Penguasa yang Tak Mau Patuh: Politik, Simbol, dan Perlawanan Halus Brotodiningrat
Reporter
Aunur Rofiq
Editor
Sri Kurnia Mahiruni
22 - Apr - 2025, 08:55
JATIMTIMES - Peristiwa Brotodiningrat merupakan salah satu catatan penting dalam sejarah lokal Jawa yang menggambarkan kompleksitas relasi kekuasaan antara aristokrasi pribumi dengan administrasi kolonial Belanda pada penghujung abad ke-19.
Dalam kerangka historiografi kolonial, narasi tentang R.M.A. Brotodiningrat, Bupati Madiun sejak 1887, menjadi refleksi dari pergeseran paradigma kekuasaan, transformasi birokrasi kolonial, serta perlawanan simbolik kaum priayi terhadap dominasi kolonial. Tokoh ini bukan sekadar seorang pejabat lokal, tetapi simbol ambivalensi budaya dan politik Jawa dalam struktur kolonial yang memaksa aristokrat Jawa untuk bernegosiasi antara tradisi dan modernitas yang dikendalikan oleh kekuasaan Eropa.
Baca Juga : Kenduri Rupa: Rayakan Ratusan Seni Rupa Seniman Kota Batu Lintas Generasi
Historiografi Singkat Asal Usul R.M.A. Brotodiningrat: Dari Darah Sumoroto ke Birokrasi Madiun
Raden Mas Adipati Brotodiningrat lahir pada 1849 dari keluarga bangsawan priyayi tinggi. Ayahnya, R.T. Brotodirjo, adalah Bupati Sumoroto, sebuah kabupaten tua di bawah kedaulatan Surakarta, sementara ibunya adalah putri Pangeran Sinduseno, cucu Sunan Paku Buwana V. Garis keturunan ganda ini menjadikannya pewaris darah biru sekaligus simbol kontinuitas kekuasaan lokal Jawa.
Namun, takdirnya berubah drastis saat sang ayah wafat pada 1855. Di usia enam tahun, Brotodiningrat terlalu muda untuk memangku jabatan bupati. Pemerintah kolonial menolak suksesi langsung dan menempatkan pejabat sementara, sementara sang ibu membawanya ke Keraton Surakarta untuk memperoleh pendidikan elite. Di lingkungan istana, ia dibentuk oleh etika priyayi klasik, lalu disekolahkan ke lembaga Belanda, termasuk Sekolah Pamong Pribumi—pijakan awal karier administratifnya.
Tahun 1866, ia memulai magang sebagai mantri negeri di Madiun. Dalam tempo cepat, naik menjadi Wedana Magetan (1867), lalu diangkat sebagai Bupati Sumoroto pada usia 19 tahun. Namun, gelombang reformasi kolonial menghapus kabupaten itu pada 1877. Brotodiningrat dipindahkan ke Ngawi, lalu ke Madiun pada 1885—tanda bahwa kekuasaan tidak lagi bersandar pada genealogis, tapi prestasi administratif.
Di Madiun, Brotodiningrat menjelma sebagai representasi baru seorang bupati. Ia mendapat dukungan Residen Mullemeister, tokoh reformis yang kelak menjadi arsitek birokrasi bumiputra. Gelarnya ditingkatkan menjadi Adipati dan ia menerima payung emas, simbol tertinggi otoritas lokal...