JATIMTIMES - Perang Jawa (1825–1830) bukan sekadar perlawanan seorang pangeran yang merasa haknya dirampas, melainkan perang yang berakar pada ketidakadilan kolonial, penindasan, dan kemerosotan legitimasi Kesultanan Yogyakarta di bawah kendali Belanda. Salah satu tokoh yang memainkan peran penting dalam perang ini adalah Raden Mas Dipoatmaja, juga dikenal sebagai R.M. Dipokusumo atau Pangeran Abdul Aziz, putra kedua Pangeran Diponegoro dari Retno Madubrongto. Lahir pada tahun 1805, ia sudah cukup dewasa ketika Perang Jawa pecah dan menjadi salah satu pemimpin pasukan Diponegoro di kawasan Pacitan dan Madiun.
Ketika perang pecah pada 20 Juli 1825, Pangeran Diponegoro dan para pengikutnya melakukan serangkaian serangan mendadak terhadap pos-pos Belanda. Di wilayah Pacitan, perang dipimpin oleh Bupati Mas Tumenggung Joyokariyo, Mas Tumenggung Jimat, dan Ahmad Aris, dengan R.M. Dipoatmaja sebagai salah satu tokoh yang turut serta dalam pertempuran.
Pewaris Darah Ksatria dan Ulama
Baca Juga : 9 Kota Tujuan Wisata Populer di Jawa Timur, Wajib Coba Kuliner Khasnya!
Lahir pada tahun 1805, Raden Mas Dipoatmaja, yang juga dikenal sebagai R.M. Dipokusumo atau Pangeran Abdul Aziz, adalah putra kedua Pangeran Diponegoro dari pernikahannya dengan Raden Ayu Retno Madubrongto. Ibunya adalah seorang guru agama, putri dari Kiai Gede Dadapan, seorang kepala Pathok Negara di Dadapan, Sleman. Dari garis keturunan ini, Dipoatmaja mewarisi dua hal sekaligus: darah seorang ulama dari pihak ibunya dan darah ksatria pejuang dari pihak ayahnya.
Ayahnya, Pangeran Diponegoro, adalah tokoh yang sangat religius, melihat dirinya bukan sekadar pangeran pewaris takhta, tetapi juga pemimpin spiritual yang berjuang untuk menegakkan nilai-nilai Islam dan keadilan di Tanah Jawa. Kombinasi antara pendidikan keagamaan dan tradisi keprajuritan aMadubrongto bukan sekadar istri pertama Pangeran Diponegoro, tetapi juga seorang wanita yang memiliki kedalaman spiritual dan keturunan dari garis ulama terkemuka. Ia adalah putri kedua dari Kiai Gede Dadapan, seorang pemuka agama yang menjadi kepala Pathok Negara Dadapan di Sleman, sebuah lembaga keagamaan yang memiliki peran penting dalam sistem keislaman di Kesultanan Yogyakarta.
Sebagai seorang guru agama, Raden Ayu Retno Madubrongto tumbuh dalam lingkungan pesantren dan dibesarkan dalam tradisi Islam yang kuat. Pendidikan agama yang ia terima sejak kecil membentuknya menjadi seorang perempuan yang cerdas, salehah, dan memiliki pemahaman mendalam tentang ajaran Islam. Hal ini yang membuatnya menjadi sosok yang dihormati di lingkungannya.
Pernikahan Pangeran Diponegoro dengan Raden Ayu Retno Madubrongto bukan sekadar ikatan keluarga biasa, tetapi juga memiliki nilai ideologis dan spiritual yang mendalam.
Diponegoro bukan hanya seorang pangeran, tetapi juga seorang yang sangat religius, dan pemikirannya banyak dipengaruhi oleh para ulama. Pernikahannya dengan putri seorang kepala Pathok Negara semakin memperkuat posisi Diponegoro dalam lingkaran ulama tradisional yang memiliki pengaruh besar di kalangan masyarakat Jawa.
Dari pernikahan ini, mereka dikaruniai dua orang putra. Putra pertama adalah R.M. Dipoatmaja, yang juga dikenal sebagai Pangeran Abdul Aziz, dan kelak menjadi salah satu pemimpin perlawanan dalam Perang Jawa (1825–1830). Sementara itu, putra kedua adalah Pangeran Diponegoro II, yang turut serta dalam Perang Jawa dan kemudian diasingkan ke Madura.
Sebagai istri, Raden Ayu Retno Madubrongto memainkan peran penting dalam kehidupan pribadi dan spiritual Diponegoro. Ia menjadi pendamping setia dalam pencarian spiritual suaminya dan mendukung gagasan-gagasan keagamaannya.
Pernikahan ini juga menegaskan bahwa Diponegoro, meskipun seorang pangeran, lebih memilih untuk menikahi seorang perempuan dari kalangan ulama dibandingkan dengan putri bangsawan istana. Hal ini menunjukkan bahwa sejak awal, Diponegoro lebih dekat dengan lingkungan santri dan kaum agamawan dibandingkan dengan istana Kesultanan Yogyakarta yang ia anggap sudah terlalu tunduk pada pengaruh Belanda.
Awal Perang: Dari Mataram ke Pacitan dan Madiun
Ketika Perang Jawa pecah pada 20 Juli 1825, R.M. Dipoatmaja yang saat itu telah berusia 20 tahun, turut serta dalam perjuangan ayahnya. Diponegoro menerapkan strategi perang gerilya di berbagai daerah, termasuk Pacitan dan Madiun, wilayah yang menjadi basis perlawanan putranya.
Di Pacitan, perang dipimpin oleh Bupati Mas Tumenggung Joyokariyo, Mas Tumenggung Jimat, dan Ahmad Aris. Dipoatmaja menjadi salah satu komandan yang turut serta dalam perjuangan ini. Namun, meski mendapatkan perlawanan sengit, pasukan Belanda yang lebih unggul dalam persenjataan akhirnya berhasil merebut Pacitan pada akhir Agustus 1825.
Kekalahan ini menyebabkan Bupati Joyokariyo dipecat, sementara Mas Tumenggung Jimat dan Ahmad Aris ditangkap. Nasib keduanya setelahnya tidak diketahui. Sementara itu, Belanda mengangkat Mas Tumenggung Somodiwiryo sebagai bupati baru Pacitan untuk menggantikan Joyokariyo.Namun, pengangkatan ini tidak bertahan lama.
Serangan Balik: Pembunuhan Bupati Baru Pacitan
Baca Juga : Sebaran Titik Rawan di Jatim: Perlu Diwaspadai Saat Arus Balik Lebaran 2025
Pada 9 Oktober 1825, pasukan dari Madiun yang dipimpin oleh R.M. Dipoatmaja melancarkan serangan balasan ke Pacitan. Serangan ini dilakukan dengan taktik gerilya khas Diponegoro—penyergapan cepat di daerah yang tidak terduga. Dalam pertempuran ini, mereka berhasil membunuh Bupati Somodiwiryo, yang baru beberapa bulan menjabat.
Keberhasilan ini menjadi pukulan telak bagi Belanda, karena menunjukkan bahwa pasukan Diponegoro masih memiliki daya tempur yang kuat di daerah selatan. Namun, kemenangan ini tidak bertahan lama. Pada awal Desember 1825, Belanda mengerahkan pasukan tambahan dan berhasil menguasai Pacitan sepenuhnya, memecah belah pasukan Madiun, dan mengakhiri perlawanan di wilayah tersebut.
Akhir Perang: Pengkhianatan dan Pembuangan ke Ambon
Seiring berjalannya waktu, Perang Jawa mulai mengalami kemunduran. Banyak pemimpin perang Diponegoro yang gugur atau ditangkap. R.M. Dipoatmaja sendiri akhirnya berlindung di Surakarta, tempat keluarga dari garis ibunya berada.
Namun, keberadaannya tidak berlangsung lama. Pada 8 Januari 1830, ia tertangkap oleh pasukan Belanda di Surakarta. Sebagai bagian dari upaya kolonial untuk menghabisi gerakan perlawanan, R.M. Dipoatmaja segera diasingkan ke Ambon, sebuah tempat pembuangan yang jauh dari Tanah Jawa.
Pembuangan ini bukan hanya hukuman, tetapi juga taktik Belanda untuk memutus hubungan para pejuang dengan masyarakat mereka, sehingga perlawanan tidak bisa lagi berlanjut. Tidak ada catatan pasti tentang kehidupannya setelah pembuangan, tetapi kemungkinan besar, seperti banyak pejuang lainnya, ia menghabiskan sisa hidupnya dalam keterasingan.
Historiografi: Mewaris Takdir Ayahnya, Tenggelam dalam Pengasingan
Peran R.M. Dipoatmaja dalam Perang Jawa sering kali tertutup oleh bayang-bayang besar ayahnya, Pangeran Diponegoro. Namun, historiografi menunjukkan bahwa ia bukan hanya sekadar putra Diponegoro, tetapi juga seorang pemimpin perang yang berani.
Kisahnya mencerminkan nasib generasi muda bangsawan Jawa yang harus memilih antara tunduk pada kolonialisme atau melawan dengan konsekuensi kehilangan segalanya. R.M. Dipoatmaja memilih jalan perjuangan, tetapi seperti ayahnya, ia harus menerima takdir pahit dalam pengasingan.
Perjuangannya di Pacitan dan Madiun adalah bagian dari mozaik besar Perang Jawa, perang yang bukan hanya pertarungan fisik melawan Belanda, tetapi juga simbol perlawanan terhadap ketidakadilan dan penindasan. Nama R.M. Dipoatmaja mungkin tidak sepopuler Diponegoro, tetapi jejak langkahnya di medan perang tetap menjadi bukti bahwa ia adalah seorang pangeran yang berjuang sampai titik terakhir.