JATIMTIMES - Jaringan Gusdurian menegaskan penolakan terhadap revisi Undang-Undang TNI yang dianggap berpotensi mengembalikan peran militer dalam ranah sipil dan politik. Mereka menyebut revisi ini sebagai langkah mundur yang merusak demokrasi.
"Mengembalikan TNI ke posisi strategis sipil untuk urusan sosial & politik adalah upaya dereformasi yang sangat merusak perjalanan kehidupan demokrasi di Indonesia. Artinya, jika sampai gagasan ini kembali dan disetujui, demokrasi kita mundur 30 tahun ke belakang," demikian pernyataan Gusdurian, dikutip Senin (17/3/2025).
Berikut empat alasan Gusdurian menolak revisi UU TNI, dilansir Instagram resminya @jaringangusdurian:
1. Militer Harus Tetap di Bawah Kontrol Sipil
Gusdurian menekankan bahwa dalam sistem demokrasi yang sehat, militer harus berada di bawah kontrol sipil dan tidak memiliki peran langsung dalam pemerintahan atau politik.
"Dalam sistem demokrasi yang sehat, militer harus berada di bawah kontrol sipil dan tidak memiliki peran langsung dalam pemerintahan atau politik. Hal ini dikarenakan demokrasi mengutamakan supremasi sipil, yakni pemerintahan dijalankan oleh warga sipil yang dipilih secara demokratis, bukan oleh militer," ujar mereka.
Gusdurian mengingatkan bahwa keterlibatan TNI dalam politik berisiko mengurangi profesionalisme prajurit dan membuat mereka lalai terhadap tugas utama sebagai penjaga kedaulatan negara. Selain itu, dengan kekuatan bersenjata dan posisi strategis, militer berpotensi menyalahgunakan kekuasaan, melanggar HAM, dan bersikap represif terhadap masyarakat.
2. Amanat Reformasi 1998 adalah TNI Kembali ke Barak
Reformasi 1998 adalah titik balik bagi demokrasi Indonesia. Salah satu amanat utamanya adalah memisahkan militer dari urusan sipil.
"Jutaan mahasiswa dan masyarakat sudah melakukan upaya memperbaiki sistem demokrasi yang saat itu otoriter & korup. Salah satu amanatnya adalah mengembalikan tentara ke baraknya, tidak mencampuri urusan sipil. Jika ada tentara yang ingin berpartisipasi di ranah sipil, boleh dengan catatan sudah pensiun atau, JIKA MASIH AKTIF, HARUS MUNDUR DARI INSTANSI TNI. INI ADALAH SYARAT MUTLAK," tegas mereka.
Gusdurian mengingatkan bahwa reformasi bertujuan untuk menghapus keterlibatan militer dalam pemerintahan demi memastikan demokrasi yang lebih bersih dan transparan.
3. Warisan Kebijakan Gus Dur dengan Menghapus Dwifungsi ABRI
Di era Orde Baru, konsep Dwifungsi ABRI memungkinkan militer tidak hanya menjalankan tugas pertahanan, tetapi juga berperan dalam pemerintahan. Reformasi mengubah itu semua, dan Gus Dur adalah tokoh yang berperan besar dalam menghapus dwifungsi ini.
"Gagasan penghapusan dwifungsi ABRI sangat kuat disuarakan di era Gus Dur. Kenapa? Dwifungsi ABRI secara singkat berarti ABRI tidak hanya menjalankan peran sebagai kekuatan pertahanan saja, tetapi juga menjalankan peran sebagai pengatur negara," jelas mereka.
Selama masa pemerintahannya (1999-2001), Gus Dur mengambil langkah berani dengan memisahkan Polri dari TNI dan menghapus fraksi TNI/Polri dari parlemen. Keputusan ini mempertegas bahwa militer aktif tidak boleh berpartisipasi dalam politik atau menempati jabatan sipil.
"Sejak saat itu, militer aktif tak lagi bisa berpartisipasi dalam politik partisan maupun menempati jabatan sipil. Dalam pemerintahannya, Gus Dur mencoba memberikan ruang seluas-luasnya bagi kelompok sipil untuk memberikan sumbangsih dalam pembinaan pertahanan negara. Hal ini terlihat dari penghapusan fraksi TNI/Polri dari parlemen. Selain itu juga terlihat dari penunjukan Menteri Pertahanan (Menhan) kepada orang sipil, yaitu @mohmahfudmd. Perlu diingat, semenjak 1959 jabatan Menhan selalu diisi oleh orang militer," tegas mereka.
4. "Masak TNI Kurang Kerjaan?"
Gusdurian juga mempertanyakan urgensi revisi UU TNI yang seolah memberi tambahan tugas bagi militer di luar bidang pertahanan.
"Dalam mengelola negara, semua sudah punya tugas dan fungsinya. TNI sudah jelas diberi amanah besar dalam hal pertahanan negara. Jangan sampai, kita membebaninya dengan pekerjaan yang tidak relevan. Jika memang dirasa sudah tidak nyaman tentara dan ingin berkontribusi pada kehidupan sosial dan politik, silakan resign! Sesimpel itu," ungkap mereka.
Gusdurian menegaskan bahwa UU TNI tahun 2004 sudah cukup jelas dalam mengatur posisi militer dalam pemerintahan.
"UU tahun 2004 sudah sangat jelas dan gamblang. Tidak perlu direvisi untuk sekadar mengembalikan Indonesia ke masa sebelum reformasi. Semoga semua pihak sadar dan tahu dengan posisi masing-masing," pungkas Gusdurian.
Itulah 4 alasan yang diungkap jaringan Gusdurian soal mengapa RUU TNI harud ditolak. Gusdurian berharap semua pihak memahami posisi masing-masing dalam sistem ketatanegaraan. Gusdurian juga menekankan bahwa revisi UU TNI bukan sekadar perubahan regulasi, tetapi juga ancaman terhadap demokrasi yang telah diperjuangkan sejak 1998.
Sebagai informasi, Gusdurian merupakan jaringan yang terdiri dari individu, komunitas, dan lembaga yang memiliki visi untuk meneruskan perjuangan dan nilai-nilai yang diwariskan oleh Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Gerakan ini fokus pada berbagai isu, seperti ketauhidan, kemanusiaan, keadilan, kesetaraan, pembebasan, kesederhanaan, persaudaraan, kesatriaan, dan kearifan tradisi.