Pangeran Pekik dan Peranannya dalam Budaya Mataram: Dari Suluk hingga Wayang Krucil
Reporter
Aunur Rofiq
Editor
Nurlayla Ratri
22 - Apr - 2025, 02:16
JATIMTIMES - Dalam jagat historiografi Jawa abad ke-17, Pangeran Pekik merupakan sosok yang sering kali terlewatkan dalam narasi-narasi besar seputar konflik kekuasaan dan ekspansi wilayah. Namun, jika ditelaah melalui lensa sejarah budaya dan pembentukan identitas kebangsaan Jawa, peran Pangeran Surabaya ini justru menjadi kunci dalam proses transisi kebudayaan antara tradisi pesisir dan kekuasaan pedalaman.
Merangkum berbagai sumber, Pangeran Pekik, menantu Sultan Agung, bukan sekadar tokoh istana. Melainkan juga pengemban misi kultural yang menjembatani dua dunia: dunia kosmopolitan pesisir utara Jawa dan dunia agromistis pedalaman Mataram.
Baca Juga : Penguasa yang Tak Mau Patuh: Politik, Simbol, dan Perlawanan Halus Brotodiningrat
Kediaman Pangeran Pekik di Kasurabayan atau kadipaten Surabaya yang dipindahkan ke jantung kekuasaan Mataram sekitar tahun 1628, menjadi semacam enklave kebudayaan pesisir di dalam struktur kekuasaan Sultan Agung. Keberadaan beliau di pusat pemerintahan bukan tanpa maksud politis. Ia adalah keturunan bangsawan Surabaya, salah satu kerajaan pesisir terakhir yang memiliki tradisi sastra, keagamaan, dan kemaritiman yang kuat.
Ketika Surabaya jatuh ke tangan Mataram pada 1625, Pangeran Pekik tidak dihukum atau diasingkan, melainkan dinikahkan dengan putri Sultan Agung. Alih-alih dipinggirkan, ia justru diintegrasikan secara simbolik dan struktural dalam tubuh kerajaan, dengan status menantu Sultan sekaligus duta budaya dari peradaban pesisir.
Dalam peta politik Mataram abad ke-17, sebagaimana dicatat oleh Van Goens dan De Graaf (1956: 214–215), kediaman Pangeran Pekik di Kasurabayan kerap muncul dalam catatan Belanda dan bahkan dimasukkan dalam peta kota istana. Ia menetap di sana sejak paling tidak tahun 1628 dan tetap menjadi tokoh penting hingga wafatnya menjelang tahun 1670-an. Kediaman ini menjadi pusat interaksi kebudayaan dan spiritualitas, bahkan menjadi salah satu titik penting dalam narasi mistik dan religius Jawa masa itu.
Pangeran Pekik bukanlah figur militer atau birokrat aktif. Catatan kontemporer dan literatur kolonial menggambarkan dirinya sebagai sosok yang lebih kontemplatif, cenderung menyerahkan diri pada arus besar keputusan istana, dan tidak memiliki karakter agresif atau ekspansif seperti mertuanya, Sultan Agung. Namun justru dalam kontemplasi itu ia memainkan peran strategis sebagai "agen kebudayaan" (cultural agent)...