free web hit counter
Scroll untuk baca artikel
Hiburan, Seni dan Budaya

Pangeran Djonet: Penerus Diponegoro dan Perlawanan yang Tak Tercatat Sejarah

Penulis : Aunur Rofiq - Editor : Sri Kurnia Mahiruni

13
×

Rencana Rilis PlayStation 6 Berpotensi Terungkap, Berkat Microsoft

Share this article
Stik Playstation
Kiri: Lukisan Pangeran Djonet, putra Pangeran Diponegoro yang jejak perjuangannya tersembunyi dalam sejarah. Kanan: Lukisan Pangeran Diponegoro, simbol perlawanan Jawa terhadap kolonialisme Belanda. (Foto: Istimewa)

JATIMTIMES - Pada abad ke-19, ketika api perlawanan terhadap kolonialisme Belanda berkobar di Nusantara, nama Pangeran Diponegoro menjadi simbol perlawanan nasional. 

Namun, di balik kisah heroik itu, terdapat kisah lain yang jarang diangkat, yaitu tentang putra sulungnya, Pangeran Djonet, yang hidupnya penuh dengan lika-liku perjuangan, pelarian, dan dedikasi dalam mempertahankan identitas serta kehormatan keluarga. Artikel ini mencoba menelusuri jejak Pangeran Djonet di Bogor, sebuah kota yang menjadi persinggahan sekaligus tempat peristirahatan terakhirnya.

Kelahiran dan Latar Belakang Keluarga

Baca Juga : Sebanyak 39 Ribu Kendaraan Tinggalkan Malang Lewat Tol pada Puncak Arus Balik Lebaran

Pangeran Djonet, atau nama lengkapnya Raden Mas Djonet Dipomenggolo, lahir pada tahun 1815 di Yogyakarta. Ia adalah putra pertama dari Pangeran Diponegoro dan Raden Ayu Maduretno, yang merupakan istri kelima Diponegoro sekaligus putri ketiga Raden Ronggo Prawiradirjo III. Sebagai keturunan langsung dari garis bangsawan Mataram, Pangeran Djonet sejak dini sudah terbiasa berada di lingkaran kekuasaan dan perjuangan.

Sejak usia sepuluh tahun, Djonet bersama adik-adiknya, Pangeran Roub dan Diponegoro Anom, sering mendampingi ayah mereka dalam berbagai pertemuan penting. Pengalaman ini menjadi fondasi pembentukan kepribadiannya. Ia menyaksikan langsung siasat perang, kemenangan, kekalahan, hingga pengkhianatan yang merusak cita-cita perjuangan keluarga.

Masa Muda dan Pelarian

Pada tahun 1830, saat Pangeran Diponegoro ditangkap oleh Belanda di Magelang, Djonet yang kala itu berusia 15 tahun turut dibawa dalam perjalanan menuju pengasingan di Manado. Namun, menurut kisah turun-temurun, Djonet berhasil melarikan diri di tengah perjalanan bersama para pengikut setianya. Ia kemudian menetap sementara di Batavia (Jakarta).

Di Batavia, Djonet berlindung di komunitas keturunan prajurit Mataram yang menetap di daerah Matraman. Wilayah ini sebelumnya merupakan basis tentara Mataram di masa penyerangan Sultan Agung ke Batavia pada abad ke-17. Di sini, Djonet mulai membangun kembali jaringan perlawanan dengan merekrut pemuda-pemuda setempat.

Sekitar tahun 1832, Djonet memutuskan pindah ke Bogor, daerah yang lebih aman dari pengawasan ketat Belanda. Di sana, ia mendirikan sebuah perkampungan bernama Kampung Jabaru, singkatan dari Jawa Baru. Bersama pengikutnya, ia membuka lahan baru dan menjadikan kampung itu sebagai basis komunitas Mataram yang baru di wilayah Bogor.

Pada usia 17 tahun, Djonet menikah dengan seorang perempuan keturunan Tionghoa bernama Boen Nioh, yang kemudian memeluk Islam dan berganti nama menjadi Nyi Mas Ayu Fatmah. Pernikahan ini memperkuat posisinya di komunitas setempat sekaligus menambah dukungan dari berbagai kalangan etnis di daerah tersebut.

Djonet tidak hanya fokus pada kehidupan pribadi, tetapi juga terus menjalin komunikasi dengan para pengikut Pangeran Diponegoro yang tersebar di berbagai wilayah. Ia diketahui sering menghadiri acara keagamaan di Masjid Jami Matraman, yang didirikan oleh komunitas Mataram di Batavia.

Selain itu, ia juga turut berkontribusi dalam pembangunan Masjid Jami Mataram di Bogor pada tahun 1837, sebuah masjid dengan arsitektur megah yang menjadi simbol persatuan dan identitas komunitas Mataram. Peran Djonet dalam mendirikan masjid ini menunjukkan bahwa ia tetap menjaga warisan spiritual dan kultural keluarga Mataram meskipun berada dalam pelarian.

Akhir Hidup dan Kritik Sejarah

Baca Juga : Puncak Arus Balik Lebaran 2025, Penumpang di Terminal Arjosari Naik 28%

Menurut catatan sejarah lokal serta cerita dari para keturunannya, Pangeran Djonet wafat pada usia sekitar 70 tahun dan dimakamkan di Kampung Kebon Kelapa, Cikaret, Bogor Selatan. Hingga kini, makamnya masih menjadi tempat ziarah sekaligus pengingat akan jejak perjuangan keturunan Pangeran Diponegoro di tanah perantauan.

Meski namanya tidak setenar sang ayah, Pangeran Djonet meninggalkan jejak yang signifikan dalam sejarah Bogor. Ia menjadi simbol keteguhan seorang pejuang yang tidak pernah menyerah pada keadaan. Kampung Jabaru, Kampung Dukuh Jawa, serta Masjid Jami Mataram merupakan warisan nyata dari dedikasinya terhadap komunitas dan identitasnya sebagai keturunan Mataram.

Penulisan sejarah Pangeran Djonet tidak terlepas dari polemik dan beragam interpretasi. Beberapa sumber menyebutkan bahwa ia gugur dalam pertempuran pada tahun 1837. Namun, versi lain menyatakan bahwa ia hidup hingga usia lanjut dan meninggalkan banyak keturunan di Bogor. Perbedaan ini mencerminkan bagaimana sejarah kerap ditulis dari sudut pandang penguasa—dalam hal ini kolonial Belanda—yang cenderung mendiskreditkan peran keluarga Diponegoro.

Sebagai peneliti, kita dituntut untuk terus menggali sumber-sumber lokal, cerita lisan, serta bukti material guna membangun pemahaman sejarah yang lebih utuh. Kisah Pangeran Djonet menjadi pengingat bahwa sejarah tidak hanya milik tokoh-tokoh besar, tetapi juga mereka yang berjuang dalam bayang-bayang, membangun fondasi kokoh bagi generasi penerus.

Jejak Pangeran Djonet di Bogor merupakan bagian dari narasi besar perjuangan keluarga Diponegoro melawan kolonialisme. Meski kerap luput dari perhatian, kisah ini penting untuk diangkat agar generasi muda tidak melupakan akar sejarah mereka. Kampung Jabaru dan makam Pangeran Djonet di Cikaret kini menjadi saksi bisu dari sebuah bab terlupakan dalam sejarah perlawanan Indonesia.

Dengan mengangkat kisah ini, kita tidak hanya memberi penghormatan pada perjuangan masa lalu, tetapi juga belajar tentang keteguhan hati, kebijaksanaan, dan semangat pantang menyerah yang tetap relevan hingga hari ini.