Dari Prawira Sentana hingga Raden Bagus Liya: Jejak Perlawanan Rakyat Yogyakarta Pasca-Diponegoro
Reporter
Aunur Rofiq
Editor
Nurlayla Ratri
16 - Apr - 2025, 08:12
JATIMTIMES - Setelah runtuhnya Perang Jawa (1825–1830), perlawanan terhadap kolonialisme Belanda tidak serta-merta padam. Meski kekuatan militer Jawa telah dihancurkan dan kepemimpinan Pangeran Diponegoro berakhir dengan pengasingan, bara perlawanan masih menyala dalam berbagai bentuk.
Seperti halnya di Surakarta, Yogyakarta pun menjadi arena perlawanan sporadis yang mencerminkan ketidakpuasan rakyat terhadap dominasi kolonial. Di artikel ini, kita akan mengupas sejumlah gerakan perlawanan yang terjadi di wilayah Yogyakarta pasca-1830, menelusuri jejak para pemimpinnya, serta melihat bagaimana pemerintah kolonial merespons gejolak yang terus muncul.
Syekh Prawira Sentana dan Pemberontakan Kulon Progo (1840)
Baca Juga : 7 Alasan Menakjubkan Daun Seledri Ampuh Turunkan Tekanan Darah
Salah satu pemberontakan terbesar pasca-Perang Jawa pecah pada Februari 1840. Gerakan ini dipimpin oleh seorang peranakan Arab bernama Syekh Prawira Sentana, yang bersekutu dengan seorang Tionghoa bernama Bung Seng.
Bung Seng, yang dikenal mengenakan pakaian ala Arab, menunjukkan bahwa pemberontakan ini melibatkan elemen-elemen lintas etnis. Dalam waktu singkat, mereka berhasil menghimpun sekitar 1.600 orang, sebagian besar berasal dari daerah Bagelen dan Tembayat—wilayah yang secara administratif masuk dalam lingkup Surakarta.
Momen pemberontakan ini dipilih dengan cermat. Para bupati dan pejabat tinggi kerajaan sedang berada di ibu kota Yogyakarta untuk menghadiri Garebeg Besar, sebuah perayaan penting dalam kalender Islam. Hal ini membuat otoritas kerajaan dan kolonial tidak dalam posisi siap menghadapi serangan mendadak.
Penduduk Kulon Progo, Pengasih, dan Sentolo—daerah di bawah kekuasaan Sultan Yogyakarta dan Paku Alam—bergejolak. Pemerintah kolonial pun segera merespons. Tumenggung Ranawinata, Kepala Distrik Nanggulan, berhasil mencapai posnya dengan membawa pasukan kecil. Meski hanya terdiri dari empat puluh orang, pasukan ini mampu menghadapi pemberontak dalam pertempuran sengit.
Kemenangan awal bagi pihak kolonial disusul oleh kedatangan pasukan tambahan yang terdiri dari prajurit-prajurit Paku Alam II. Setelah pertempuran besar, gerakan ini berhasil dipadamkan. Syekh Prawira Sentana berhasil melarikan diri, tetapi rekannya Bung Seng tertangkap.
Pemerintah kolonial menyadari bahwa menangkap Prawira Sentana bukan perkara mudah. Oleh karena itu, mereka menyebarkan selebaran berbahasa Jawa, menjanjikan hadiah 1...