Pangeran-Pangeran Gelisah: Pergolakan Internal di Istana Yogyakarta Pasca-Perang Diponegoro
Reporter
Aunur Rofiq
Editor
Nurlayla Ratri
18 - Apr - 2025, 08:48
JATIMTIMES - Usai Perang Jawa (1825–1830), istana Yogyakarta tidak serta-merta menjadi tempat yang tenang dan damai. Justru, di dalam tembok istana yang megah, ketegangan terus menggelora.
Alih-alih melawan Belanda secara terbuka seperti Diponegoro, para pangeran yang tersisa justru saling bersaing, berkonspirasi, dan mencari peluang untuk merebut kekuasaan. Melansir berbagai sumber, tokoh-tokoh seperti Pangeran Adipati Prabuningrat dan Pangeran Adipati Mangkudiningrat muncul sebagai aktor utama dalam babak baru persaingan ini.
Baca Juga : 5 Rahasia Jamu Tradisional untuk Membersihkan Pembuluh Darah yang Terbukti Ampuh!
Dua tokoh ini, meski sama-sama mendapat hadiah besar dari Belanda atas peran mereka dalam Perang Jawa, ternyata menyimpan ambisi pribadi yang berbenturan satu sama lain. Konflik mereka tidak hanya berakar pada kepentingan politik, tetapi juga dendam pribadi yang semakin menguat seiring waktu.
Prabuningrat: Pendatang Baru yang Haus Kekuasaan
Pangeran Adipati Prabuningrat adalah figur yang menarik dalam sejarah Yogyakarta. Ia bukanlah keturunan langsung dari keluarga kerajaan, tetapi berhasil meraih posisi strategis sebagai Tumenggung, lalu naik menjadi kolonel pasukan prajurit Sultan. Kariernya yang meroket ini disertai dengan berbagai keuntungan finansial yang luar biasa.
Sebagai orang kepercayaan Belanda, Prabuningrat menerima tanah dan 1.000 cacah sebagai hadiah atas kontribusinya dalam perang. Tidak hanya itu, ia juga memperoleh penghasilan tahunan yang jauh melampaui para pangeran berdarah biru. Kenyataan ini membuatnya menjadi figur yang dibenci oleh banyak kalangan di istana.
Ambisinya semakin nyata ketika ia meminta Gubernur Jenderal Van den Bosch agar istrinya diangkat sebagai ratu dan putranya mendapat gelar pangeran adipati. Permintaan ini menunjukkan betapa besar ambisi politiknya—ia ingin mengubah status sosial keluarganya menjadi bagian dari dinasti penguasa Yogyakarta. Namun, Belanda hanya mengabulkan permintaan kedua, yang tetap tidak memuaskan bagi Prabuningrat.
Kekecewaan ini berkembang menjadi bibit pemberontakan. Residen Belanda mulai mencurigai aktivitasnya yang semakin berani menyalahi norma istana. Ia bahkan memerintahkan penari-penari laki-laki untuk tampil di hadapannya—suatu hak yang hanya dimiliki Sultan. Lebih jauh, Prabuningrat menginstruksikan agar "Babar Layar," lagu sakral bagi putra mahkota, dimainkan ketika gamelan berbunyi...