JATIMTIMES - Perlawanan terhadap kolonialisme Belanda di Jawa tidak berakhir dengan ditangkapnya Pangeran Diponegoro pada 1830. Sebaliknya, bara perlawanan masih menyala di lingkungan istana Yogyakarta dan Surakarta, di antara para pangeran dan pejabat yang kecewa terhadap kebijakan kolonial.
Salah satu figur penting dalam episode ini adalah Pangeran Arya Rangga, sosok yang tetap menjalin hubungan dengan nama besar Diponegoro, meski bayangan sang pangeran besar semakin samar dalam dunia politik Jawa.
Baca Juga : 5 Khasiat Daun Katuk untuk Produksi ASI yang Jarang Kamu Ketahui
Di saat yang sama, dinamika kekuasaan dalam keraton Yogyakarta dan Surakarta menjadi semakin rumit. Kubu-kubu politik terbentuk, intrik merajalela, dan hubungan para pangeran dengan pihak kolonial semakin menegang. Dalam artikel ini, kita akan menelusuri bagaimana gerakan perlawanan yang tersisa di Kepangeranan Surakarta dan Yogyakarta menemui titik akhirnya, sekaligus memahami permainan politik yang melibatkan para penguasa Jawa, pejabat kolonial, dan jaringan rahasia yang masih memegang setia pada semangat perjuangan Diponegoro.
Arya Rangga dan Konspirasi yang Membawanya ke Pengasingan
Gubernur Jenderal Jan Jacob Rochussen, yang menjabat sejak 1845, telah menerima laporan tentang keberadaan kelompok-kelompok yang ingin menghidupkan kembali semangat perlawanan di Jawa. Salah satu tokoh yang mencurigakan adalah Pangeran Arya Rangga. Ia diyakini memiliki hubungan dengan para tokoh yang masih setia kepada Diponegoro.
Berbeda dengan pangeran-pangeran lainnya, Arya Rangga memilih jalan spiritual. Ia mengasingkan diri, mendekatkan diri dengan para ulama, dan menjalin hubungan erat dengan kiai-kiai terkemuka di Kedu dan Madiun. Seorang ulama bernama Hasan Besari bahkan melaporkan bahwa para pemimpin agama di Jawa siap memberikan dukungan kepadanya.
Isu yang berkembang menyebut bahwa Arya Rangga tengah merencanakan pemberontakan. Namun, hingga kini, masih diperdebatkan apakah ia benar-benar memiliki niat untuk melawan Belanda atau hanya menjadi korban intrik politik residen.
Intrik ini akhirnya terbongkar, dan pemerintah kolonial segera mengambil tindakan tegas. Rochussen memerintahkan penangkapan Pangeran Arya Rangga sebelum rencana perlawanan ini berkembang lebih jauh. Residen De Kock, dengan segala kepiawaiannya dalam membongkar jaringan pemberontakan, memastikan operasi ini berjalan mulus. Tidak lama kemudian, Arya Rangga ditangkap dan diasingkan ke Ternate, Maluku.
Namun, ada dugaan bahwa seluruh kasus ini hanyalah permainan politik pihak kolonial. Sebuah teori yang berkembang menyebut bahwa Residen De Kock sengaja melebih-lebihkan ancaman ini untuk memperkuat posisinya di hadapan Gubernur Jenderal dan pemerintah Belanda. Klaim ini diperkuat dengan ditemukannya surat-surat dari pengasingan Arya Rangga, yang menunjukkan bahwa ia masih menyebut Diponegoro sebagai Sultan Erucakra dan menyatakan siap mengorbankan dirinya demi perjuangan sang pangeran.
Namun, di sisi lain, dalam surat yang ditujukan kepada ibunya, Arya Rangga justru menulis bahwa tujuan utamanya adalah mendapatkan jabatan yang lebih tinggi dan penghasilan yang lebih baik—bukan untuk memberontak. Pernyataan ini membuka kemungkinan bahwa dia sebenarnya bukan seorang pemberontak, melainkan korban dari dinamika politik yang dimainkan oleh pejabat kolonial dan elit keraton.
Persekongkolan di Istana Yogyakarta: Klub Rahasia Sultan Hamengku Buwana V
Di Yogyakarta, situasi politik semakin bergejolak dengan terbentuknya sebuah kelompok eksklusif yang dipimpin langsung oleh Sultan Hamengku Buwana V. Klub ini, yang dikenal sebagai "Tumenggung Slusin", menarik perhatian pemerintah kolonial karena beranggotakan para bupati senior dan pejabat tinggi keraton.
Pada awalnya, klub ini dianggap sekadar perkumpulan sosial bagi kalangan elit muda istana. Namun, ketika informasi lebih lanjut terkumpul, Belanda mulai melihatnya sebagai ancaman potensial. Van Nes, Komisaris Pemerintahan yang ditugaskan untuk mengawasi situasi, melaporkan bahwa Sultan telah memesan sejumlah senjata, termasuk tombak dan keris senilai 15.000 gulden.
Pemerintah kolonial segera bertindak. Rochussen memerintahkan Sultan untuk membubarkan klub tersebut dan mengembalikan senjata yang telah dibagikan. Sultan, meski dengan enggan, akhirnya memenuhi permintaan ini. Sebagai konsekuensi, Patih Danureja IV yang dianggap sebagai tokoh kunci dalam kelompok ini dipensiunkan pada Februari 1847.
Namun, banyak sejarawan berpendapat bahwa klub ini bukanlah gerakan pemberontakan yang serius, melainkan usaha Sultan untuk membebaskan dirinya dari pengaruh kelompok tua di keraton yang selama ini mendominasi politik Yogyakarta.
Intrik Tanah dan Bangkitnya Gerakan Rahasia
Sementara itu, di sisi lain istana, konflik lain meletus antara para pemegang hak sewa tanah dengan pemerintah kolonial. Sejak tahun 1848, ketegangan meningkat akibat kebijakan baru yang membatasi hak para bangsawan Jawa dan tuan tanah Eropa.
Pada tahun 1849, situasi memuncak ketika para pemegang hak sewa tanah mulai bersekutu dengan para pangeran yang tidak puas terhadap kebijakan kolonial. Pertemuan-pertemuan rahasia diadakan di dalam keraton, dihadiri oleh Patih Danureja V, Putra Mahkota, serta pangeran-pangeran terkemuka seperti Yudanagara, Adiwinata, Riya Kusuma, dan Suryanagara.
Baca Juga : 5 Cara Aman Konsumsi Jahe untuk Morning Sickness Berdasarkan Penelitian Medis
Pemerintah kolonial segera merespons dengan tindakan keras. Rochussen mengirim surat peringatan kepada Sultan Yogyakarta, menegaskan bahwa ia bertanggung jawab penuh atas tindakan para pejabatnya. Orang-orang Eropa yang terlibat dalam pertemuan-pertemuan ini juga mendapat ancaman pengasingan.
Namun, tindakan ini justru menimbulkan ketegangan lebih lanjut. Desas-desus tentang pemberontakan mulai beredar di Kedu dan Bagelen pada akhir tahun 1850. Kabarnya, ada dua atau tiga pangeran yang sedang menyusun rencana untuk menggulingkan kekuasaan kolonial di Yogyakarta.
Pangeran Diponegoro Anom dan Akhir dari Gerakan Perlawanan
Di tengah ketegangan ini, muncul sebuah permintaan yang mengejutkan: Pangeran Diponegoro Anom, atau Diponegoro II—putra Pangeran Diponegoro yang selama ini ditahan di Sumenep—meminta izin untuk kembali ke Yogyakarta. Permintaan ini menjadi sinyal peringatan bagi pemerintah kolonial, sebab meskipun sang ayah telah lama diasingkan ke Makassar, bayangannya masih terus membayangi politik Jawa.
Dokumen-dokumen yang menyebabkan pengasingan Arya Rangga juga menunjukkan bahwa ia memiliki hubungan dengan Diponegoro Anom. Hal ini semakin memperkuat kecurigaan pemerintah kolonial bahwa ada jaringan perlawanan yang masih aktif.
Tidak ingin mengambil risiko, pemerintah kolonial mengambil keputusan drastis. Pada 16 Juni 1851, Diponegoro Anom dan keluarganya diasingkan ke Ambon. Dengan langkah ini, kolonial Belanda berhasil menghentikan gelombang terakhir perlawanan yang tersisa di lingkungan istana.
Setelah pengasingan Diponegoro Anom, tidak lagi terdengar kabar tentang adanya pemberontakan dari dalam keraton Yogyakarta maupun Surakarta. Perlawanan politik para pangeran terhadap kolonialisme Belanda akhirnya mencapai titik nadirnya.
Akhir dari Era Perlawanan Istana
Gerakan perlawanan di kepangeranan Surakarta dan Yogyakarta pada pertengahan abad ke-19 mencerminkan dinamika kompleks antara kekuasaan kolonial, intrik istana, dan sisa-sisa semangat perjuangan Diponegoro.
Pangeran Arya Rangga menjadi korban dari permainan politik yang rumit, diasingkan sebelum ia benar-benar dapat merealisasikan niatnya—baik itu untuk memberontak atau sekadar memperkuat posisinya di dalam istana. Di Yogyakarta, klub rahasia Sultan Hamengku Buwana V menjadi simbol dari upaya para pangeran muda untuk membebaskan diri dari dominasi elit tua, meskipun akhirnya dibubarkan oleh pemerintah kolonial.
Puncaknya adalah pengasingan Diponegoro Anom, yang mengakhiri sisa-sisa perlawanan politik di lingkungan istana Jawa. Dengan tindakan ini, Belanda berhasil mengamankan kontrolnya atas kerajaan-kerajaan di Jawa, dan gerakan perlawanan dari dalam keraton pun akhirnya meredup.
Namun, meski pemberontakan telah dipadamkan, kisah perlawanan ini tetap hidup dalam ingatan kolektif masyarakat Jawa—sebagai bukti bahwa semangat perjuangan tidak pernah benar-benar padam, hanya menunggu waktu untuk kembali menyala.