpa kehilangan watak kulturalnya. Dalam konteks sejarah keulamaan Nusantara, ia membuktikan bahwa dalam sistem kekuasaan tradisional Jawa, hukum Islam bukan hanya alat kontrol sosial, tetapi juga jalan dakwah dan pendidikan spiritual yang menyejukkan.
Melalui jejak silsilah, struktur dakwah, dan pengabdian yang tertata dalam sistem kadipaten, Kyai Abdulkaher telah meninggalkan warisan yang abadi: hukum yang berkeadaban, dakwah yang membumi, dan ilmu yang melampaui generasi. Maka sudah saatnya sejarah mengangkat namanya dari pinggiran catatan ke dalam narasi besar sejarah Jawa dan Islam Indonesia.