free web hit counter
Scroll untuk baca artikel
Hiburan, Seni dan Budaya

Pangeran-Pangeran Gelisah: Pergolakan Internal di Istana Yogyakarta Pasca-Perang Diponegoro

Penulis : Aunur Rofiq - Editor : Nurlayla Ratri

13
×

Rencana Rilis PlayStation 6 Berpotensi Terungkap, Berkat Microsoft

Share this article
Stik Playstation
Ilustrasi Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Johannes van den Bosch, berdialog dengan Sultan Hamengkubuwana V dan Sunan Pakubuwana VII. (Foto: ilustrasi dibuat oleh JatimTIMES)

JATIMTIMES - Usai Perang Jawa (1825–1830), istana Yogyakarta tidak serta-merta menjadi tempat yang tenang dan damai. Justru, di dalam tembok istana yang megah, ketegangan terus menggelora. 

Alih-alih melawan Belanda secara terbuka seperti Diponegoro, para pangeran yang tersisa justru saling bersaing, berkonspirasi, dan mencari peluang untuk merebut kekuasaan. Melansir berbagai sumber, tokoh-tokoh seperti Pangeran Adipati Prabuningrat dan Pangeran Adipati Mangkudiningrat muncul sebagai aktor utama dalam babak baru persaingan ini.

Baca Juga : 5 Rahasia Jamu Tradisional untuk Membersihkan Pembuluh Darah yang Terbukti Ampuh!

Dua tokoh ini, meski sama-sama mendapat hadiah besar dari Belanda atas peran mereka dalam Perang Jawa, ternyata menyimpan ambisi pribadi yang berbenturan satu sama lain. Konflik mereka tidak hanya berakar pada kepentingan politik, tetapi juga dendam pribadi yang semakin menguat seiring waktu.

Prabuningrat: Pendatang Baru yang Haus Kekuasaan

Pangeran Adipati Prabuningrat adalah figur yang menarik dalam sejarah Yogyakarta. Ia bukanlah keturunan langsung dari keluarga kerajaan, tetapi berhasil meraih posisi strategis sebagai Tumenggung, lalu naik menjadi kolonel pasukan prajurit Sultan. Kariernya yang meroket ini disertai dengan berbagai keuntungan finansial yang luar biasa.

Sebagai orang kepercayaan Belanda, Prabuningrat menerima tanah dan 1.000 cacah sebagai hadiah atas kontribusinya dalam perang. Tidak hanya itu, ia juga memperoleh penghasilan tahunan yang jauh melampaui para pangeran berdarah biru. Kenyataan ini membuatnya menjadi figur yang dibenci oleh banyak kalangan di istana.

Ambisinya semakin nyata ketika ia meminta Gubernur Jenderal Van den Bosch agar istrinya diangkat sebagai ratu dan putranya mendapat gelar pangeran adipati. Permintaan ini menunjukkan betapa besar ambisi politiknya—ia ingin mengubah status sosial keluarganya menjadi bagian dari dinasti penguasa Yogyakarta. Namun, Belanda hanya mengabulkan permintaan kedua, yang tetap tidak memuaskan bagi Prabuningrat.

Kekecewaan ini berkembang menjadi bibit pemberontakan. Residen Belanda mulai mencurigai aktivitasnya yang semakin berani menyalahi norma istana. Ia bahkan memerintahkan penari-penari laki-laki untuk tampil di hadapannya—suatu hak yang hanya dimiliki Sultan. Lebih jauh, Prabuningrat menginstruksikan agar "Babar Layar," lagu sakral bagi putra mahkota, dimainkan ketika gamelan berbunyi.

Akhirnya, kecurigaan Belanda berbuah tindakan keras. Residen Valck menangkap Prabuningrat atas tuduhan melakukan pembicaraan subversif dan berencana memberontak. Salah satu bukti terkuat adalah pengiriman gagang keris kepada para kepala wilayahnya—sebuah simbol ajakan perang.

Pada 20 September 1832, Prabuningrat dijatuhi hukuman pengasingan ke Banda. Wilayah Nanggulan, yang selama ini menjadi sumber kekayaannya, disita oleh pemerintah kolonial. Namun, pada tahun 1851, wilayah ini dikembalikan kepada Sultan Yogyakarta.

Mangkudiningrat: Dari Perampok ke Pengasingan

Saingan utama Prabuningrat, Pangeran Adipati Mangkudiningrat, juga mengalami nasib yang sama. Setelah tahun 1830, ia mulai berhubungan dengan kelompok-kelompok perampok yang berkeliaran di wilayah Yogyakarta. Residen Belanda mencurigai bahwa ia adalah dalang di balik serangkaian perampokan bersenjata di perbatasan Kedu dan Yogyakarta pada Oktober 1831.

Dengan alasan menjaga stabilitas, gubernur jenderal langsung mengizinkan penangkapan Mangkudiningrat. Ia ditangkap dan dijebloskan ke Benteng Oranye di Semarang sebelum akhirnya diasingkan ke Ambon pada 31 Desember 1831. Tanah miliknya di Kalibawang diberikan kepada adiknya, Pangeran Adipati Natapraja, sebelum akhirnya dikembalikan kepada Sultan pada 1854.

Pembersihan Keturunan Diponegoro

Di tengah konflik para pangeran ambisius, keturunan Diponegoro menjadi korban kebijakan represif Belanda. Pangeran Dipokusumo telah lebih dulu dipindahkan ke Sumenep pada 1834, tetapi tindakan yang lebih drastis dilakukan pada 1840. Saat itu, tiga putra Diponegoro—Pangeran Dipokusumo, Pangeran Dipodiningrat, dan Raden Mas Raib—diasingkan ke Maluku.

Belanda tampaknya menyadari bahwa meski Diponegoro telah ditangkap, nama dan pengaruhnya masih sangat kuat. Konspirasi yang melibatkan Syekh Prawitasari serta pertikaian antara Progo dan Bogowonto menjadi bukti bahwa semangat perlawanan masih membara. Pemerintah kolonial mengambil langkah pencegahan dengan memastikan bahwa para keturunan Diponegoro tidak memiliki kesempatan untuk kembali membangun jaringan perlawanan.

Pangeran Arya Rangga: Bayangan Diponegoro di Akhir Zaman

Baca Juga : Hari Ini Jumat Agung, Ini Jadwal Ibadah di Sejumlah Gereja di Malang

Meski Belanda merasa telah berhasil meredam keturunan Diponegoro, masih ada satu sosok yang luput dari perhatian mereka: Pangeran Arya Rangga. Pada 1849, residen Yogyakarta saat itu, A.H.W. de Kock, melaporkan bahwa Arya Rangga menunjukkan perilaku mencurigakan.

Berbeda dengan pangeran-pangeran lainnya, Arya Rangga memilih jalan spiritual. Ia mengasingkan diri, mendekatkan diri dengan para ulama, dan menjalin hubungan erat dengan kiai-kiai terkemuka di Kedu dan Madiun. Seorang ulama bernama Hasan Besari bahkan melaporkan bahwa para pemimpin agama di Jawa siap memberikan dukungan kepadanya.

Isu yang berkembang menyebut bahwa Arya Rangga tengah merencanakan pemberontakan. Namun, hingga kini, masih diperdebatkan apakah ia benar-benar memiliki niat untuk melawan Belanda atau hanya menjadi korban intrik politik residen.

Gubernur Jenderal Rochussen, yang tidak ingin mengambil risiko, mengeluarkan perintah penangkapan Arya Rangga sebelum perlawanan itu sempat dimulai. Ia ditangkap dan diasingkan ke Ternate, Maluku.

Menariknya, terdapat dokumen yang menunjukkan bahwa Arya Rangga masih menganggap Diponegoro sebagai Sultan Erucakra dan bersedia mengorbankan dirinya demi perjuangan sang kakak. Namun, dalam surat lain yang ditujukan kepada ibunya, ia justru menyatakan bahwa tujuannya hanyalah untuk mendapatkan jabatan dan penghasilan yang lebih baik—bukan memberontak.

Istana yang Tak Pernah Damai

Dari perseteruan Prabuningrat dan Mangkudiningrat hingga pengasingan para keturunan Diponegoro, sejarah istana Yogyakarta pada paruh pertama abad ke-19 adalah cerminan dari betapa rentannya kekuasaan feodal dalam bayang-bayang kolonialisme.

Belanda, yang awalnya hanya bertindak sebagai penguasa eksternal, secara perlahan berhasil mengendalikan dinamika internal istana. Mereka tidak hanya menjadikan para pangeran sebagai boneka, tetapi juga memanfaatkan konflik di antara mereka untuk mempertahankan dominasi kolonial.

Namun satu hal tetap membara dalam kesunyian zaman: meski Diponegoro telah lama dirantai dan para pewarisnya dilempar ke pengasingan yang jauh dari tanah kelahirannya, bara perlawanan di Yogyakarta tak pernah benar-benar padam. Di balik tembok keraton yang tampak tenang, gema konspirasi istana berdentang lirih, menyusun takdir di balik kelindan diplomasi dan dusta. 

Di lorong-lorong kampung, di balik dinding masjid dan rumah-rumah sederhana, gerilya senyap mengalir seperti sungai bawah tanah: tak terlihat, namun terus menggerus fondasi kekuasaan penjajah. Kolonialisme boleh menancapkan benderanya, tapi jiwa rakyat Jawa tak pernah tunduk sepenuhnya. Perlawanan menjadi darah yang mengalir, doa yang dipanjatkan, dan janji yang diwariskan dari generasi ke generasi: bahwa tanah ini, suatu hari nanti, akan bebas oleh tangan anak-anaknya sendiri.