free web hit counter
Scroll untuk baca artikel
Hiburan, Seni dan Budaya

Meluruskan Sejarah Brawijaya V: Dyah Kertawijaya, Bukan Bhre Kertabhumi

Penulis : Aunur Rofiq - Editor : Sri Kurnia Mahiruni

13
×

Rencana Rilis PlayStation 6 Berpotensi Terungkap, Berkat Microsoft

Share this article
Stik Playstation
Ilustrasi seorang raja Majapahit abad ke-15 mengenakan atribut kebesaran kerajaan. Dalam sejarah Jawa, para penguasa Majapahit akhir kerap disebut dengan gelar simbolik 'Brawijaya', yang penggunaannya sering kali menimbulkan kekeliruan identifikasi dalam tradisi populer dan historiografi modern. (Foto: Dibuat dengan AI/JatimTIMES)

JATIMTIMES - Sejarah mencatat bahwa kemunduran Majapahit berakar pada konflik internal yang berlarut-larut sejak akhir abad ke-14. Salah satu titik krusialnya adalah Perang Paregreg (1401–1405 M), sebuah perang saudara antara Prabu Wikramawarddhana dan Bhre Wirabhumi. 

Perang ini menjadi pemicu utama kehancuran Majapahit, tidak hanya melemahkan ekonomi dan militer kerajaan, tetapi juga menggerogoti otoritas raja di mata para vasal dan wilayah bawahan.

Baca Juga : Arus Lalu Lintas Menumpuk di Utama Raya Situbondo, Kapolres AKBP Rezi Turun Langsung Urai Kemacetan

Dalam konflik ini, Bhre Wirabhumi mengalami kekalahan telak. Ia mencoba melarikan diri, tetapi dikejar dan akhirnya dieksekusi oleh Bhre Narapati. Kepalanya dipenggal dan dipersembahkan di Majapahit. Tragedi ini menandai babak baru dalam sejarah Majapahit, di mana perebutan kekuasaan tidak hanya terjadi di kalangan elite istana, tetapi juga memunculkan ketidakstabilan politik yang berkepanjangan.

Dampak Perang Paregreg tidak berhenti pada perang saudara. Pada saat yang sama, wilayah-wilayah penting seperti Palembang mengalami kemerosotan akibat pemberontakan Parameswara, yang kemudian mendirikan Kesultanan Malaka. 

Selain itu, insiden tewasnya 170 orang prajurit Kaisar Cina yang berada di Blambangan semakin memperburuk hubungan diplomatik Majapahit dengan Dinasti Ming. Wikramawarddhana harus membayar ganti rugi sebesar 10.000 tail emas kepada Kaisar, sebuah jumlah yang besar dan menunjukkan betapa lemahnya posisi Majapahit dalam politik internasional kala itu.

Sejak saat itu, Majapahit terus menghadapi pemberontakan demi pemberontakan, termasuk di Bali, Pasunggiri, dan Bhre Daha pada tahun 1434 M. Kekuasaan yang rapuh ini mencapai puncaknya ketika Dyah Suhita, putri Wikramawarddhana, naik tahta. Ia harus menghadapi berbagai intrik politik yang menyebabkan tersingkirnya tokoh-tokoh penting seperti Mahapatih Tuan Kanaka dan Ratu Anggabhaya Bhre Narapati. Bahkan Arya Damar, pahlawan yang berjasa menumpas berbagai pemberontakan, diasingkan ke Palembang.

Dyah Kertawijaya: Raja Majapahit yang Sah

Pasca wafatnya Dyah Suhita pada 1447 M, Dyah Kertawijaya naik tahta sebagai penguasa baru Majapahit dengan gelar Sri Prabu Kertawijaya Wijaya Parakramawarddhana. Dalam Babad Tanah Jawi, ia disebut sebagai Raden Alit, yang kemudian dikenal sebagai Brawijaya V.

Banyak sumber sejarah yang menyebutkan bahwa Brawijaya V yang sejati adalah Dyah Kertawijaya, bukan Bhre Kertabhumi. Hal ini didukung oleh berbagai silsilah kerajaan, termasuk Babad Ponorogo, Babad Gresik, Babad Pengging, dan Serat Kandha, yang mencatat bahwa Dyah Kertawijaya adalah pemimpin Majapahit yang sah dan memiliki perhatian besar terhadap perkembangan Islam.

Dyah Kertawijaya dikenal memiliki beberapa istri yang berasal dari Campa dan Cina, yang beragama Islam. Banyak putra-putranya juga memeluk Islam, di antaranya Arya Damar, yang menjadi Adipati Palembang; Raden Arak-kali Bathara Katwang, Adipati Ponorogo; Arya Lembu Peteng, Adipati Pamadegan; Arya Menak Koncar, Adipati Lumajang; Raden Patah, Adipati Demak; Raden Bondan Kejawen, yang juga dikenal sebagai Kyai Ageng Tarub II; serta Raden Dhandhun Wangsaprana, yang dikenal sebagai Syekh Belabelu.

Kebijakan Dyah Kertawijaya dalam menunjuk pejabat dari kalangan Muslim semakin memperlihatkan bahwa era Majapahit saat itu sudah mengalami pergeseran besar. Tokoh-tokoh Muslim seperti Arya Teja menjadi Adipati Tuban, Arya Lembu Sura menjadi Raja Surabaya, sementara Sayyid Es (Syaikh Suta Maharaja) diangkat sebagai Adipati Kendal. Bahkan, Ali Rahmatullah (Sunan Ampel) dipercaya sebagai imam besar di Surabaya.

Perang Suksesi: Konflik Pasca Wafatnya Dyah Kertawijaya

Dyah Kertawijaya wafat pada 1451 M dan didarmakan di Kertawijayapura, yang diduga terletak di dekat makam Putri Campa, Darawati. Sepeninggalnya, Majapahit kembali masuk ke dalam periode krisis.

Tahta diambil alih oleh Dyah Wijayakumara Bhre Pamotan, menantu Dyah Kertawijaya, yang naik tahta dengan gelar Sri Rajasawarddhana. Namun, penobatannya di Keling-Kahuripan (Daha-Kediri) menunjukkan adanya ketidakstabilan politik, karena ia bukan pewaris langsung. Hanya dalam dua tahun, ia kehilangan kendali atas kerajaan dan akhirnya meninggal secara tragis dengan melompat ke laut.

Hyang Purwawisesa memerintah Majapahit selama sepuluh tahun dengan meneruskan kebijakan ayahandanya, Sri Prabu Kertawijaya, yang memberikan kedudukan penting kepada kerabat-kerabatnya yang beragama Islam. Pada masa pemerintahannya, Raden Patah, saudara lain ibu, diangkat sebagai Pecat Tandha di Bintara di bawah Adipati Demak, Lembu Sora. Raden Kusen, putra Arya Damar sekaligus keponakannya, diangkat sebagai Pecat Tandha di Terung. Saudaranya yang lain, Bhattara Katong, yang telah memeluk Islam, diangkat menjadi raja di Wengker (Ponorogo). Sementara itu, Raden Paku, keturunan Bhre Wirabhumi, diangkat sebagai raja muda di Giri dengan gelar Prabu Satmata.

Hyang Purwawisesa wafat pada tahun Saka 1388 (1466 M) dan didarmakan di Puri (Hyang Purwawisesa mokta dhinarma ring Puri i saka brahmana-nagagni-sitangsu). Ia kemudian digantikan oleh putranya, Bhre Pandansalas Dyah Suraprabhawa, yang saat itu menjabat sebagai Bhattara Turmapel. Setelah naik takhta, ia bergelar Singhawikramawarddhana. Dalam Prasasti Trowulan II, disebutkan bahwa permaisurinya adalah Bhre Singhapura Dyah Sripura Rajasawarddhanadewi.

Sayangnya, kekuasaan Singhawikramawarddhana hanya berlangsung selama dua tahun. Pada 1468 M, ia digulingkan oleh Bhre Kertabhumi dalam sebuah kudeta, yang semakin mempercepat kemunduran Majapahit.

Bhre Kertabhumi dan Kekeliruan Sejarah

Bhre Kertabhumi, yang naik tahta setelah 1468 M, sering kali disebut sebagai Brawijaya V, padahal ia sebenarnya tidak memiliki legitimasi penuh atas tahta Majapahit. Kekeliruan ini muncul dalam berbagai babad dan historiografi yang kemudian menyamakan Bhre Kertabhumi dengan Brawijaya V.

Namun, fakta sejarah menunjukkan bahwa Brawijaya V adalah Dyah Kertawijaya, yang berkuasa dari 1447–1451 M, sedangkan Bhre Kertabhumi adalah penguasa yang naik tahta secara tidak sah setelah menggulingkan raja sebelumnya. Kudeta Bhre Kertabhumi justru mempercepat kejatuhan Majapahit, yang akhirnya benar-benar runtuh setelah serangan Demak pada 1478 M.

Dalam berbagai sumber, Bhre Kertabhumi digambarkan sebagai sosok yang lemah dalam menghadapi tekanan dari Demak dan kerajaan-kerajaan Islam lainnya. Pada akhirnya, Majapahit ditaklukkan oleh Raden Patah—putra Dyah Kertawijaya—yang mendirikan Kesultanan Demak sebagai penerus legitimasi politik Nusantara.

Historiografi: Membedah Dyah Kertawijaya sebagai Brawijaya V dari Jalur Nasab

Dalam narasi historiografi Majapahit, sosok Dyah Kertawijaya kerap dikaburkan oleh bayang-bayang Brawijaya yang lebih populer dalam tradisi tutur. Nama "Brawijaya" sendiri bukanlah gelar resmi, melainkan penyebutan yang berkembang dalam babad dan cerita rakyat untuk merujuk pada raja-raja terakhir Majapahit. Dalam berbagai sumber sejarah, Dyah Kertawijaya sering disebut sebagai Sri Maharaja Wijayaparakramawardhana yang memerintah Majapahit pada 1447–1451.

Dyah Kertawijaya adalah putra Wikramawardhana, raja Majapahit yang bertakhta dari 1389 hingga 1429. Ia merupakan saudara Suhita, maharani Majapahit yang berkuasa dari 1429 hingga 1447. Saat Suhita wafat tanpa keturunan, Dyah Kertawijaya naik takhta menggantikannya, menjadikannya raja ketujuh Majapahit dari garis keturunan Raden Wijaya.

Dalam silsilah Wangsa Rajasa, Dyah Kertawijaya memiliki gelar Bhre Tumapel sebelum menjadi raja. Gelar ini menunjukkan bahwa sebelum naik takhta, ia kemungkinan besar memerintah salah satu daerah vasal Majapahit. Ia menikah dengan perempuan Muslim dari Champa dan Cina, yang kemudian menurunkan para pangeran penyebar Islam seperti Batara Katong, Raden Patah, dan Arya Damar.

Dyah Kertawijaya sebagai Brawijaya V

Baca Juga : Madiun Melawan: Ronggo Prawirodiningrat dan Api Perang Jawa

Salah satu perdebatan utama dalam historiografi Majapahit adalah siapa yang sebenarnya disebut sebagai Brawijaya V. Dalam banyak versi Babad Tanah Jawi dan tradisi lisan, Brawijaya V sering diidentifikasi sebagai raja terakhir Majapahit sebelum keruntuhannya akibat serangan Demak. 

Namun, jika merujuk pada daftar penguasa Majapahit yang didukung oleh Pararaton dan Prasasti Waringin Pitu, nama terakhir dalam daftar tersebut adalah Dyah Ranawijaya (Girindrawardhana), yang mengalahkan Bhre Kertabhumi pada 1478.

Penulis berpendapat bahwa "Brawijaya" merupakan sebutan dalam historiografi modern yang digunakan untuk merujuk pada para penguasa laki-laki Majapahit, terutama mereka yang memerintah pada periode akhir kejayaan kerajaan tersebut. Sebutan ini tidak dikenal dalam prasasti-prasasti resmi, tetapi berkembang melalui tradisi babad dan kronik Jawa, yang menyusun urutan raja-raja Majapahit berdasarkan gelar simbolik tersebut.

Dalam kerangka ini, Dyah Kertawijaya lebih tepat disebut sebagai Brawijaya V, apabila mengacu pada silsilah tradisional yang menempatkan Raden Wijaya (Kertarajasa Jayawardhana) sebagai Brawijaya I, Jayanegara sebagai Brawijaya II, Hayam Wuruk sebagai Brawijaya III, dan Wikramawardhana sebagai Brawijaya IV. Dyah Kertawijaya, yang memerintah pada pertengahan abad ke-15 dan didarmakan di Kertawijayapura, melanjutkan garis legitimasi kerajaan di tengah mulai rapuhnya fondasi politik dan sosial Majapahit.

Jika klasifikasi ini diterima, maka Bhre Kertabhumi, yang memerintah antara tahun 1468 hingga 1478, tidak dapat lagi dianggap sebagai Brawijaya V sebagaimana umum diyakini dalam tradisi populer. Sebab, antara wafatnya Dyah Kertawijaya dan naiknya Bhre Kertabhumi, terdapat sejumlah raja yang secara kronologis menempati posisi kepemimpinan dan secara berurutan dapat diklasifikasikan sebagai Brawijaya VI hingga VIII.

Pengganti pertama setelah Dyah Kertawijaya adalah menantunya, Dyah Wijayakumara (Bhre Pamotan), yang naik takhta dengan gelar Sri Rajasawarddhana. Ia dinobatkan di Keling-Kahuripan (Daha-Kediri), bukan di ibu kota Majapahit, sebuah indikasi akan ketidakstabilan politik dan lemahnya klaim legitimasi. Masa pemerintahannya berlangsung singkat dan berakhir tragis. 

Sesudahnya, kekuasaan dilanjutkan oleh Hyang Purwawisesa, yang dikenal karena mengadopsi kebijakan integratif terhadap kerabat-kerabatnya yang beragama Islam. Ia memerintah selama lebih dari satu dekade dan membuka ruang bagi tokoh-tokoh Islam seperti Raden Patah, Raden Kusen, dan Bhattara Katong untuk memainkan peran penting dalam struktur kekuasaan Majapahit.

Sepeninggal Hyang Purwawisesa, tahta Majapahit diwarisi oleh putranya, Bhre Pandansalas Dyah Suraprabhawa, yang bergelar Singhawikramawarddhana. Pemerintahannya pun berlangsung singkat, hanya dua tahun, sebelum akhirnya digulingkan melalui kudeta oleh Bhre Kertabhumi pada tahun 1468.

Dengan mempertimbangkan seluruh rangkaian transisi kekuasaan tersebut, Bhre Kertabhumi secara kronologis merupakan penguasa kesembilan dalam urutan raja-raja Majapahit yang menyandang gelar simbolik "Brawijaya." Maka dari itu, secara historiografis, lebih tepat apabila Bhre Kertabhumi diklasifikasikan sebagai Brawijaya IX, bukan Brawijaya V.

Masa pemerintahan Dyah Kertawijaya berlangsung relatif singkat, sekitar empat tahun (1447–1451). Pararaton mencatat bahwa ia dibunuh oleh Rajasawardhana, penguasa berikutnya. Hal ini menunjukkan adanya konflik internal yang semakin melemahkan Majapahit.

Masa pemerintahannya juga ditandai oleh semakin kuatnya pengaruh Islam di pantai utara Jawa. Sunan Ampel mulai dikenal sebagai pemuka agama berpengaruh, sementara Kesultanan Malaka mulai berkembang pesat sebagai pusat perdagangan. Tekanan dari kerajaan-kerajaan Islam di pesisir menjadi ancaman besar bagi stabilitas Majapahit, yang kala itu mulai kehilangan kendali atas daerah-daerah taklukannya.

Setelah kematiannya, Rajasawardhana naik takhta, tetapi ia pun hanya memerintah selama dua tahun sebelum akhirnya digantikan oleh Girisawardhana. Dinamika ini menunjukkan bahwa Majapahit tengah memasuki masa disintegrasi yang semakin sulit dibendung.

Dyah Kertawijaya adalah sosok yang lebih layak disebut sebagai Brawijaya V, bukan Bhre Kertabhumi. Dalam kronologi pemerintahan Majapahit, ia adalah raja ketujuh yang memerintah setelah Hayam Wuruk. Meskipun masa pemerintahannya singkat, kepemimpinannya menandai fase awal kemunduran Majapahit, yang semakin diperparah oleh konflik internal dan ancaman dari kerajaan-kerajaan Islam di pesisir.

Dengan demikian, dalam kajian historiografi, penting untuk memilah antara mitos dan fakta sejarah. Brawijaya V bukanlah raja terakhir Majapahit, melainkan salah satu raja dalam rentetan penguasa yang perlahan-lahan menyaksikan kehancuran imperium yang pernah berjaya di Nusantara ini.

Meluruskan Historiografi Brawijaya V

Kekeliruan historiografi mengenai Brawijaya V harus diluruskan. Berdasarkan sumber primer dan sekunder yang tersedia, dapat disimpulkan bahwa Brawijaya V yang sejati adalah Dyah Kertawijaya (1447–1451 M), bukan Bhre Kertabhumi (1468–1478 M).

Dyah Kertawijaya adalah penguasa sah Majapahit yang berperan besar dalam perkembangan Islam di lingkungan kerajaan dan menjadi leluhur utama dinasti-dinasti Islam di Jawa, seperti Demak, Pajang, dan Mataram Islam. Di bawah kepemimpinannya,  putera dan kerabatnya yang telah memeluk Islam mendapat kedudukan penting, termasuk Raden Patah yang diangkat sebagai Pecat Tandha di Bintara, Raden Kusen yang ditempatkan di Terung, Bhattara Katong yang menjadi penguasa Wengker, serta Raden Paku yang membangun basis keagamaan di Giri. 

Dari garis keturunannya inilah muncul tokoh-tokoh berpengaruh dalam Islamisasi Jawa, seperti Ki Ageng Pengging, Jaka Tingkir (Sultan Hadiwijaya), Ki Ageng Selo, Ki Ageng Pamanahan, Panembahan Senapati, hingga Sultan Agung. Dengan kata lain, Dyah Kertawijaya bukan sekadar penguasa Majapahit, tetapi juga figur kunci dalam transisi dari era Hindu-Buddha ke era Islam di tanah Jawa.

Namun, historiografi tradisional justru kerap mengabaikan peran Dyah Kertawijaya dan lebih menonjolkan Bhre Kertabhumi sebagai raja terakhir Majapahit. Dalam berbagai babad dan sumber kolonial, Kertabhumi sering kali dianggap sebagai pemimpin yang sah, padahal ia merebut kekuasaan melalui kudeta pada tahun 1468 M dengan menggulingkan Singhawikramawarddhana (putra Dyah Kertawijaya). Fakta ini menunjukkan bahwa Kertabhumi bukanlah penerus langsung dalam garis dinasti Majapahit yang sah, melainkan seorang perebut takhta yang justru mempercepat keruntuhan kerajaan.

Kesalahan historiografi ini berdampak pada pemahaman yang keliru mengenai akhir Majapahit dan asal-usul dinasti-dinasti Islam di Jawa. Narasi dominan yang menyebut bahwa "keturunan Majapahit" berakhir pada Kertabhumi perlu dikoreksi, karena justru garis keturunan Dyah Kertawijaya yang berlanjut dan membentuk peradaban baru di Nusantara.

Demak, sebagai kerajaan Islam pertama di Jawa, bukanlah entitas yang sepenuhnya terpisah dari Majapahit, melainkan kelanjutan dari garis penguasa sah yang diturunkan dari Dyah Kertawijaya. Oleh karena itu, meluruskan historiografi Majapahit bukan hanya soal merevisi kronologi, tetapi juga memulihkan peran tokoh-tokoh yang selama ini terpinggirkan dalam narasi sejarah yang lebih luas.