Ketika Jipang Runtuh: Jejak Konflik Arya Penangsang vs Pajang dalam Arsip Kolonial
Reporter
Aunur Rofiq
Editor
A Yahya
14 - May - 2025, 01:17
JATIMTIMES - Dalam khazanah sejarah Jawa, peristiwa konfrontasi antara Kesultanan Pajang dan Adipati Jipang, Arya Penangsang, merupakan titik balik yang monumental, sekaligus pembuka jalan bagi kebangkitan dinasti Mataram Islam di kemudian hari. Namun, sumber-sumber lokal yang mengandalkan babad dan cerita tutur seringkali menampilkan narasi yang penuh dengan muatan simbolik dan dramatisasi, menyulitkan kita dalam membedakan fakta historis dari fiksi kultural.
Dalam upaya merekonstruksi peristiwa tersebut secara lebih akurat, keberadaan dokumen kolonial Belanda memberikan cahaya baru yang memungkinkan kita menyusun ulang potret sejarah dengan kerangka ilmiah yang lebih dapat dipertanggungjawabkan.
Baca Juga : Wali Kota Mas Ibin Lepas Ratusan CJH Kota Blitar: Jadilah Duta Bangsa di Tanah Suci
Salah satu dokumen penting adalah laporan dari seorang pejabat istana Jaga Pati kepada Laksamana Cornelis Speelman bertanggal 16 Maret 1677, yang tersimpan dalam arsip Belanda (Koloniaal Archief 1218 f. 1834r). Meskipun ditulis hampir satu abad setelah peristiwa berlangsung, laporan ini memuat rincian yang tidak dijumpai dalam babad Jawa. Tokoh sentral dalam dokumen tersebut adalah sosok yang disebut sebagai 'Kiai Gede Mataram', seorang figur penting dalam lingkaran kekuasaan Sultan Pajang. Berkat jasa serta loyalitasnya yang besar, ia dianugerahi wilayah Mataram—pada masa itu masih berupa sebuah desa kecil. Sosok yang dimaksud dengan 'Kiai Gede Mataram' ini tidak lain adalah Ki Ageng Pamanahan, pejabat tinggi Kesultanan Pajang, putra dari Ki Ageng Henis, seorang ulama terpandang sekaligus guru spiritual Raden Jaka Tingkir, yang kemudian naik takhta sebagai Sultan Hadiwijaya."
Berita tersebut menyebutkan bahwa sebelum memperoleh Mataram, Kiai Gede ini berperan besar dalam ekspedisi militer terhadap kota yang disebut "Soude", yang lokasinya dideskripsikan berada dekat Demak. Nama "Soude" sendiri tidak ditemukan dalam narasi tradisional Jawa, namun dalam kajian toponimi yang dilakukan oleh peneliti Belanda seperti yang tercatat dalam "Schoel Register"—yang memuat sekitar 26.000 nama tempat—ditemukan dua lokasi yang secara fonetik mendekati "Soude", yakni "Sudah" dan "Sudu". Kedua desa tersebut terletak di tepi Bengawan Solo, sekitar 30 kilometer di barat Bojonegoro atau Jipang...