free web hit counter
Scroll untuk baca artikel
Serba Serbi

Malam Jumat dan Dunia Gaib Orang Jawa: Antara Sesaji, Danyang, dan Dewi Sri

Penulis : Aunur Rofiq - Editor : Yunan Helmy

13
×

Rencana Rilis PlayStation 6 Berpotensi Terungkap, Berkat Microsoft

Share this article
Stik Playstation
Ilustrasi upacara tradisional masyarakat Jawa yang sarat makna dan simbol, menggambarkan rasa syukur kepada Sang Pencipta melalui sesaji "gunungan" hasil bumi yang diarak bersama dalam suasana kebersamaan dan kearifan lokal. (Foto: Ilustrasi dibuat oleh JatimTIMES)

JATIMTIMES - Dalam jagat budaya spiritual orang Jawa, malam Jumat—terutama Jumat Legi—memiliki tempat sakral yang tak tergantikan. Malam Jumat bukan sekadar waktu menjelang akhir pekan, melainkan sebuah ruang waktu yang membuka perjumpaan antara dunia manusia dan dunia gaib. 

Malam Jumat menjadi saat ketika sesaji disusun rapi, asap kemenyan mengepul perlahan, dan doa-doa berbisik lembut di antara aroma bunga dan dupa. 

Baca Juga : Kalender Jawa Weton Sabtu Legi 24 Mei 2025: Karakter, Karier, Jodoh 

Melalui perspektif historiografis dan antropologis, artikel ini akan menelusuri lapis-lapis makna di balik tradisi sesajian dan penghormatan terhadap danyang, leluhur, dan kekuatan mistik dalam kosmologi Jawa.

Kedatangan berbagai agama besar seperti Hindu, Buddha, dan Islam ke Jawa tidak serta merta menghapus sistem kepercayaan asli masyarakat. Justru, yang terjadi adalah asimilasi dan transformasi nilai-nilai spiritual. Dalam masyarakat Jawa, keyakinan terhadap Tuhan tidak berdiri sendiri. Ia dibarengi dengan kepercayaan akan eksistensi dewa, roh leluhur, makhluk halus (lembut), setan, dan kekuatan alam. Dalam pandangan antropolog Clifford Geertz, ini menciptakan "agama abangan" yang meleburkan ajaran formal agama dengan kosmologi lokal.

Tradisi ini melahirkan praktik sesaji, wadah simbolik untuk menjalin komunikasi dengan yang gaib. Ia bukan sekadar persembahan, tetapi upaya menyeimbangkan hubungan antara manusia dan alam, antara kasat mata dan tak kasat mata.

Dalam sistem klasifikasi masyarakat Jawa, sesaji terbagi menjadi beberapa jenis yang masing-masing memiliki tujuan dan makna tersendiri. Selamatan merupakan sesaji yang dipersembahkan kepada Yang Kuasa, nabi, wali, dewa, bahkan makhluk halus seperti setan atau hantu, sebagai bentuk penghormatan dan permohonan keselamatan. Mlakan bertujuan menolak gangguan dari makhluk halus dan energi negatif, biasanya dilakukan dengan mantra, doa, serta pembakaran kemenyan. Wadima adalah persembahan rutin kepada roh baik, jin, dan kekuatan alam, agar tidak mengganggu dan justru membantu kelangsungan hidup manusia. Sementara itu, sedekah diberikan untuk arwah keluarga, wali, malaikat, dan juga demi keselamatan penyelenggara upacara serta komunitasnya.

Makanan, bunga, air, dan dupa menjadi komponen wajib dalam setiap bentuk sesaji ini, dengan tempat pelaksanaan yang bervariasi, mulai dari rumah, halaman, dapur, sumur, hingga perempatan jalan.

Dalam lanskap spiritual masyarakat Jawa, malam Jumat bukan sekadar penanda pergantian hari dalam kalender Masehi maupun penanggalan Jawa. Ia adalah waktu sakral yang menyimpan lapisan-lapisan makna kosmologis dan spiritual yang telah diwariskan lintas generasi. Malam ini dipahami sebagai jembatan antara dunia lahir dan batin, antara kasat mata dan gaib, antara manusia dan para leluhur serta makhluk halus yang menghuni alam halus.

Kepercayaan ini berakar dari pandangan dunia orang Jawa yang tidak memisahkan secara tegas antara yang fana dan yang kekal, antara dunia material dan dunia spiritual. Dalam persepsi mereka, semesta merupakan jejaring kekuatan adikodrati yang terus hidup dan berinteraksi dengan dunia manusia. Maka, malam Jumat menjadi waktu paling tepat untuk menjalin komunikasi dengan kekuatan-kekuatan tersebut—baik melalui doa, semedi, sesaji, maupun ritual-ritual khusus.

Malam Jumat dianggap waktu ketika tabir antara dunia gaib dan dunia nyata menipis. Malam ini dipandang ideal untuk memberikan persembahan kepada Danyang Desa (penjaga gaib desa), Nyai Tawa (penjaga dapur), Nini Among (pelindung anak-anak), dan Dewi Sri (dewi padi dan kesuburan). Bahkan roh halus seperti demit dan lelembut diberi wadima agar tidak membawa bencana.

Di rumah, sesaji diletakkan di pojok-pojok strategis. Di desa-desa pantai selatan Jawa, malam Jumat digunakan untuk memberi sesaji kepada Nyai Roro Kidul, ratu laut selatan. Di Karang Bolong, Kebumen, persembahan ini ditujukan agar hasil tangkapan laut dan sarang burung walet melimpah.

Di masyarakat Jawa, Dewi Sri dipuja sebagai penjaga kesuburan tanah dan pelindung tanaman padi, di mana keyakinan terhadapnya menyatu erat dengan ritus agraris dan penghormatan terhadap kekuatan gaib alam.

Peran Dewi Sri tidak hanya simbolik, melainkan vital dalam dunia pertanian. Ia dianggap pelindung tanaman padi. Pada malam Jumat, ikatan jerami dibakar dengan kemenyan di dalamnya sebagai bentuk permohonan agar tanaman tumbuh subur. Jika pertumbuhan kurang baik, sesajian ditambah dengan jamu dan obat. Bila subur, telur menjadi simbol keberkahan.

Baca Juga : Berebut Toilet Berujung Maut, Pemuda Mabuk Tusuk Korban 20 Kali Hingga Tewas

Tradisi ini mengandung narasi ekologis—keseimbangan antara manusia, tanah, dan kekuatan spiritual yang menaungi sawah ladang. Dalam antropologi simbolik, tindakan ini merupakan bentuk "ritual ekologis" yang menjaga hubungan harmoni antara manusia dan lingkungan.

Selain malam Jumat, kalender Jawa mengenal hari-hari istimewa seperti Jumat Kliwon, Jumat Paing, dan Gumbregan. Gumbregan adalah momentum sesajian besar-besaran kepada semua entitas spiritual yang melindungi kerbau, sapi, dan banteng. Hari ini menjadi semacam hari raya bagi hewan ternak. Manusia menepi, memberikan penghormatan kepada makhluk tak kasat mata seperti rijal, poto, sambangbanger, dhengen, bayu, dan sawan.

Dukun bayi bahkan memberi sesaji kepada tekrekan untuk keselamatan bayi yang baru lahir. Mereka yang menginginkan kekayaan memberi sesaji kepada Nyai Blorong, Gundhul, dan Nyi Gede Segara Kidul, mempraktikkan bentuk "magis ekonomi" yang dipercaya mendatangkan kelimpahan.

Jejak historis tradisi sesaji dapat dilacak hingga masa Hindu-Buddha. Dalam prasasti dan relief candi ditemukan bukti persembahan untuk dewa-dewi dan makhluk halus. Di era Islam, tradisi ini tidak punah, melainkan mengalami proses Islamisasi simbolik: selamatan diadaptasi dengan doa Islam, tetapi esensi persembahannya tetap.

Dalam sejarah kolonial, praktik sesaji menjadi representasi "primitivitas" oleh orientalis Belanda. Namun di mata rakyat Jawa, sesaji adalah mekanisme sosial yang menjaga tatanan. Dalam kebudayaan spiritual, ia adalah bagian dari "laku"—jalan hidup untuk mencapai keselamatan lahir dan batin.

Malam Jumat, bagi orang Jawa, bukan sekadar waktu gelap di antara dua hari. Ia adalah lanskap spiritual tempat harapan, rasa takut, cinta, dan hormat bercampur menjadi satu dalam wadah sesaji. Dari dapur hingga ladang, dari kuburan leluhur hingga istana laut selatan, sesaji menjadi jembatan antara yang fana dan yang abadi.

Kini, di tengah arus modernisasi dan rasionalisasi, tradisi sesaji tetap bertahan. Ia bukan sekadar warisan, melainkan identitas kultural yang terus diperbaharui. Sebuah cara orang Jawa mengingat bahwa dunia ini bukan hanya milik manusia, tapi juga para ruh, leluhur, dan kekuatan-kekuatan tak kasat mata yang senantiasa mengintai dan melindungi dalam diam.