JATIMTIMES - Di antara banyak figur penting yang mengisi lembaran sejarah Jawa pasca-Perjanjian Giyanti 1755, nama Kanjeng Pangeran Tumenggung Arya Purbanegara atau Slamet Purbanegara belum mendapat porsi perhatian yang layak dalam historiografi arus utama. Padahal, ia adalah sosok aristokrat trah Mangkunegaran yang memainkan peran krusial dalam pembentukan struktur pemerintahan di wilayah timur laut Kasunanan, tepatnya di Kadipaten Kediri.
Periode pemerintahannya (1800–1825) menjadi saksi penguatan struktur kolonial Belanda, dinamika sosial multikultural, serta awal konsolidasi Kediri sebagai kota niaga dan administrasi yang kelak menjadi penting dalam lanskap politik Jawa Timur.
Asal-usul dan Pendidikan: Darah Mangkunegaran, Semangat Manca
Baca Juga : Mbak Vinanda Larang Penyelenggaraan Wisuda dari PAUD hingga SMP
Pangeran Purbanegara lahir dengan nama kecil Bandara Raden Mas (BRM) Slamet, putra kedelapan Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Mangkunegara I—sosok sentral pendiri Kadipaten Mangkunegaran. Ia lahir dalam tradisi militer, agama, dan spiritualitas Jawa. Sejak kecil, BRM Slamet dikenal santun, disiplin, serta memiliki keberanian tinggi.
Dalam tradisi Mangkunegaran yang menggabungkan ajaran kejawen, Islam, dan nilai-nilai militeristik ala Eropa Timur, ia digembleng dalam tiga bidang utama: tata pemerintahan (pamomong), ilmu agama (ngaji, tafsir, dan tasawuf), serta ilmu bela diri dan strategi perang (kanuragan dan catur negara).
Transformasi dirinya ke dalam nama resmi “Purbanegara”—secara etimologis berarti “perbaikan negeri”—adalah simbol dari komitmen leluhur dan legitimasi dinasti untuk memperluas pengaruh Mangkunegaran ke kawasan Mancanegara Wetan, sebuah wilayah strategis di bawah kendali Kasunanan Surakarta.
Pangeran Sambernyawa, Leluhur Dinasti Purbanegara
Dalam narasi besar sejarah Jawa abad ke-18, nama Raden Mas Said muncul sebagai salah satu tokoh sentral perlawanan terhadap dominasi kolonial dan keruntuhan moral Keraton Mataram. Ia bukan sekadar pangeran pemberontak, melainkan simbol resistensi aristokratik yang menolak tunduk pada kooptasi kekuasaan oleh Belanda melalui alat-alat istana. Dalam catatan kolonial dan naskah-naskah lokal, Said kemudian dikenal luas dengan gelar Pangeran Sambernyawa—“penyambar nyawa”—sebuah julukan yang mencerminkan reputasinya sebagai pemimpin militer yang ditakuti dan tidak mengenal kompromi.
Raden Mas Said lahir dari trah Amangkurat, sebagai putra dari Pangeran Arya Mangkunegara, seorang bangsawan utama yang merupakan putra Raja Amangkurat IV. Nasib tragis menimpa ayahnya yang dibuang VOC ke Srilanka akibat friksi politik internal keraton.
Trauma politik ini membekas dalam jiwa muda Raden Mas Said. Dendam atas pengkhianatan istana dan intervensi VOC dalam rumah tangga kerajaan menjadi bahan bakar ideologis perjuangannya kelak. Ia mewarisi bukan hanya darah ningrat, tetapi juga luka sejarah yang menjelma menjadi visi perlawanan.
Sebelum dikenal sebagai Sambernyawa, Raden Mas Said tercatat sebagai salah satu bangsawan muda yang bergabung dalam pemberontakan besar Geger Pecinan (1740–1743), yang dipimpin oleh Raden Mas Garendi alias Sunan Kuning. Pemberontakan ini awalnya merupakan reaksi atas pembantaian etnis Tionghoa di Batavia, namun kemudian berkembang menjadi pemberontakan politik yang melibatkan banyak elemen lokal, termasuk bangsawan-bangsawan yang kecewa pada kekuasaan Mataram yang mulai tunduk pada kolonial.
Meski pemberontakan tersebut berujung gagal, Raden Mas Said tidak menyerah. Ia memilih menyepi, bermeditasi dan menata kembali strateginya. Sekitar tahun 1746, ia bergabung dengan pamannya, Pangeran Mangkubumi, yang juga memutuskan untuk memisahkan diri dari Keraton Surakarta.
Di tengah tekanan kolonial dan kekacauan internal kerajaan, dua tokoh ini membangun basis kekuatan di Wonogiri, mendirikan “kedathon dalam pengasingan”, dan memulai episode penting dalam sejarah Jawa: Perang Suksesi Jawa III (1746–1755).
Selama 16 tahun, Raden Mas Said terlibat dalam 250 pertempuran melawan pasukan gabungan VOC dan Surakarta. Strategi gerilyanya, yang memadukan taktik perang Jawa kuno dengan pengetahuan medan yang mendalam, membuat pasukannya nyaris mustahil dikalahkan. Sosoknya yang kecil dan tidak mencolok secara fisik justru menjadi antitesis dari kekuatan militer yang melekat padanya. Kolonial Belanda pun menjulukinya sebagai “De Zielsnemer” atau “Penyambar Nyawa”—Sambernyawa—karena reputasinya menebar maut dalam setiap pertempuran.
Konflik panjang ini menghasilkan Perjanjian Giyanti pada 13 Februari 1755, yang membelah Kerajaan Mataram menjadi dua entitas: Kesultanan Yogyakarta di bawah Mangkubumi (Sultan Hamengkubuwono I), dan Kasunanan Surakarta di bawah Pakubuwono III. Meski Perjanjian Giyanti ini menyudahi konflik antara Surakarta dan Yogyakarta, bagi Raden Mas Said, itu bukanlah kemenangan. Ia tidak dilibatkan dalam proses negosiasi, dan dengan demikian, tidak mendapatkan wilayah atau pengakuan yang layak.
Merasa dikhianati oleh kedua pihak, Raden Mas Said memilih tetap melanjutkan perlawanan. Kini musuhnya bukan hanya Belanda dan Surakarta, tetapi juga Yogyakarta. Posisi ini menjadikannya satu-satunya pangeran Jawa yang berani mengangkat senjata melawan ketiga kekuatan tersebut secara bersamaan. Posisi ini unik dalam historiografi Jawa abad ke-18, dan menunjukkan keuletan politik serta keberanian personal Raden Mas Said.
Akhir dari kisah panjang perjuangan Raden Mas Said terjadi dalam Perjanjian Salatiga tahun 1757, sebuah kesepakatan antara VOC, Pakubuwono III, dan Raden Mas Said. Dalam perjanjian ini, Belanda dan Surakarta mengakui kekuasaan Raden Mas Said atas wilayah tertentu dan memberinya gelar Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Mangkunegara I. Wilayah kekuasaan Kadipaten Mangkunegaran meliputi daerah Kedaung, Matesih, Honggobayan, Sembuyan, Gunung Kidul, Pajang Utara, dan sebagian Kedu.
Meski secara administratif berada di bawah Kasunanan, status Mangkunegaran bersifat semi-otonom, dengan kekuasaan internal yang cukup luas. Pengakuan ini menjadikan Mangkunegaran sebagai kekuatan ketiga dalam politik Jawa, di samping Surakarta dan Yogyakarta. Berbeda dengan dinasti lain, Mangkunegaran lahir dari perjuangan bersenjata, bukan hasil suksesi istana.
Raden Mas Said tidak hanya meninggalkan warisan politik dan militer, tetapi juga warisan budaya yang kuat. Ia membangun fondasi keraton alternatif di tengah dominasi kekuasaan resmi. Dari trah beliau inilah lahir Pangeran Tumenggung Arya Purbanegara, bupati Kediri pertama (1800–1825), putra kedelapan Mangkunegara I. Nama kecil Purbanegara adalah Bandara Raden Mas Slamet, yang sejak muda dikenal berbudi pekerti luhur, tekun dalam ilmu agama dan pemerintahan, serta ahli dalam seni bela diri.
Dalam konteks ini, Mangkunegara I bukan hanya seorang pejuang militer, tetapi juga pendiri sebuah dinasti baru yang kemudian melebarkan pengaruhnya ke luar Surakarta, termasuk ke wilayah strategis seperti Kediri. Wilayah ini kelak menjadi salah satu pusat pertumbuhan administrasi kolonial di Jawa Timur.
Perkawinan Politik dan Jaringan Kekerabatan Istana
Sebagaimana lazim dalam strategi politik Jawa, perkawinan adalah jembatan kedaulatan. Pangeran Purbanegara menikahi Raden Ayu Supiyah, putri ke-21 dari Sunan Pakubuwana III. Setelah pernikahan itu, ia bergelar Kanjeng Ratu Purbanegara. Aliansi ini menjadikan kedudukan Pangeran Purbanegara semakin kuat di antara dua poros utama Mataram pasca-perpecahan: Surakarta dan Mangkunegaran. Dari pernikahan ini lahir beberapa anak, termasuk Raden Ayu Ngaisah (Raden Ayu Hangabehi) yang kemudian menikah dengan Pakubuwana VII dan bergelar Kanjeng Ratu Pakubuwana VI, mempererat relasi antardarah biru.
Pangeran Purbanegara juga tercatat memiliki tiga garwa ampil—dalam tradisi aristokrat Jawa, ini bukan semata-mata persoalan domestik, melainkan strategi memperluas jaringan sosial dan kekuasaan ke daerah-daerah bawahan.
Pengangkatan sebagai Bupati Kediri: Legitimasi dan Strategi
Baca Juga : Stecu Lagi Viral di Medsos, Ini Arti Sebenarnya
Catatan sejarah lokal dan babad, termasuk Babad Giyanti, menyebutkan bahwa Kanjeng Pangeran Tumenggung Arya Purbanegara diangkat menjadi bupati pertama Kediri sekitar tahun 1800. Penunjukan ini terjadi dalam konteks meningkatnya pengaruh pemerintahan kolonial Hindia Belanda yang mulai menata ulang struktur administratif lokal di bawah sistem indirect rule (pemerintahan tidak langsung). Kediri pada masa itu merupakan wilayah mancanegara sisi timur Kasunanan Surakarta, dan penunjukan Pangeran Purbanegara mengindikasikan kepercayaan penuh baik dari istana Surakarta maupun dari pihak penguasa kolonial.
Sebagai bupati pertama, tugas Purbanegara tidak ringan: membentuk struktur pemerintahan lokal, mengatur sistem agraria, menstabilkan keamanan, serta menjembatani antara kekuasaan Jawa tradisional dengan sistem administrasi kolonial yang semakin menguat sejak akhir abad ke-18.
Pembangunan Fisik dan Simbolik: Pendopo Panjalu Jayati dan Kelenteng Tjoe Hwie Kiong
Sebagai administrator dan simbol kekuasaan Jawa, Pangeran Purbanegara memulai program pembangunan fisik sebagai upaya penguatan legitimasi. Ia membangun Pendopo Panjalu Jayati, sebuah bangunan pemerintahan simbolik di pusat Kediri yang mengandung pesan historis dan spiritual: "Panjalu Jayati"—Panjalu Menang. Nama ini mengacu pada kerajaan kuno Panjalu yang dipercaya sebagai cikal bakal Kediri, memberi penekanan pada kontinuitas sejarah dan peran pusat kekuasaan lokal.
Tak hanya pembangunan pemerintahan, pada masa pemerintahannya juga dibangun Kelenteng Tjoe Hwie Kiong di kawasan Pecinan, sekitar tahun 1800-an. Pembangunan kelenteng ini menjadi simbol penting integrasi dan kohabitasi antara komunitas Tionghoa dengan pemerintahan lokal. Orientasi bangunan yang menghadap ke barat, langsung ke Sungai Brantas, menandakan fungsinya sebagai tempat spiritual sekaligus navigasi dagang. Sungai Brantas pada masa itu masih menjadi jalur utama perdagangan Kediri, menghubungkan pesisir utara hingga ke pedalaman Jawa Timur.
Pengakuan kelenteng ini sebagai Benda Cagar Budaya melalui SK Kepala Balai Pelestarian Purbakala Mojokerto tahun 2009 (nomor: SP.202/0612a/UPT/DKP/2009) menegaskan pentingnya warisan arsitektur dan integrasi budaya pada masa pemerintahan Pangeran Purbanegara.
Politik, Kolonialisme, dan Tantangan Awal Abad ke-19
Era pemerintahan Pangeran Purbanegara berlangsung dalam kurun waktu yang sangat dinamis: meletusnya pemberontakan Raden Ronggo III di Madiun, invasi Inggris ke Jawa (1811–1816), transformasi ekonomi akibat penerapan sistem sewa tanah, serta munculnya gelombang awal yang kelak memuncak dalam Perang Diponegoro. Kediri, sebagai bagian dari wilayah Mancanegara Kasunanan, turut mengalami tekanan perubahan struktural dari pola patron-klien tradisional menuju birokrasi kolonial yang lebih sistematis. Dalam lanskap transisi ini, Pangeran Purbanegara memainkan peran ganda: sebagai penguasa lokal yang menjunjung nilai-nilai Jawa, sekaligus administrator yang diharuskan menyesuaikan diri dengan kepentingan pemerintahan kolonial.
Sayangnya, dokumentasi eksplisit mengenai kebijakan beliau terbatas. Namun, warisan fisik serta jaringan keluarga istana yang ditinggalkannya menunjukkan kapasitas dan kehati-hatian politiknya dalam menjaga stabilitas daerah.
Akhir Hayat dan Warisan: Astana Laweyan
Kanjeng Pangeran Tumenggung Arya Purbanegara mengakhiri masa jabatannya sebagai b²upati Kediri sekitar tahun 1825, bertepatan dengan pecahnya Perang Jawa (1825–1830) yang dipimpin oleh Pangeran Diponegoro. Seusai wafat, jenazahnya dimakamkan di Astana Laweyan, sebuah kompleks pemakaman bangsawan Mangkunegaran di Surakarta. Keberadaannya di kompleks pemakaman ini menjadi penanda penting bahwa, meskipun secara administratif ia menjabat sebagai bupati Kediri, secara genealogis dan spiritual ia tetap merupakan bagian integral dari inti kekuasaan dinasti Mangkunegaran.
Makam beliau berdampingan dengan makam Raden Arya Adi Pamenang, putra dari Pangeran Arya Balitar II—cucu Sinuhun Pakubuwana II—yang juga dimakamkan di kompleks yang sama. Letak makam yang berdampingan ini mengukuhkan posisi Pangeran Purbanegara dalam jaringan kekerabatan elite Jawa abad ke-19.
Salah satu keturunannya, yakni Kanjeng Ratu Pakubuwana VIII (putri dari Purbanegara), juga dimakamkan di kompleks yang sama. Hubungan antar-generasi ini menunjukkan kesinambungan politik dinasti serta peran aktif keluarga Purbanegara dalam struktur kekuasaan Jawa abad ke-19.
Kesimpulan: Membaca Ulang Sejarah Lokal dalam Lensa Historiografi Dinasti
Pangeran Purbanegara bukan sekadar tokoh lokal. Ia adalah representasi dari ekspansi pengaruh Mangkunegaran di wilayah timur Jawa, memainkan peran penting dalam membentuk sistem pemerintahan lokal Kediri yang bertahan hingga kini. Melalui pernikahan, pembangunan infrastruktur, dan stabilisasi sosial-politik, ia merajut integrasi antara kekuasaan Jawa, komunitas Tionghoa, dan struktur kolonial Belanda.
Penulisan ulang sejarah Pangeran Purbanegara tidak hanya memberi penghormatan kepada satu figur aristokrat yang terlupakan, tetapi juga membuka cakrawala baru bagi studi sejarah lokal berbasis pendekatan historiografi dinasti dan kolonialisme.