free web hit counter
Scroll untuk baca artikel
Serba Serbi

Jawa Tak Pernah Tunduk: Resistensi Senyap di Surakarta Pasca-Perang Diponegoro

Penulis : Aunur Rofiq - Editor : A Yahya

13
×

Rencana Rilis PlayStation 6 Berpotensi Terungkap, Berkat Microsoft

Share this article
Stik Playstation
Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat, tampak megah dari depan, memancarkan aura kejayaan masa lampau yang masih lestari hingga kini. (Foto: Aunur Rofiq/JatimTIMES)

JATIMTIMES - Setelah berakhirnya Perang Jawa (1825–1830), bukan berarti perlawanan terhadap kolonialisme di Jawa berhenti. Justru, di balik tembok-tembok Keraton Surakarta dan Yogyakarta, serta di desa-desa yang jauh dari pusat kekuasaan, semangat anti-kolonial tetap membara. Gerakan-gerakan perlawanan ini, meskipun tidak sebesar Perang Diponegoro, tetap menjadi ancaman nyata bagi dominasi kolonial Belanda.

Di sepanjang abad ke-19, istana Jawa mengalami transformasi besar, dari pusat kekuasaan yang berdaulat menjadi subordinat di bawah kendali kolonial. Sementara di satu sisi keraton masih mempertahankan tradisi dan simbol kekuasaan raja, di sisi lain mereka dipaksa tunduk pada kebijakan Belanda. Dalam kondisi yang semakin terkekang, perlawanan pun muncul dalam berbagai bentuk, baik di dalam keraton itu sendiri maupun di wilayah-wilayah pedesaan yang masih setia pada nilai-nilai lama.

Baca Juga : Simak, Ini Masterplan Jatim Gerbang Baru Nusantara dan Tantangan yang Dihadapi

Artikel ini akan mengupas bagaimana perlawanan di kepangeranan Surakarta berlangsung pada era pasca-Perang Diponegoro. Dengan mengandalkan sumber sejarah yang tajam dan kritis, kita akan menelusuri akar dari perlawanan ini—bagaimana para elite pribumi menyikapi dominasi kolonial, bagaimana ketidakadilan Belanda memicu reaksi keras, dan bagaimana ekspresi perlawanan itu termanifestasi dalam berbagai bentuk, mulai dari tulisan protes hingga pemberontakan terbuka.

Dominasi Kolonial dan Ketidakadilan Sosial

Sejak awal abad ke-19, Belanda semakin memperketat kendali atas Jawa, termasuk di wilayah Surakarta. Salah satu dokumen penting yang mencerminkan kondisi sosial-politik di Jawa pada pertengahan abad ke-19 adalah laporan dalam bahasa Arab yang dikirimkan kepada Raja Belanda, Willem III, pada tahun 1865. Laporan ini mengungkapkan keluhan masyarakat pribumi terhadap kebijakan kolonial yang semakin menekan.

Para residen dan pejabat Belanda dituduh bertindak sewenang-wenang, menindas rakyat dengan pajak yang berat, dan memaksakan kebijakan yang bertentangan dengan nilai-nilai lokal. Dalam laporan itu disebutkan bahwa pemimpin Belanda, khususnya mereka yang bergaji di bawah 1.500 rupiah, sering kali melakukan pemerasan dan korupsi terhadap rakyat. Lebih jauh, surat itu menyiratkan adanya keresahan yang dapat berujung pada keinginan untuk mengganti raja yang dianggap berkompromi dengan kolonialisme.

Setahun setelahnya, seorang bupati di Jawa juga mengirim surat protes terhadap kebijakan baru yang melarang para bupati untuk menarik layanan-layanan tradisional (pancen) dari rakyat, sebagai kompensasi atas kenaikan gaji mereka. Kebijakan ini mengancam posisi para bupati sebagai pemimpin lokal, membuat mereka semakin tergantung pada Belanda dan kehilangan legitimasi di mata rakyatnya sendiri.

Gerakan Perlawanan di Pedesaan

Di luar istana, berbagai bentuk perlawanan muncul, sebagian besar dipicu oleh kebijakan ekonomi kolonial yang menekan rakyat kecil. Salah satu contoh nyata terjadi di Bagelen pada akhir tahun 1831 hingga 1832. Di wilayah yang sebelumnya menjadi basis utama perlawanan selama Perang Jawa, muncul seorang pemimpin yang menamakan dirinya Mas Said (nama yang sama dengan Sunan Kalijaga) dan Pangeran Giri Nata. Keduanya berhasil menggalang dukungan rakyat untuk melawan kebijakan pajak kolonial yang semakin mencekik.

Gerakan serupa juga terjadi di Ngimanyang, di mana sekelompok masyarakat yang merupakan keturunan Kiai Ageng Ngliman menolak pajak yang diberlakukan oleh Bupati Berbek. Sebelumnya, mereka mendapatkan hak istimewa berupa pengecualian pajak, tetapi setelah daerah tersebut sepenuhnya dikuasai Belanda, hak itu dicabut. Pemberontakan pun pecah, menunjukkan bahwa tidak hanya kaum elite yang menentang kolonialisme, tetapi juga kelompok masyarakat yang memiliki legitimasi religius.

Perlawanan dari Dalam Keraton

Selain di pedesaan, ekspresi perlawanan juga muncul di dalam keraton sendiri. Salah satu peristiwa penting terjadi pada tahun 1832, ketika seorang tokoh bernama Mas Santri ditangkap di Yogyakarta karena menyebarkan tulisan-tulisan yang diduga berasal dari Sunan Kalijaga. Dokumen-dokumen tersebut berisi seruan untuk menggulingkan kekuasaan Belanda dan mengembalikan kejayaan Islam di Jawa.

Gerakan serupa juga muncul di Surakarta, di mana pamflet yang menentang dominasi kolonial tersebar luas di lingkungan keraton. Salah satu tulisan yang berhasil diselamatkan berbunyi:

"Hai orang-orang Eropa! Tidak cukupkah kalian membodohi para pangeran Jawa sekian lama? Jangan ubah adat para penguasa Pulau Jawa. Kalian tidak berhak sedikit pun atas apa yang dihasilkan Pulau Jawa. Jika kalian tetap mengambilnya, maka kalian akan dikutuk oleh Allah!"

Teks ini mencerminkan kesadaran politik yang semakin meningkat di kalangan elite Jawa. Mereka melihat bahwa dominasi Belanda tidak hanya merusak ekonomi dan sistem pemerintahan tradisional, tetapi juga dianggap sebagai bentuk pelanggaran terhadap hukum Tuhan.

Ramalan dan Harapan akan Pemimpin Baru

Baca Juga : Mas Ibin Hadiri Halalbihalal Gubernur Jatim: Untuk Jawa Timur Maju dan Kota Blitar SAE

Di tengah ketidakpuasan ini, muncul keyakinan bahwa seorang pemimpin baru akan muncul untuk menyelamatkan Jawa dari cengkeraman kolonialisme. Salah satu contoh yang menarik adalah gerakan di Sambirata pada tahun 1832, di mana seorang pemimpin bernama Sadita mengumpulkan pengikutnya untuk membangun sebuah pendapa. Tindakan ini didasarkan pada ramalan bahwa sebuah kerajaan baru akan didirikan di tempat tersebut.

Keyakinan terhadap sosok "Ratu Adil" yang akan datang untuk membebaskan rakyat dari penindasan semakin kuat. Gerakan-gerakan semacam ini menunjukkan bahwa perlawanan terhadap Belanda tidak hanya bersifat politis, tetapi juga memiliki dimensi spiritual dan religius yang mendalam.

Pemberontakan Ratu Kedhaton dan Perlawanan di Akhir Abad ke-19

Pada tahun 1883, setengah abad setelah Perang Diponegoro, gejolak perlawanan kembali mencuat. Kali ini, yang menjadi tokoh utama adalah Ratu Kedhaton, istri Hamengkubuwana V. Ia mencoba melancarkan kudeta untuk mengangkat putranya, Pangeran Suryaningalaga, ke tampuk kekuasaan.

Pemberontakan ini mencerminkan ketegangan internal di dalam istana, di mana kelompok-kelompok elite saling bersaing untuk mempertahankan atau merebut kendali di tengah tekanan kolonial. Selain itu, gerakan-gerakan perlawanan juga muncul di berbagai daerah di sekitar Yogyakarta, menunjukkan bahwa semangat anti-kolonial tidak pernah benar-benar padam.

Rakyat Jawa Anti Belanda

Gerakan-gerakan perlawanan di Kepangeranan Surakarta dan Yogyakarta pada abad ke-19 bukanlah peristiwa yang berdiri sendiri, melainkan bagian dari resistensi panjang terhadap kolonialisme. Meskipun tidak sebesar Perang Diponegoro, berbagai bentuk perlawanan ini mencerminkan bahwa rakyat Jawa, baik dari kalangan elite maupun masyarakat biasa, tidak pernah sepenuhnya tunduk kepada kekuasaan Belanda.

Perlawanan yang menyala di akhir abad ke-19 hingga awal abad ke-20 bukan sekadar gejolak sesaat, melainkan pijakan kokoh bagi lahirnya kesadaran nasional dan bangkitnya semangat kemerdekaan di kemudian hari.

Perlawanan-perlawanan yang tersemai di balik tembok keraton dan di ladang-ladang pedesaan bukan sekadar riak-riak kecil dalam sejarah panjang penjajahan. Ia adalah denyut nadi yang terus berdetak di tubuh bangsa yang belum sepenuhnya tunduk. Dari suara lirih para santri, dari pamflet-pamflet yang tersebar diam-diam, hingga ke lantunan ramalan tentang datangnya Ratu Adil—semua menjadi serpih-serpih harapan yang tak pernah padam. Maka, meskipun senyap, perlawanan itu adalah fondasi tempat kesadaran nasional bertumbuh; dari situ, bangsa ini belajar menggugat, merumuskan identitasnya sendiri, dan pada akhirnya, menatap kemerdekaan dengan kepala tegak.