Ketika Sejarah Disunting: Pajang, Surabaya, Pangeran Pekik dan Politik Penghapusan Silsilah
Reporter
Aunur Rofiq
Editor
Yunan Helmy
22 - May - 2025, 02:42
JATIMTIMES - Dalam sejarah kerajaan-kerajaan Nusantara, politik penghapusan silsilah bukanlah hal yang asing. Di tengah pergolakan kekuasaan, ketika legitimasi raja ditentukan oleh garis keturunan, maka narasi silsilah menjadi alat paling efektif untuk menguatkan atau menjatuhkan otoritas.
Artikel ini akan menelusuri satu kasus penting dalam sejarah Jawa: hubungan antara Pajang, Surabaya, dan nasib silsilah Pangeran Pekik, leluhur Sunan Amangkurat II, yang dipreteli secara sistematis dari catatan sejarah resmi.
Kemenangan Pajang atas Jawa Timur dan Peran Surabaya
Pasca-kekalahan Madura, kemenangan Pajang atas wilayah-wilayah pesisir timur Jawa merupakan tonggak penting dalam pemantapan kekuasaan. Hageman dalam Handleiding (hal. 70-71) mencatat betapa meriahnya upacara pengakuan kekuasaan Sultan Pajang oleh daerah-daerah seperti Sidayu, Gresik, Pasuruan, Tuban, Wirasaba, Kediri, Ponorogo, Madiun, Blora, dan Jipang. Bahkan, Raja Pajang, Sultan Hadiwijaya alias Jaka Tingkir secara simbolis tampil di hadapan Sunan Giri Prapen dengan menunggang gajah, diiringi para bangsawan dan pembesar kerajaan.
Namun di balik kemenangan simbolik itu, politik kekuasaan yang lebih dalam sedang berlangsung. Surabaya, salah satu kekuatan utama di wilayah timur, tidak ditaklukkan secara penuh, melainkan dinegosiasikan. Panji Wirya Krama, adipati Surabaya kala itu, diangkat menjadi semacam penghubung antara Pajang dan kerajaan-kerajaan timur. Nama ini bahkan disebut oleh Raffles dalam History of Java (hal. 143), meski informasi tentangnya sangat terbatas.
Setelah Pajang tumbang sekitar 1617, ikatan yang terjalin antara dua pusat kekuasaan ini tidak serta-merta menghilang. Meinsma dalam Babad Tanah Djawi (hal. 132) mencatat bahwa Ki Tambak Baya, tokoh penting Pajang, memilih pergi ke Surabaya, dan di sana ia diterima dengan baik. Ini menunjukkan adanya kesinambungan dan hubungan kultural-politik yang belum sepenuhnya putus.
Dalam lelap tidurnya, ia mendengar suara gaib yang meramalkan bahwa kelak keturunannya akan menjadi tokoh-tokoh besar. Ramalan ini, agaknya, dijadikan pedoman oleh Amangkurat II ketika menetapkan lokasi keraton barunya (Meinsma, Babad, hlm...